Menghidupkan Pancasila – Dekadensi moral masih menjadi masalah besar dan mendasar untuk diselesaikan oleh pendidikan nasional kita. Terlebih lagi, kini kita tengah memasuki era digitalisasi. Di mana interaksi dan pertukaran informasi, budaya, dan gaya hidup berlangsung begitu cepat dan tanpa sekat. Dunia telah menjelma menjadi apa yang oleh para ahli sebut sebagai global village atau perkampungan global.
Letak geografis, status kewarganegaraan, agama, dan budaya tak lagi menjadi pembatas interaksi dan kolaborasi. Dampaknya, persaingan hidup menjadi lebih bebas, ketat, dan serba cepat. Selain itu, identitas nasional juga rentan memudar. Bila diabaikan, dekadensi moral yang kini tengah terjadi, bisa semakin menjadi-jadi.
Tanggung Jawab Pendidikan
Pendidikan nasional sebagai sektor yang bertanggungjawab menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, demikian tengah menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang berkarakter dan kompetitif secara global. Namun di sisi lain, lulusan tersebut juga tidak boleh kehilangan identitasnya sebagai bangsa Indonesia.
Sebab itu lah, penataan sistem pendidikan nasional dan program-program yang ada di dalamnya harus diarahkan untuk menghasilkan manusia Indonesia yang kuat jiwa nasionalismenya dan mampu “bicara banyak” dalam kancah persaingan global.
Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 menetapkan enam profil Pelajar Pancasila. Enam profil tersebut yaitu; (1) berkebinekaan global, (2) bergotong royong, (3) kreatif, (4) bernalar kritis, (5) mandiri, dan (6) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia. Keenam profil ini harus ditumbuhkembangkan dalam diri peserta didik.
Profil Pelajar Pancasila di atas bila dicermati juga selaras dengan keterampilan abad 21 yang meliputi 4C, yaitu Critical Thinking, Collaboration, Communication, dan Creativity yang saat ini sedang menjadi isu hangat di dunia Pendidikan global.
Pancasila sebagai Paradigma Pembelajaran
Dalam upaya menumbuhkembangkan profil Pelajar Pancasila, ada baiknya didukung dengan memposisikan Pancasila sebagai paradigma pembelajaran. Dalam posisi ini, Pancasila menjadi cara pandang dalam melihat pembelajaran. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila diposisikan sebagai moral guidance selama proses pembelajaran berlangsung.
Nilai-nilai tersebut juga sekaligus menjadi tujuan yang terkandung baik secara eksplisit maupun implisit dalam setiap capaian pembelajaran yang dirumuskan dalam perencanaan pembelajaran.
Sebagai contoh, Nilai Ketuhanan dalam sila pertama meniscayakan bahwa pembelajaran yang berlangsung di kelas harus berupaya menanamkan nilai-nilai agama dalam diri peserta didik. Nilai-nilai keagamaan yang terinternalisasi dengan baik dalam diri peserta didik akan melandasi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Keimananan dan ketakwaan peserta didik akan semakin kuat dan akhlak mulia sebagai buah dari keduanya pun akan lebih mudah ditumbuhkembangkan. Hal ini dapat menjadi upaya preventif untuk membendung pengaruh ideologi-ideologi radikal yang belakangan giat disebarkan oleh kelompok tertentu.
Contoh lain misalnya, pada sila kedua yang mengandung Nilai Kemanusiaan. Sama halnya dengan sila pertama di atas, nilai ini hendaknya juga ditanamkan dalam kegiatan pembelajaran. Guru perlu memperhatikan konten mata pelajaran sehingga dapat menyisipkan internalisasi nilai-nilai, seperti nilai kemanusiaan ini.
Contoh sederhananya bisa dengan membimbing dan mendampingi peserta didik dalam berdiskusi dan berkolaborasi supaya tidak gemar memaksakan kehendak serta santun dalam berucap walau tetap harus bersikap kritis. Melalui sila ini, peserta didik diajarkan untuk menyadari kemanusiaan dirinya dan orang lain, sehingga mampu memanusiakan manusia.
Upaya Menghidupkan Pancasila
Berdasarkan dua contoh di atas, pendekatan integrasi atau interdisipliner kiranya dapat dijadikan sebagai solusi. Selama ini pendidikan agama seolah terpisah dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan mata pelajaran umum. Pendidikan agama dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) cenderung dianggap sebagai tugas mata pelajaran agama semata.
Pendekatan sekular seperti ini tanpa disadari dapat menumbuhkan anggapan dalam diri peserta didik, bahwa ilmu-ilmu umum tidak mengandung nilai-nilai keagamaan. Tidak ada pelajaran nilai yang bisa dipetik darinya.
Menjadikan Pancasila sebagai paradigma pembelajaran juga menjadi upaya alternatif untuk menghidupkan Pancasila (Living Pancasila), sebagai dasar, ideologi, sistem filsafat, dan sistem etika negara. Pancasila selama ini kerap hanya diposisikan sebagai korpus suci atau bahkan artefak sejarah untuk dipajang di etalase museum.
Pancasila hanya untuk dinikmati dan dikagumi keindahannya saja. Padahal di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang selaras dengan ajaran agama dan dapat dijadikan sebagai penawar kegelisahan bangsa selama ini. Kegelisahan tersebut adalah kian merosotnya moral sekelompok elit bangsa dan generasi muda yang menjadi tumpuan harapan di masa depan.
Editor: Saleh