Perspektif

Pembelajaran Daring: Tinggal Masa Lalu?

4 Mins read

Pada beberapa tahun sebelum pandemic, kita mungkin bisa menyaksikan gairah yang besar untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran.

Kemajuan aplikasi dan infrastruktur transmisi informasi menjadi tungku bagi imajinasi mengenai suatu masa di mana segalanya dapat dilakukan tanpa kontak fisik.

Kehadiran pandemi seketika menyebabkan akselerasi dalam proses integrasi teknologi tersebut. Kelas-kelas tergesa-gesa melaksanakan pembelajaran secara online melalui berbagai media.

Yang paling umum barangkali adalah teleconference melalui Zoom, Skype, atau Gmeet. Beberapa punya opsi lain dengan Whatsapp yang meski hemat data, tentu ‘nuansa’ pertemuan sangat tidak dirasakan.

Sayangnya, kini setelah semua berangsur pulih dari pandemi, terdapat fenomena yang menarik. Ketimbang melanjutkan proses integrasi teknologi pembelajaran, kampus dan sekolah banyak yang menampilkan trauma kepada pembelajaran daring dan menarik diri dari segala pencapaian selama pandemi.

Tidak salah bila kemudian beberapa akan menyimpulkan bahwa kita sedang berjalan mundur. Mustinya, bila mengikuti suatu alur maju, maka integrasi menjadi semakin efektif dilakukan. Tandanya, telah terjadi harmonisasi baik dari segi kurikulum, pengajar, dan metode.

Realitas di Kelas-Kelas

Ketimbang antusiasme, kenyataannya, mayoritas tenaga pendidik dan pihak manajemen lembaga pendidikan menyambut pembelajaran daring dengan berat hati.

Hal ini nyata dengan kenyataan bahwa mereka mulai mengganti mode belajar luring dan membuat kebijakan pembatasan atau pelarang belajar daring.

Untuk melalui itu, mereka memiliki beberapa alasan umum yang digunakan. Salah satu yang utama karena kurangnya kemampuan pembelajaran daring untuk mengajarkan etika berkehidupan. Pertemuan yang dimediasi oleh layar disimpulkan mustahil untuk menanamkan nilai budi-pekerti.

Pemandangan diskusi perkuliahan daring yang biasanya kira-kira begini. Guru atau dosen masuk sebagai satu-satunya atau dengan sedikit peserta didik yang menyalakan kamera. Pengajar itu kemudian menjelaskan panjang-lebar, dari awal kelas hingga habis jam belajar, dengan berfokus pada layar sendiri.

Lantas, saat sesi diskusi, kesan yang muncul adalah kelas yang sepi dengan sedikit siswa yang mau berinteraksi. Sekali dua ada yang diminta menjawab namun tidak terdengar jawaban apapun.

Baca Juga  Di Luar Negeri Akademisi Tidak Perlu Scopus

Saat dicari tahu, rupanya banyak yang sekedar masuk room namun fokusnya entah ke mana. Guru dan dosen biasanya melaporkan kekecewaan pada pengalaman mengajar seperti itu.

Masalah teknis yang terjadi juga begitu banyak dan seringkali menambah ketidaknyamanan para dosen atau guru. Seperti ketika ada suara-suara asing atau berisik yang masuk dan ketika slide presentasi yang tidak berjalan. Dua tahun sudah berlalu, tapi faktanya banyak pendidik belum mampu mengantisipasi masalah sepele begini.

Usaha inovatif untuk menciptakan pembelajaran simultan daring-luring juga dilakukan. Masalahnya kemudian, banyak pengajar merasa geram karena sedikit mahasiswa yang memilih bersedia belajar di tempat.

Ketimbang instrospeksi kepada pendekatan mengajarnya, mereka lantas menyalahkan eksistensi pembelajaran daring. Bagi mereka lebih baik semua kembali luring.

Pembelajaran Daring di Luar Negeri

Faktanya, ketika di sini alergi pembelajaran daring semakin tinggi, di luar sana adaptasi pembelajaran dengan teknologi terus dioptimalkan.

Sejak sebelum pandemi, kampus-kampus kelas dunia telah menyelenggarakan berbagai kelas dengan sistem asesmen dan sertifikasi digital yang menarik minat jutaan orang.

Kampus-kampus luar negeri yang menyelenggarakan kelas offline juga biasanya memiliki sesi-sesi online yang wajib dijalani.

Melalui learning management system (LMS) mereka, seorang mahasiswa dapat berinteraksi intensif, meng-upload tugas dan menerima feedback dari dosen.

Tatap muka tentu ada, namun di luar sana paradigma pembelajaran yang berfokus kepada siswa menyebabkan mereka memanfaatkan LMS secara lebih masif.

LMS juga penting karena di situ umumnya ada portal pustaka maya yang mengizinkan peserta didik untuk mengakses literatur pendukung pembelajaran.

Di tengah pandemi pun, kemudian sempat ramai University of The People yang menawarkan berbagai program studi dengan mode pembelajaran full daring. Biaya yang murah namun pengajar kelas global menjadikan ia sempat viral hingga saat ini.

Baca Juga  IPTEK Makin Maju, Apakah Agama Sudah Tak Relevan Lagi?

Dalam konteks pendidikan dasar, di luar negeri memang kecenderungan kecenderungan pembelajaran diadakan secara luring. Hal ini wajar karena anak-anak di sekolah dasar masih membutuhkan kontrol dan bimbingan yang lebih dalam belajar.

Berbeda dengan remaja baik di sekolah menengah hingga kampus yang seharusnya sudah diajarkan meregulasi diri dalam belajar. Di rentang usia itu pembelajaran daring menjadi penting dan harus ada bersamaan dengan pembelajarang luring.

Demikian paparan singkat ini menunjukkan bahwa pembelajaran daring adalah bagian dari tren inovasi dan kemajuan pendidikan global. Memang pendidikan daring bukan bekerja sebagai mode belajar utama, namun kehadirannya sebagai mode pembelajaran pendukung merupakan keniscayaan. Sayangnya, di Indonesia hal tersebut belum bisa berlaku.

Sumber Masalah Utama

Masalah kegagalan pembelajaran daring bersumber pada mentalitas dan paradigma belajar-mengajar di Indonesia yang masih terlalu banyak menekankan monolog dari seorang guru atau dosen.

Jadinya suatu pembelajaran dianggap belum ideal ketika pengajar belum merasa dapat menyampaikan materi secara maksimal.

Sejatinya, mentalitas dan paradigma mengajar ‘pusat tata surya’ di mana guru adalah sumber pengetahuan utama sudah ketinggalan zaman. Hal itu menjadikan peserta didik menjadi tergantung dan minim kesempatan dalam mengolah dan mengartikulasikan hasil pembelajaran dalam bahasanya.

Kelas-kelas yang mengobjektifikasi siswa semacam itu menciptakan kelas yang pasif dan statis.

Ketimbang begitu, seharusnya kelas-kelas kita sudah bergeser kepada pola belajar yang berpusat pada peserta didik (student-centred learning) yang mendorong partisipasi optimal mereka.

Dunia di masa depan menuntut pribadi yang memiliki jiwa kepemimpinan, kepercayaan kepada kemampuan diri dan kemampuan berkomunikasi serta bekerja sama.

Pendididikan berpusat pada guru yang didukung dengan pembelajaran daring secara optimal adalah yang paling kondusif untuk mewujudkan sosok lulusan semacam.

Memang kenyataannya teknologi sulit diadaptasi oleh mayoritas guru-dosen dan para pimpinan lembaga pendidikan yang berusia rata-rata cukup tua.

Baca Juga  Keluarga dan Pendidikan Karakter di Kala Pandemi

Namun sebetulnya kesulitan itu bukan berarti kemustahilan, melainkan keengganan pribadi untuk mau berubah dan mengembangkan diri mereka.

Masalah paling puncaknya adalah bahwa kemudian mereka mengarahkan kebijakan pendidikan agar kelas-kelas dan mahasiswa menyesuaikan dengan diri mereka, ketimbang mereka yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.

Jika seperti itu terus, jangan salahkan bila suatu saat masyarakat menganggap kampus atau sekolah gagal untuk membekali peserta didik dengan segala keterampilan masa depan.

Lembaga pendidikan harus mau luwes, mencair dan mengubah diri demi mengikuti berbagai perkembangan zaman. Tentu tanpa mengorbankan nilai budi pekerti dalam muatan pendidikan.

Pembelajaran Daring untuk Masa Depan

Sehebat apapun teknologinya, yang paling penting adalah mereka yang berada di balik teknologi itu. Kenyataannya demikian: guru dan dosen kita belum terampil dalam menggunakan berbagai fitur teknologi telekonferensi dan mereka terlambat mengembangkan metode belajar yang sesuai dengan mode daring.

Sama halnya dengan pembelajaran pada umumnya, motivasi, dan afeksi merupakan elemen penting untuk efektivitas pembelajaran.

Untuk itu pengajar perlu mempelajari berbagai cara yang dapat diterapkan saat pembelajaran daring guna meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

Ketimbang membunuh kesempatan pembelajaran daring, sebaiknya dua mode pembelajaran itu tetap dapat ko-eksis secara bersamaan sambil secara gradual meningkatkan keterampilan mengajar kita dengan bantuan teknologi.

Pembelajaran daring dan berbasis teknologi punya kemampuan untuk menjadi solusi. Namun, di tangan mereka yang tidak menguasainya pembelajaran daring malah menjadi momok.

Pembelajaran daring entah kita setuju atau tidak adalah pembelajaran di masa depan. Sayangnya, kita para pendidik kebanyakan masih terjebak dan bernostalgia dengan masa lalu. Yang lebih memprihantikan bahwa kita tega mengorbankan pendidikan generasi setelah kita sekedar demi kenyamanan pekerjaan kita sesaat.

Editor: Yahya FR

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds