Perspektif

Dua Faktor Penyebab Matinya Kepakaran di Era Modern

3 Mins read

Akhir-akhir ini, banyak sekali kita temukan akademisi yang memasang gelar akademiknya di depan dan di belakang namanya. Akan tetapi, hal tersebut berbanding lurus dengan bertambahnya “sikap skeptis” yang ditunjukan oleh masyarakat “awam” terhadap kemampuan kepakaran dirinya.

Paradigma Masyarakat Umum terhadap Kepakaran

Memang secara teoretis, gelar tersebut “berhak dan wajib” disandang oleh seseorang yang telah menyelesaikan studinya di sebuah lembaga pendidikan, serta sebagai legitimasi keahlian menjadi “pakar” pada suatu bidang ilmu pengetahuan.

Namun dengan “banjirnya” para akademisi tersebut, masyarakat “awam” secara pragmatis mempertanyakan; adakah perubahan yang signifikan di lingkungan sekitarnya? Atau justru kehadiran akademisi-akademisi baru tersebut “membunuh” gelar yang didapatkan. Sehingga orang “awam” tidak lagi bisa membedakan antara “pakar” dan “pseudo-pakar” dan akhirnya memilih bersikap apatis.

Dalam buku The Death of Expertise yang ditulis oleh Tom Nicols. Di era”google”, masyarakat awam sangat sulit sekali membedakan mana pakar dan pseudo-pakar. Hal ini disebabkan oleh sebutan pakar yang menurut orang awam adalah mereka sebagai pemberi penjelasan yang lebih tahu suatu hal dan dapat memberikan pencerahan permasalahan apa saja yang dicari solusinya. Sehingga ada penyelewengan “definisi”pakar secara pragmatis di kalangan awam.

Dengan kata lain, seseorang yang disebut pakar ketika ia secara pragmatis dapat menyelesaikan suatu permasalahan di sekitarnya tanpa melihat proses dan menguji metode yang digunakan oleh pakar tersebut.

Meskipun seseorang yang bergelar “sarjana, magister atau pun doktor” apabila secara pragmatis tidak dapat menyelesaikan “suatu permasalahan” berdasarkan “gelarnya”, maka ia dengan mudahnya disebut “pseudo-pakar”.

***

Padahal tidak semua pakar harus demikian. Ada sebagian pakar yang memiliki proses, dan harus berproses untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Namun keinginan instan dalam menyelesaikan permasalahan inilah, banyak masyarakat ”awam” dan “pesudo-pakar” menggunakan “google” sebagai solusinya.

Baca Juga  Meraih Amalan di Bulan Syawal Walaupun Pandemi Covid-19

Memang untuk menjadi seorang pakar pun, seseorang harus melalui tahapan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan keahliannya. Namun di era “google”, seorang pakar yang melalui tahap pendidikan saja tidak dapat diandalkan, karena “keterlimpahan” institusi pendidikan  yang sangat tinggi tidak lagi menjamin benar-benar “berpendidikan tinggi”. (baca: pakar).

Perguruan tinggi kini sudah diibaratkan seperti kegiatan jual beli. Dikarenakan “mutu”ditentukan oleh banyaknya alumni yang terserap di perusahaan yang besar atau lembaga-lembaga pemerintah yang bonafit.

Tingginya ketersediaan pendidikan perguruan tinggi membuat banyak orang merasa lebih cerdas yang didapatkan dari gelarnya yang tidak jelas nilai kecakapannya dan membunuh “metakognisi” atas gelar “akademik yang disandangnya.

Dua Faktor Penyebab Matinya Kepakaran

Pertama, Metakognisi yang Rendah. Masih dalam buku The Death of Expertise, Tom Nicols mengatakan bahwa masyarakat “awam” tidak memiliki metakognisi (kesadaran untuk menyadari kesalahannya) di dalam dirinya –atau metakognisinya sangat rendah sekali. Akan tetapi di hari ini, justru “penyakit“ini menjangkiti di sebagian “pakar” di lingkungan kita.

Banyak  “pakar” yang menundukkan kepalanya terhadap “kehendak berkuasanya” dan ikut-ikutan dalam permainan politik praktis. Sehingga mereka lupa bahwa “kepakarannya” memiliki tanggung jawab besar terhadap “trust” yang dimiliki masyarakat“awam” ketika menghadapi permasalahan yang dihadapinya.

Bukan hanya karena hal tersebut, “metakognisi” pakar di era “google” benar-benar mengalami dekadensi ketika “pakar” berhenti mengambil jarak atas perbuatan yang dilakukannya dan berhenti berefleksi atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. Dengan kata lain, pakar akan menjadi pseudo-pakar ketika ia berhenti belajar dari kepakaran yang dimilikinya.

Bahkan yang mereka kejar hanya “pengakuan-pengakuan” kecil, yang dampaknya terhadap eksistensi “kepakaran dirinya”. Seperti menulis jurnal ilmiah ketika hanya sebagai syarat kenaikan pangkat, melakukan riset ketika hanya mendapatkan hibah penelitian semata, tanpa kemudian memikirkan “manfaat kerja untuk kemanusiaan”yang lebih luas dampaknya.

Baca Juga  Spirit Literasi dan Matinya Kepakaran dalam Kehidupan Inersia (Bagian 2)

Kedua, Tidak Ada Tanggung Jawab Moral. Selain metakognisi yang rendah, dikatakan kematian “pakar” ketika ia tidak memiliki tanggung jawab moral atas “gelar”yang disandangnya. Hal ini memang sangat sulit sekali dimiliki oleh orang-orang yang “merasa” gelar adalah pencapaian “akhir” dari pejalanan akademisinya. Bukan sebagai “wasilah” bagi dirinya untuk lebih sanggup lagi memikul tanggung jawab yang lebih besar dari yang sebelumnya, alih-alih kerja untuk “kemanusiaan”.

***

Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak sekali institus-institusi pendidikan yang menyediakan “paket murah dan mudah” untuk memberikan gelar akademis tanpa menguji kepakaran alumninya. Ini disebabkan karena orentasinya bukan lagi “kerja untuk kemanusiaan”, tetapi sangat “transaksional dan komoditis”.

Tidak mengherankan juga, ketika seseorang mendapatkan gelar akademisnya, banyak yang ingin “disucikan” secara pribadi. Dirinya merasa telah “membayar mahal” untuk mendapatkan gelarnya.

Namun, apakah hal ini akan kita langgengkan dan wariskan kepada generasi penerus kita? Sampai kapan kita mengabaikan “metakognisi” kepakaran kita? Masihkah kita harus berpikir “kuantitatif” dengan terus mengabaikan “kualitas”? Jika kita hanya berpikir demikian, maka kita tidak akan pernah lagi menjumpai “pakar-pakar” seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan dan orang-orang hebat lain dalam khazanah peradaban Islam terdahulu, di masa yang akan datang. 

Editor: Saleh  

Avatar
7 posts

About author
Peneliti Studi Islam dan Penulis Essai Lepas
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds