Falsafah

Wahdat al-Adyan: Gagasan Sufi atau Pemikiran Barat?

4 Mins read

Wahdat al-adyan (kesatuan transenden agama-agama) merupakan satu istilah. Istilah tersebut merujuk pada gagasan para sufi yang menisbatkan bahwa semua agama hakikatnya berpuncak pada kesatuan transenden atau kesatuan esoteris. Kendati tidak sedikit sarjanawan yang menolaknya, istilah ini terus diperbincangkan. Mari kita turut memperbincangkannya sepintas.

Penisbatan Wahdat al-Adyan

Umumnya, istilah wahdat al-adyan dinisbahkan pertama kali pada sufi martir abad kesepuluh, al-Hallaj. Satu syairnya yang masyhur adalah:

Sungguh, aku telah berpikir cermat tentang agama-agama,

Dan aku telah menemukan sumbernya, yang kepada-Nya semua manusia terhimpun.

Kalian jangan sekali-kali memaksakan satu agama kepada seseorang,

Karena sungguh itu merupakan pengingkaran terhadap sumber yang kekal.

Hanya Sumber yang kekal yang menentukannya,

Hanya kepada-Nya semua keagungan dan makna-makna bisa dipahami

(Mukti Ali, 2015: 324).

Konteks dari pernyataan ini adalah bahwa pada masa hidupnya di Baghdad, al-Hallaj menyaksikan ketidakharmonisan hubungan antara umat muslim dan non-muslim.

Sebagai umat mayoritas, orang-orang muslim sering kali melecehkan non-muslim dengan sembrono. Al-Hallaj pada saat itu, tepatnya, melihat seorang muslim yang melecehkaan seorang Yahudi.

Di hari berikutnya, ketika ia bertemu orang muslim tersebut, al-Hallaj berkata, “Wahai anakku, semua agama adalah milik Tuhan. Ketahuilah bahwa Yahudi, Nasrani, Islam, dan agama-agama lain hanyalah simbol dan nama-nama yang berbeda, sedangkan yang dituju tidaklah berbeda.” (Ibid).

Dari pernyataannya itu, al-Hallaj kemudian dianggap sebagai pencetus gagasan wahdat al-adyan meski istilah itu sendiri tidak pernah terlontar dari mulutnya.

Pandangan Ibn Arabi tentang Wahdat al-Wujud

Tidak hanya al-Hallaj, sufi besar dari Andalusia, Ibn Arabi, dalam banyak pandangannya, mengimplisitkan gagasan kesatuan esoterik atau kesatuan batin agama-agama.

Bahkan, ia tidak hanya mengimplisitkan. Melainkan, mengeksplisitkan pandangan itu dalam salah satu syairnya. Sebuah syair yang paling sering dikutip banyak orang.

Hatiku bisa menampung segala bentuk,

bagi rusa-rusa itulah sabana, bagi para rahib itulah biara,

Kuil bagi berhala-berhala, Kakbah bagi para peziarah

Lembaran Taurat, mushaf Al-Qur’an

Aku memeluk agama Cinta;

ke mana pun unta-unta Cinta menapakkan langkah,

di situlah agama dan imanku menjelajah

(Ibn Arabi, 1978: 67).

Baca Juga  Agama bagi Masyarakat Sekuler Eropa

Tak bisa dibantah bahwa Ibn Arabi sendiri sama sekali tidak pernah menyebut istilah “wahdat al-adyan”. Kendati begitu, syair yang baru saja kita kutip menunjukkan bahwa Ibn Arabi tampak inklusif dalam menerima kebenaran agama-agama lain.

Selain bernada sebegitu inklusif, Ibn Arabi juga tak ragu-ragu menegasikan eksklusivitas.

Syair Wahdat al-Wujud dari Jalal al-Din Rumi dan Ibn al-Farid

Selain Ibn Arabi, yang paling patut segera disebut adalah Jalal al-Din Rumi. Ia bersenandung,

Apa yang bisa kulakukan, hai muslim? Aku sendiri tak tahu.

Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan pula Muslim.

Bukan dari Timur, bukan dari Barat. Bukan dari darat, bukan dari laut.

(Idries Shah, 1968: 103).

Sebagaimana syair Ibn Arabi yang telah kita kutip, Rumi juga menunjukkan posisinya yang berjalan di jalan cinta. Ibn al-Farid, penyair Sufi dari Mesir, yang dijuluki sebagai “sultan al-‘ashiqin” (tuan para pencinta), bersenandung,

Api Al-Qur’an yang berkobar adalah cahaya mihrab masjid

ia tak meruntuhkan Injil yang merupakan cahaya gereja Nasrani

[dan] ajaran-ajaran Taurat yang bertutur kepada kaumnya

 yang setiap malam mendendangkan selaksa munajat

bersujud, bersimpuh, dan beribadah di hadapan patung batu di arca,

takkan dihadang oleh keingkaran fanatisme

telah kusampaikan peringatan kepada orang yang menyimpang dari kebenaran

dan telah kunyatakan permohonan maafku kepada semua golongan

tak ada doktrin agama yang menyimpang,

dan tak ada pemikiran kepercayaan yang menyimpang

Majusi menyembah api, dan tak kunjung padam,

Seperti seribu hujah membahana digemuruhkan.

(Mukti Ali, 2015: 349-350).

***

Saya kira tidak sedikit para sufi yang menyuarakan gagasan serupa. Hakim Sanai, misalnya, penyair Sufi Persia abad kedua belas, bersenandung,

Di pintunya, apa bedanya antara Muslim dan Kristen,

yang saleh dan yang salah?

Di pintunya semua adalah pencari dan Dia yang dicari.

Dan masih banyak lagi para penyair sufi yang akan menyenandungkan gagasan serupa, gagasan yang dinamakan wahdat al-adyan.

Memang, para sufi, sejauh ini, tidak pernah secara gamblang menyebut istilah wahdat al-adyan. Sebelum kita menelisik lebih jauh mengenai asal-usul istilah tersebut, baiknya kita meninjau sekilas bagaimana respons para sarjanawan muslim kontemporer dalam melihat gagasan “wahdat al-adyan”. Dalam hal ini, para sarjanawan muslim terbagi menjadi tiga pandangan (Media Zainul Bahri, 2021: 1-3).

Baca Juga  Jalan Baru Rekontruksi Studi Islam ala Prof Amin Abdullah

Repon para Sarjanawan

Pertama, pandangan yang malah mengafirkan para sufi, yang secara nyaring diwakili oleh ‘Abd al-Rahman al-Wakil. Pandangan yang pertama ini melihat wahdat al-adyan malah sebagai bukti bahwa para sufi yang berpendirian ini telah tergelincir ke dalam kesesatan dan telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar.

Kedua, pandangan yang menolak wahdat al-adyan berasal dari para sufi. Bagi pandangan kedua ini, para sufi sebenarnya tidak pernah mengajarkan atau merumuskan gagasan wahdat al-adyan. Mereka yang memahami demikian hanyalah salah paham atas pemikiran-pemikiran para sufi.

Kesalahpahaman ini, masih menurut mereka, disebabkan oleh pengaruh sarjanawan Barat dalam membaca tasawuf dan terutama oleh pengaruh diskusi-diskusi mengenai pluralisme agama-agama yang berasal dari sarjawanan Barat. Sehingga, membuat para sarjanawan muslim mencari-cari khazanah mereka mengenai hal itu.

Mereka yang memegang pandangan kedua ini di antaranya adalah para sarjanawan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia, terutama intelektual muslim senior Malaysia asal Indonesia, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Suad Hakim, pakar Ibn Arabi asal Libanon.

Ketiga, pandangan yang mengafirmasi bahwa memang para sufi berbicara secara serius mengenai wahdat al-adyan. Meski secara terminologis istilah tersebut tidak datang dari mereka sendiri. Para sarjanawan yang memegang pandangan ini adalah Henry Corbin, Nicholson, Annemarie Schimmel, dan William C. Chittick.

Jika yang kita sebut hanyalah mereka, tentu kita akan segera berpikir bahwa benar apa yang dikatakan oleh mereka yang memegang pandangan kedua. Bahwa istilah atau gagasan tersebut merupakan hasil interpretasi dari para sarjanawan Barat.

Mereka yang Mengafirmasi Wahdat al-Adyan

Mari kita sebut sarjanawan muslim yang mengafirmasi wahdat al-adyan. Di antaranya adalah Ahmad Amin, Muhammad Mustafa Hilmi, ‘Abd Qadir Mahmud, dan Abu al-Ala Afifi.

Baca Juga  Memandang Kesetaraan Gender dengan Perspektif Sufisme

Yang disebut terakhir, Abu al-Ala Afifi, seorang pakar serius Ibn Arabi sekaligus komentator kontemporer Fusus al-Hikam, tidak menggunakan istilah wahdat al-adyan dalam membaca teks-teks Ibn ‘Arabi, melainkan ia menggunakan term “agama universal”.

Muhammad Mustafa Hilmi, Guru Besar Filsafat dan Tasawuf di Universitas Kairo, dalam karyanya mengenai Ibn al-Farid, Ibn al-Farid wa al-Hubb al-Ilahi, menyebut al-Hallaj, Ibn Arabi, dan Ibn al-Farid sebagai penganut wahdat al-adyan.

Mustafa Hilmi dalam karyanya itu memang menggunakan referensi-referensi para sarjanawan Barat, yaitu Massignon dan Nicholson.

Menurut Bahri (2012: 35), karya Massignon dan Nicholson yang dikutip oleh Mustafa Hilmi sama sekali tidak menyebut secara gamblang istilah “wahdat al-adyan”. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa sarjanawan yang pertama kali menggunakan istilah tersebut ialah Mustafa Hilmi.

Ahli tasawuf asal Mesir Abd al-Qadir Mahmud, dalam karyanya al-Falsafah al-Sufīyah fi al-Islam, memang juga menggunakan istilah wahdat al-adyan dan menisbahkan istilah tersebut pada Ibn ‘Arabi, yang menurutnya merupakan salah satu anak kandung dari ajaran utama Ibn Arabi, wahdat al-wujud. Namun, istilah ini ia ambil dari buku Hilmi.

Jadi, ia bukanlah sarjanawan yang pertama kali menggunakan istilah ini. Sehingga, perihal tudingan bahwa para sarjanawan muslim yang melakukan kesalahpahaman atas gagasan wahdat al-adyan yang dinisbahkan pada para sufi karena infiltrasi pemikiran sarjanawan Barat terbukti salah, lebih-lebih sekadar terpengaruh oleh kajian tentang pluralisme agama yang berkembang di Barat.

Menurut salah seorang peneliti, Anis Malik Thoha (2005: 18), diskursus mengenai pluralisme agama di Barat baru muncul di abad kedelapan belas. Jadi, tudingan bahwa wahdat al-adyan dipengaruhi pemikiran atau diskursus Barat terbukti salah. Para sufi telah menggemakan, bukan diskursus dan bukan pula pluralisme, cerapan-cerapan spiritual bahwa semua agama bertumpu dan bertemu di “ruang murni” atau “ruang batin” yang sama.

Editor: Yahya FR

Angga Arifka
10 posts

About author
Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds