Biografi Abdul Karim Al-Jili
Al-Jili merupakan seorang sufi yang masyhur di Baghdad dan gelar maqam tertingginya sebagai sufi yaitu dengan sebutan Quthb al-Din. Menurut Yaqut dalam kitabnya Mu’jam al-Buldan, nama lengkap al-Jili yakni ‘Abd al-Karim Ibn Ibrahim Ibn ‘Abd al-Karim Ibn Khalifah Ibn Ahmad Ibn Mahmud al-Jili.
Penisbatan nama al-Jili karena berasal dari Jilian. Berbeda dengan Yaqut, Ighnaz Golziher justru mengatakan sebaliknya bahwa penisbatan al-Jili adalah pada sebuah desa yang ada pada distrik Bagdad yakni “Jil”, bukan pada Jilian.
Pernyataan Ighnaz Golziher di atas, dibantah oleh Nicholson dengan sandarannya pada kitab karya al-Jili sendiri. Baginya, al-Jili memiliki keturunan yang kuat dengan penduduk Jilan yang berasal dari Bagdad. Dari pendapat tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa al-Jili berasal dari dua darah, keturunan Arab-Persia.
Secara garis besar keturunannya, al-Jili dilahirkan di Bagdad. Hal ini diperkuat oleh pengakuannya sendiri bahwa ia adalah keturunan Syekh Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H) dari keturunan cucu perempuannya. Al-Jili dilahirkan pada awal bulan Muharram tahun 767 H.
Kehidupan al-Jili dihabiskannya di Yaman, selama di Yaman, beliau tinggal bersama gurunya Syeikh Syarifuddin Ismail Ibn Ibrahim Jabarty. Pada saat itulah, tasawuf yang berkembang adalah corak tasawuf falsafi yang diprakarsai Ibn ‘Arabi, di mana corak ini mempengaruhi bentuk tasawuf al-Jili, sehingga secara tidak langsung, corak tasawuf falsafinya dipengaruhi pemikiran Ibn ‘Arabi.
Hingga akhir hayatnya, walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat terkait tahunnya, namun ada pendapat yang cukup mendukung untuk diungkap, yaitu oleh ‘Abd Allah al-Habasyi yang dikutip pada naskah tulisan Tuhfah al-Zaman fi Dzikr Sadat al-Yaman karya al-Ahdal bahwa al-Jili wafat pada tahun 826 H. Alasan memilih pendapat ini, salah satunya bahwa al-Ahdal masih semasa dengan al-Jili.
Sekilas tentang Sebab Perbedaan Agama
Apapun yang terjadi, setiap sufi tak lepas dari pandangan-pandangan tentang jalan menuju Tuhan. Tentunya, berbicara masalah perbedaan agama menurut kalangan sufi merupakan suatu hal yang ditempuh bagi setiap orang.
Bagi al-Jili, salah satu yang menyebabkan perbedaan agama adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa diubah lewat manifestasinya yang beragam baik berdasarkan nama, sifat, cara, maupun bentuk. Namun, di satu sisi, manusia juga memiliki hak terhadap menifestasinya dengan dasar pengetahuan, dan pengalaman setiap individu.
Di samping itu, manusia juga memiliki kebebasan dalam membentuk model keyakinan (akidah) dan sesembahan kepada Tuhan. Walaupun demikian, kesan pandangan ontologis al-Jili ini tampaknya lebih kuat dibanding kebebasan yang melekat pada diri manusia itu sendiri.
Kesan ini tampak pada keyakinannya bahwa orang-orang yang beriman kepada nabi dan rasul adalah bentuk manifestasi nama-Nya, al-Hadi. Sedangkan, mereka yang tersesat dalam beragama adalah bentuk konkret yang pasti dari manifestasi nama-Nya, al-Mudil.
Melihat keyakinan al-Jili ini, kelihatannya, setiap manusia seperti halnya tertuntut dan dituntut menghendaki kehendak tajalli-Nya. Manusia seperti tidak bisa melepaskan dirinya dari genggaman tajalli nama dan sifat Tuhan. Sehingga, mengharuskan dirinya memilih jalan yang berbeda-beda, meskipun terdapat kebebasan manusia dalam memperoleh hak tajalli-Nya.
Pandangan Jalan Menuju Tuhan
Al-Jili menyebut istilah shirat Allah dan thariq sebagai jalan menuju Tuhan. Adapun ketika menyebut jalan Allah (shirat Allah), maka yang dimaksud atasnya terdapat dua jalan, yaitu:
Pertama, Jalan Allah dalam Pengertian Umum
Jalan Allah dalam pengertian umum, maksudnya adalah jalan yang ditempuh oleh berbagai pemeluk agama dan keyakinan selain umat Nabi Muhammad Saw.
Tetapi keyakinan mereka telah dicemari oleh sikap politeistik dan ateistik, dengan begini mereka terpecah-belah dan tersesat. Jalan yang seperti ini oleh al-Jili disebut sebagai jalan sesat (tariq al-dhalal).
Kedua, Jalan Allah dalam Pengertian Khusus
Jalan Allah dalam pengertian khusus, yaitu jalan yang ditempuh oleh umat Nabi Muhammad Saw. Di mana, sebuah jalan lurus yang menyelamatkan dan membahagiakan. Ia menyebut sebagai jalan lurus (al-Shirat al-Mustaqim).
Jika umat Muhammad konsisten menempuh jalan Allah yang kedua, maka sejatinya akan mengetahui rahasia hadis Nabi yang menyatakan bahwa siapa saja yang mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui Tuhannya.
Memahami dirinya sebagai alat untuk memahami Allah, menurut al-Jili, hanya dicapai dengan cara beribadah sesuai syariat Nabi Muhammad Saw. Atas dasar seperti ini, model pengabdian setiap orang sebenarnya telah menghayati hakikat nama-nama dan sifat-Nya.
Dengan demikian, seperti halnya Ibn ‘Arabi dan Rumi, dengan tegasnya menyampaikan bahwa jalan Muhammad adalah jalan yang lurus, jalan yang mengantarkan kepada kebahagiaan sejati tanpa ada kesulitan apapun.
Orang-orang yang bertauhid, adalah orang yang tegasnya dalam memiliki tauhid sejati dari kalangan kaum Muslim yang berada di jalan Allah (sirat Allah) dalam pengertian khusus, yakni jalan yang lurus.
Sehingga, dalam konteks hubungannya dengan manifestasi (tajalli) Tuhan antara jalan lurus dan jalan sesat, dapat ditarik benang merah bahwa jalan yang ditempuh umat Muhammad adalah jalan yang sepenuhnya mengandung kebaikan. Artinya bahwa jalan yang sepenuhnya berbentuk pennyembahan kepada seluruh aspek (mazahir) dan manifestasi-Nya yang sempurna, baik bersifat lahir maupun batin.
Editor: Yahya FR