Report

Bid’ah dalam Pandangan Muhammadiyah

2 Mins read

IBTimes.ID – Perdebatan tentang persoalan bid’ah terus ada di masyarakat. Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharu kadang diidentikkan dengan paham anti budaya dan anti bid’ah. Benarkah demikian? Bagaimana sejatinya konsep bid’ah menurut Muhammadiyah?

Fajar Rachmadani dalam tulisannya di Journal Kalimah berjudul Konsep Bid’ah Perspektif Muhammadiyah: Kajian Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Vol. 18 No. 1, Maret 2020 memberikan empat poin tentang bid’ah menurut Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Majelis Tarjih dan Tajdid.

Pertama, Muhammadiyah lebih cenderung dekat dengan kelompok atau corak muwassi’īn dalam memahami bid’ah. Artinya, Muhammadiyah memandang bahwa tidak semua perkara baru dalam agama dikategorikan sebagai bid’ah yang sesat (dalālah), selama perkara yang baru tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.

Dalam hal ini, penulis membagi ulama yang memandang bid’ah secara berbeda. Kelompok pertama berpendapat bahwa setiap hal baru dalam agama, yang tiidak dikenal pada zaman salaf as-salih adalah bid’ah dan haram hukumnya. Sementara itu, kelompok kedua tidak demikian. Muhammadiyah termasuk ke dalam kelompok kedua.

Muhammadiyah berpandangan bahwa tidak semua perkara yang tidak dilakukan Nabi hukumnya haram jika dilakukan selama perkara tersebut masih berada di dalam koridor syariah.

“Hal yang menunjukkan sikap Muhammadiyah tersebut adalah fatwa Majelis Tarjih tentang perayaan-perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, sekaten, dan yang lainnya, di mana Muhammadiyah membolehkan untuk memperingatinya,” tulis Fajar.

Kedua, dalam menyikapi perkara-perkara baru dalam agama yang tidak dijelaskan secara eksplisit baik di dalam Al-Quran maupun Sunnah, Muhammadiyah berusaha untuk membedakan antara ibadah yang bersifat khusus (mahdhah) dan ibadah yang bersifat umum (ghair mahdhah).

Menurutnya, Muhammadiyah membedakan antara al-Umūr al-Ta’abbudīy, yaitu perkara yang masuk di dalam ranah ibadah yang bersifat khusus atau irasional, dimana seorang muslim tidak boleh merubah, baik menambah, atau mengurangi serta berinovasi di dalamnya, dan al-Umūr ghair Ta’abbudīy, yaitu perkara dalam agama yang tidak termasuk ranah ibadah khusus.

Baca Juga  Sylection International Symposium: UAD Gelar Konferensi Budaya untuk Perdamaian Dunia

Jika perkara baru tersebut masuk dalam kategori al-Umūr al-Ta’abbudīy (urusan ibadah), imbuh Fajar, maka perkara tersebut tidak boleh dilakukan. Sehingga bid’ah menurut Muhammadiyah adalah perkara baru yang ada di dalam al-Umūr al-Ta’abbudīy. Adapun mengenai al-Umūr ghair al-Ta’abbudīy, boleh dilakukan sekalipun Nabi SAW tidak pernah mengerjakannya. Dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Ketiga, Muhammadiyah menyeimbangkan antara upaya purifikasi dan dinamisasi/modenisasi. Di bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna purifikasi atau pemurnian, yaitu mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi SAW.

Sedangkan dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman. Di sini nampak perbedaan antara konsep purifikasi ala Muhammdiyah dengan konsep purifikasi ala Salafi.

“Konsep purifikasi atau pemurnian ala Salafi yang dipahami sebatas kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara membuka pintu ijtihad kurang mendapat perhatian. Purifikasi seperti diidentikkan dengan tekstualisasi. Akibatnya, yang terjadi adalah pembaruan yang sempit cenderung jika tidak boleh dikatakan picik. Sebab, begitu mudah menvonis bid’ah kepada sesuatu hal yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah,” imbuh Fajar.

Keempat, menurut Fajar, Muhammadiyah tidak menggunakan terminologi “bid’ah” untuk menghukumninya. Namun Muhammadiyah lebih memilih istilah-istilah seperti “tidak ada tuntunan untuk itu”, “Tidak ada dasar tuntunan untuk melakukan…”, ataupun istilah “dalilnya lemah…”.

Hal itu disebabkan karena penggunaan istilah bid’ah yang kurang tepat maupun proporsional. Apalagi jika digunakan untuk menghukumi masalah-masalah khilafiyah dalam agama, akan berpotensi memicu perselisihan serta perpecahan di tengah umat.

Muhammadiyah lebih menggunakan pendekatan dakwah kultural dalam upaya purifikasinya. Implementasi langkah purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak dengan cara frontal dan radikal tetapi dengan persuasif dan kultural.

Baca Juga  Pak AR, Bermuhammadiyah Luar dan Dalam

Reporter: Yusuf

Avatar
1344 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

2 Mins read
IBTimes.ID – Memasuki era reformasi, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Lahirnya ruang keterbukaan yang melebar dan lapangan yang terbuka luas, nampaknya menjadi…
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *