Saya tergerak menulis ini karena rasa heran, bahwa ada tokoh-tokoh partai yang menurut saya bukan hanya mendukung, tapi sangat mempromosikan film ini. Bahkan ada yang mempertanyakan ideologi orang yang tidak mendukung penayangan film.
Kita dapat membaca ulang pernyataan Menteri Dalam Negeri Muhamad Yunus Yosfiah pada 24 September 1998, yang menyatakan film yang bernuansa pengultusan individu seperti film Penghianatan G30 S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak perlu diputar karena tidak sesuai dengan semangat reformasi.
Pada tahun itu, film ini tidak lagi ditayangkan di televisi. Film yang menurut Yunus menghabiskan biaya Rp 800 juta kala itu, berdurasi 271 menit atau sekitar 4,5 jam.
Harap pembaca tidak melebarkan ke soal yang lebih luas ya. Dalam kacamata politik, barangkali peristiwa 65 akan dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, tahun 1947, 1963, dan seterusnya, yang saya tidak punya cukup kemampuan untuk menulis secara ringkas padat. Tapi fokus saya pada film ini.
Kesan Menonton Film Penghianatan G30 S PKI
Saya terakhir menonton utuh pada tahun 1987, karena setelah itu saya ngaji di pesantren yang tidak tersedia televisi.
Seingat saya, di kalangan anak-anak sebaya, kesan kuat dari film yang pertama tayang pada September 1985 itu adalah kengerian dan suasana yang membingungkan. Pagi hari, menjelang upacara 1 Oktober, anak-anak bergerombol saling bercerita tentang kengerian yang ditonton hingga sangat larut itu.
Di kalangan anak-anak, tidak tumbuh pemahaman tentang nilai apa yang dapat dipelajari dari ‘sejarah’ itu kecuali rasa ngeri, bingung, dan bibit-bibit kebencian pada suatu kelompok yang disebut PKI yang dalam perspektif anak entah seperti apa bentuknya dan entah ada di mana.
Bibit-bibit kebencian dengan sayap kecurigaan pada ‘entah’ yang bisa terbang ke mana-mana. Tapi semua pelajar tetap harus menonton sebagai ritual tahunan yang diwajibkan hingga 13 tahun.
Ritual menonton saat itu tampaknya dijadikan cara membangun kerangka berfikir tertentu dalam memandang sesuatu yang disebut buruk, jahat, atau membahayakan negara dan sebaliknya kerangka yang membuat pikiran dapat membenarkan sesuatu yang sesungguhnya salah atau tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.
Film ini sendiri menurut para ahli, baik sejarawan, para saksi, termasuk dokter forensik, disebut menggunakan fakta-fakta yang tidak benar terkait penyiksaan, terkait peran para perempuan yang digambarkan sebagai penyiksa korban yang dibuang di sumur Lubang Buaya, dan pencitraan buruk pada beberapa elemen bangsa. Film ini dibuat dengan suatu kepentingan yang serius bagi penguasa saat itu, sehingga dijadikan ritual.
Ritual Menonton
‘Ritual menonton’ ini mengingatkan saya pada ritual peng-ingat-an yang lain dalam tulisan Nurit Peled-Elhanan, seorang guru Israel yang sangat kritis terhadap rezim yang berkuasa yang suka menggunakan kekuatan militer sangat berlebihan dalam menggusur warga Palestina.
Nurit menulis artikel dengan judul’ Intoleransi dalam Pendidikan di Israel’, di situ ada banyak infromasi tentang intoleransi dalam pendidikan di Israel, tetapi ada bagian yang menarik yang saya maksud ini, “Pada hari peringatan peristiwa holocoust para pemimpin pemerintahan terbang ke Eropa untuk meminta pada dunia untuk ‘mengakui penderitaan kami’ dan mengingat kejahatan di mana ‘kami’ menjadi korban.
Anak-anak di sekolah-sekolah belajar bahwa ‘kami’ selalu menderita oleh ‘mereka’—orang-orang non Yahudi—dan masih terus menderita lagi bila ‘kami’ tidak mempersenjatai diri untuk melawan dan mengendalikan ‘mereka’.
Nurit berkometar ‘bukannya pelajaran apa yang dapat diperoleh dari Auschwitz, melainkan trauma, yang diciptakan dan direproduksi kembali dalam pendidikan orang-orang Israel untuk mengangkat perasaan sebagai korban dan membalas dendam,’ (Anak-anak Abraham, Kebebasan dan Toleransi di Abad Konflik, Kanisius, 2014: 139).
Di sini, ritual mengingat peristiwa ini juga dijadikan cara membangun cara pikir dan perasaan tertentu yang mendukung kepentingan rezim yang berkuasa.
Film Penghianatan G30 S PKI dari Kacamata Pendidikan
Kembali pada soal film, dalam sudut pandang pendidikan, film ini ternyata bukan hanya soal pengkultusan seorang individu. Tetapi menanaman pemahaman yang diwarnai kebohongan sebagai seolah-olah benar ini yang dapat meracuni karakter generasi muda.
Kasus film G 30 S ini adalah tantangan besar bagi para sejarawan dan para pendidik untuk mengakrabkan generasi muda pada sejarah sebagai sumberbelajar tentang nilai-nilai, spirit kemanusiaan dan kebelangsungan lingkungan hidup.
Bila sejarah tidak disukai, masyarakat akan makin mudah dibohongi, dan setiap kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru sebagai pembelaan. Kebohongan sumber ketidakberadaban
Menjunjung nilai kebenaran adalah praktik nilai yang berumber dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini mengajarkan pentingnya kejujuran yang harus diutamakan meski segetir apa pun.
Bila nilai kebenaran sudah tidak dihargai, tidak ada kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan di tengah masyarakat. Dari perspektif pendidikan dan nilai-nilai Pancasila ini terlihat bahwa fils ‘Penghianatan G30 S/PKI tidak bermanfaat untuk ditonton.
Biarlah film ini disimpan dalam musium sebagai bagian dari bukti-bukti sejarah tentang cara penguasa di suatu masa mematok cara pikir pada warganya agar mendukung mereka.
Barangkali ada yang menanyakan idiologi saya? Di atas saya sudah menggunakan perspektif Pancasila. Gantian saya bertanya apa ideologi orang yang membiarkan kebohongan yang dapat menghasilkan kecurigaan antarsesama anak bangsa?
Editor: Yahya FR