Muhammadiyah Krisis Ulama?
Tulisan Ketua PP. Muhammadiyah Prof. Syafiq Mughni mengenai sebab menurunnya jumlah kyai di Muhammadiyah sangat menarik untuk dicermati. Dengan gaya tulisan yang renyah, Prof. Syafiq berhasil menyampaikan pesan bahwa ketiadaan kyai di internal Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan. Karena Muhammadiyah masih mempunyai persediaan ulama yang cukup bahkan surplus.
Prof. Syafiq menegaskan bahwa kyai adalah gelar antropologis yang diberikan oleh komunitas masyarakat. Sementara ulama adalah gelar teologis yang dapat kita cari landasannya dalam Al-Qur’an.
Penurunan jumlah kyai menurut beliau disebabkan karena tradisi modern yang dianut Muhammadiyah. Di mana putra seorang kyai tidak diistimewakan sehingga banyak yang tidak berminat meneruskan jejak ayahnya.
Meskipun begitu, Prof. Syafiq mengakui bahwa kecenderungan warga Muhammadiyah terhadap kehadiran kyai-kyai baru di lingkungan Muhammadiyah cukup meningkat. Hal ini ditandai dengan tumbuh suburnya pesantren-pesantren Muhammadiyah. Prof. Syafiq menegaskan bahwa yang harus dicetak bukanlah kyai baru, namun ulama-ulama baru. Hal ini lebih tepat dan memungkinkan.
Saya sependapat sepenuhnya dengan tulisan Prof. Syafiq Mughni. Kyai memang gelar antropologis bagi seorang tokoh agama yang dekat dan mengayomi masyarakat. Karena kedekatan dan pengayoman itulah masyarakat memberinya gelar. Tentu saja tidak ada gelar yang gratis bukan? Tak hanya itu seorang kyai pun harus mempunyai ilmu agama yang minimal bisa menjawab persoalan-persoalan di masyarakat.
Di beberapa tempat, seorang yang berfungsi kyai tidak selalu disebut kyai. Di daerah Pasundan misalnya, kyai kadang disebut ajengan, pangersa atau mu’allim. Di tempat lain ada yang menyebut tuan guru. Jika usia kyai belum terlalu tua, biasanya disebut dengan “pak ustadz” saja. Hal ini menguatkan bahwa memang kyai adalah gelar antropologis saja yang bisa berbeda-beda penyebutannya.
Mengapa Muhammadiyah Rindu Sosok Kyai?
Yang ingin saya berikan catatan adalah mengapa ada kerinduan warga Muhammadiyah terhadap sosok kyai? Jika memang warga Muhammadiyah merindukan sosok kyai yang lahir dari pesantren tradisional, yang menguasai puluhan bahkan ratusan kitab kuning, bagi saya ini tidak tepat.
Sudah tepat apa yang dikatakan Prof. Syafiq bahwa jangan mengharapkan kyai model begitu akan banyak di Muhammadiyah. Kalaupun ada, biasanya itu adalah lulusan pesantren NU atau Gontor atau pondok-pondok alumninya yang kemudian masuk dan aktif di Muhammadiyah.
Kalau yang dimaksud kyai adalah lulusan perguruan tinggi jurusan agama Islam baik dalam maupun luar negeri, yang dia bisa membaca kitab kuning dan putih, bisa ceramah, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan jamaah, saya pikir ini adalah keinginan yang realistis. Sosok seperti inilah yang oleh Prof. Syafiq disebut sebagai ulama.
Namun jangan-jangan persoalan di Muhammadiyah bukanlah kekurangan ulama. Tapi banyak ulama di Muhammadiyah yang terlalu sibuk di menara gading, sehingga lupa mengayomi jamaah dan umat. Jangan-jangan sebab jamaah Muhammadiyah merindukan sosok kyai sebabnya adalah ini.
Atau bisa jadi sang ulama sudah mengayomi dan membina jamaah Muhammadiyah. Namun kurang menarik dibanding ulama-ulama di luar persyarikatan. Sehingga jamaah yang dibina lebih memilih untuk mengaji dan meminta fatwa dari yang lain. Lagi-lagi ini adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan.
Tentu saja dugaan saya sangat mungkin salah, bahkan semoga saja salah. Seandainya dugaan saya benar, ada beberapa rekomendasi yang saya tawarkan sebagai solusi dari persoalan ini.
Dua Solusi
Pertama, agar jamaah Muhammadiyah tidak merindukan sosok kyai, para ulama yang sekarang belum membina jamaah karena kesibukan akademik atau lainnya, turunlah ke ranting atau cabang Muhammadiyah terdekat, jadikan diri anda sebagai kyai yang membina dan mengayomi jamaah.
Kedua, bagi yang sudah melakukannya, namun jamaah Muhammadiyah di tempat tersebut masih tertarik dengan “rumput tetangga”, teruslah berbenah. Tingkatkan kapasitas diri, dan terus beri edukasi kepada jamaah agar tetap berada di bawah naungan persyarikatan ini.
Editor: Yahya FR