Ilmu Naqd al-Hadis | Hadis atau sunah merupakan sebuah dasar atau sumber utama sebagai istinbat hukum dan sumber utama agama Islam. Terhadap Al-Qur’an hadis sebagai pelengkap dalam memahami penjelasan dalam Al-Qur’an atau mubayyin.
Tetapi dalam hadis itu sendiri, selain sebagai penunjang dalam memahami Al-Qur’an, hadis juga memiliki substansinya sendiri. Maksudnya, hadis mengandung hukum-hukum sendiri yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Seperti tata cara haji, wudu, sholat, hak waris untuk nenek, dan masih banyak lagi yang tidak ditemukan secara rinci di dalam Al-Qur’an.
Dalam hal ini, hadis sangatlah penting dalam Islam. Terutama, hadis Qudsi yang merupakan cerminan dari wahyu illahi. Walaupun, hal ini hanya diartikan secara maknawi. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. An-Najm ayat 3-4, bahwa Rasulullah SAW tidak berbicara menurut hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diberikan kepada beliau.
Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa hadis sangatlah penting karena menjadi salah satu dari wahyu yang Allah turunkan.
Untuk memahami Islam sama halnya kita harus memahami sunah Nabi dengan benar. Untuk memahaminya, banyak sekali perangkat yang bisa digunakan. Seperti halnya memahami Al-Qur’an dengan perantara Ilmu Tafsir.
Dalam memahami sunah Nabi, bisa dengan banyak ilmu atau perangkat di antaranya; Ilmu Ma’anil Hadis, Ilmu Mukhtaliful Hadis, dan masih banyak lagi.
Selain itu, kita juga harus memperhatikan dengan saksama komentar-komentar dari ulama dan ahli hadis terkait Sunah Nabi ini. Berbeda dengan Al-Qur’an yang terjaga keasliannya, hadis ini perlu diteliti lagi.
Oleh karena itu, lahirlah ilmu-ilmu tersebut sebagai perangkat untuk memahami hadis dengan benar. Salah satu ilmu yang meneliti tentang hadis yang sudah dibukukan oleh para ulama hadis, yaitu Ilmu Naqd al-Hadis.
Pentingnya Ilmu Kritik Hadis (Ilmu Naqd al-Hadis)
Salah satu alasan pentingnya kita melakukan kritik hadis adalah banyaknya pemalsuan hadis yang terjadi sejak abad ke 2 H. Hal ini bisa diatasi oleh para ulama terdahulu dengan berbagai metode pengujian kualitas hadis dengan cara pengecekan sanad, pengecekkan berita, kritik sumber, dan jarh wa ta’dil.
Untuk mengetahui gejala-gejala dari hadis maudhu’ terdapat 2 metode. Yaitu secara teoritik (nadhariyah) dan secara praktik (amaliyah). Dari kedua metode tersebut, lahirlah banyak kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis palsu.
Seperti kitab maudhu’atyang khusus memuat hadis-hadis palsu. Kemudian, satu persatu ulama mulai meneliti hadis dan hasilnya dibukukan dalam satu kitab dengan format yang berbeda-beda. Seperti kitab Jami’, Sunan, dan lail-lain.
Setelah mengetahui perihal letak hadis dalam kitab apa yang membukukannya, hal penting lainnya yang perlu dibahas adalah kualitas sanad dari hadis itu sendiri. Dalam hal ini memuat tentang biografi perawi dan lambang periwayatan hadis (sighatil tahdits) seperti haddatsana, qoola, dan lain-lain.
Tahapan dalam Meneliti Hadis
Tahapan dalam meneliti hadis adalah setelah menemukan hadis dalam suatu kitab hadis yang menghimpunnya, langkah selanjutnya adalah meneliti sanad dari hadis tersebut.
Setelah itu, kita perhatikan tingkat ke-muttashil-an (ketersambungan) sanad tersebut. Ketersambungan ini sampai pada siapa, Rasulullah (marfu’), sahabat (mauqhuf), ataupun tabi’in (maqhtu’).
Langkah ini bisa dilakukan dengan mulai meneliti dari gurunya pen-takhrij hadis (gurunya yang membukukan hadis) sampai pada sanad terakhir.
Ruang Lingkup Penelitian Ilmu Naqd al-Hadis
Selanjutnya adalah mengenai ruang lingkup penelitian Naqd al-Hadis. Hadis sebagai objek penelitian ilmu ini, mempunyai beberapa unsur penting yang harus diperhatikan. Ketika kita mendapati satu hadis, ada bebrapa unsur yang harus diperhatikan dalam hadis tersebut.
Pertama adalah nama kitab tersebut, kemudian siapa yang membukukan hadis tersebut (mukharrij) atau pen-tahqiq (penghimpun hadis-hadis dari kitab yang sudah ada), selanjutnya tema yang memuat hadis tersebut serta sistematika dari kitab tersebut.
Jika sebuah hadis tidak tedapat dalam satu kitab hadis manapun, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Maka dari itu, sangatlah penting untuk meneliti asal-usul suatu hadis sebelum mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah mengetahui sanad dan kualitasnya, kemudian lanjut ke pembahasan matan hadis. Terdapat 2 kategori matan, yaitu matan yang diriwayatkan secara lafdziyah dan matan hadis yang diriwayatkan secara ma’nawiyah (bil ma’na).
Riwayat lafdziyah merupakan hadis yang redaksi dan maknanya berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan riwayat ma’nawiyah merupakan hadis yang lafadz (redaksi)-nya dari sahabat tetapi maknanya dari Rasulullah SAW.
Kualitas dari kedua riwayat ini berbeda, ulama lebih mengunggulkan riwayat lafdiyah dari pada riwayat bil ma’na. Hal ini karena, riwayat lafdziyah tersebut lebih mendekati dengan apa yang disampaikan dari Nabi, baik redaksi maupun maknanya.
Akan tetapi, riwayat bil ma’na lebih banyak beredar dari pada riwayat lafdziyah. Hal ini kemudian yang mengakibatkan adanya banyak hadis yang mempunyai makna sama, tetapi redaksinya berbeda.
Apabila menemukan hadis yang bertentangan atara riwayat lafdziyah dengan riwayat bil ma’na, maka yang harus didahulukan adalah riwayat lafdziyah nya dengan syarat kedua hadis tersebut sama-sama berstatus shahih sanadnya.
Rujukan
Sebagian besar data dalam tulisan ini berasal dari kelas mata kuliah Naqd al-Hadis pada tanggal 3 November 2020 yang disampaikan langsung oleh Ustadz Imam Ahmadi, M.Ag. salah satu dosen di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Editor: Yahya FR