Suatu hal yang lumrah. Ketika semakin berkembangnya zaman, semakin banyak pula kebutuhan manusia yang beraneka ragam dan tidak ada habisnya.
Tidak hanya kebutuhan material saja, akan tetapi kebutuhan jasa. Pada hakikatnya, kebutuhan hidup manusia juga membutuhkan sesuatu pengamatan terhadap keselamatan jiwa, keturunan, dan juga harta benda mereka.
Karena zaman semakin lama semakin berkembang, maka banyak pula permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh manusia tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, semakin besar resiko yang ditimbulkan.
Pada bidang transformasi misalnya. Semakin canggih transformasi manusia yang digunakan, maka semakin besar pula resiko yang ditanggung mereka. Pertanyaan dari permasalahan seputar asuransi adalah, mengapa masyarakat harus memiliki asuransi?
Dalam hal ini, untuk mengatasi berbagai resiko dari permasalahan manusia tersebut, di masa sekarang, terdapat bentuk muamalah yang biasa dikenal dengan asuransi. Bagaimana memilih asuransi yang tepat sesuai kebutuhan?
Dikarenakan asuransi ini sudah banyak digunakan di kalangan masyarakat saat ini, tentu saja banyak pro dan kontra di dalam masyarakat. Terutama, masyarakat muslim di indonesia perlu mengetahui apa saja hukum asuransi dalam hukum Islam. Berikut ini pemaparan tentang hukum Islam terhadap asuransi.
Definisi Asuransi
Asuransi atau yang dikenal dalam bahasa Inggris yaitu insurance yang berarti jaminan. Sedangkan dalam Islam, asuransi disebut dengan takaful yang berarti saling tolong-menolong.
Terdapat beberapa istilah tentang asuransi dalam bahasa Arab. Di antaranya at-ta’min, tadlamun, ta’ahud yang semuanya dapat diartikan sebagai penjamin atau pertanggungan.
Menurut pasal 246 Kitab Undang-Undang Perniagaan, yang dimaksud asuransi adalah suatu persetujuan antara pihak yang meminjam kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian. Yang mungkin, akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Terdapat berbagai macam bentuk asuransi, di antaranya:
Pertama, Asuransi Jiwa Syariah
Perusahaan asuransi akan memberikan manfaat berupa uang pertanggungan kepada ahli waris apabila peserta asuransi meninggal dunia.
Kedua, Asuransi Pendidikan Syariah
Dengan asuransi ini, dana pendidikan yang telah disepakati, akan diberikan kepada penerima hibah (anak) sesuai dengan jenjang pendidikan. Ahli waris juga tetap akan mendapatkan manfaat dana pendidikan apabila peserta asuransi meninggal dunia.
Ketiga, Asuransi Kesehatan Syariah
Asuransi yang akan memberikan santunan atau penggantian jika peserta asuransi sakit, atau kecelakaan.
Keempat, Asuransi dengan Investasi (Unit Link) Syariah
Produk yang memberikan manfaat asuransi dan manfaat hasil investasi. Sebagian premi yang dibayar dalam investasi ini dialokasikan untuk dana tabarru’ dan sebagian dialokasikan sebagai investasi peserta.
Kelima, Asuransi Kerugian Syariah
Asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerugian harta benda yang dipertanggungjawabkan.
Keenam, Asuransi Syariah Berkelompok
Asuransi ini dirancang khusus untuk peserta kumpulan seperti perusahaan, organisasi, maupun komunitas. Dengan jumlah peserta yang lebih banyak asuransi ini lebih murah bila dibandingakan dengan asuransi syariah individu.
Ketujuh, Asuransi Haji dan Umroh
Asuransi ini memberikan perlindungan finansial bagi jama’ah haji/umroh atas musibah yang terjadi selama menjalankan ibadah haji/umroh. Khusus asuransi haji, telah diatur melalui fatwa MUI nomor 39/DSN-MUI/X/2002 tentang asuransi haji agar para jamaah mendapatkan ketenangan selama menjalankan ibadah haji.
Mengenai dasar hukum asuransi, dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang menjelaskan tentang asuransi. Walaupun demikian, di dalam Al-Qur’an masih terdapat nilai-nilai dasar yang ada pada praktek asuransi, seperti tolong menolong, kerja sama, atau semangat dalam perlindungan terhadap peristiwa kerugian dimasa yang akan datang.
Hal ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 yang berisi tentang perintah untuk saling tolong menolong terhadap sesama manusia. Kecelakaan dan kematian merupakan takdir dari Allah SWT yang tidak dapat kita hindari. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan untuk menghadapi masa yang akan datang.
Hal ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 18 yang berisi tentang perintah untuk merencanakan apa yang kita perbuat di masa mendatang.
Adapun dalil yang bersumber dari beberapa hadis, antara lain hadis dari Imam Muslim dan Abu Hurairah yang berisi “Orang yang melepasakan seorang muslim dari kesulitan dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat”. Ada juga dari kaidah ushul fikih yang disebutkan bahwa “Pada dasarya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Tarik Ulur Pro-Kontra Asuransi Syariah
Menurut pandangan Islam, asuransi termasuk masalah ijtihadiyah. Karena hukumnya tidak dijelaskan secara langsung dalam Al-Qur’an. Jadi, harus dikaji secara mendalam hukumnya. Adapun pendapat para cendekiawan Muslim mengenai asuransi:
Haram secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Bakhit al-Muth’I, dan Muhammad Yusuf al-Qardawi.
Mereka beralasan bahwa asuransi hakekatnya sama seperti judi. Asuransi mengandung unsur yang tidak pasti. Asuransi mengandung unsur riba. Asuransi mengandung unsur eksploitasi. Hidup matinya manusia dijadikan bisnis sehingga dianggap mendahului takdir Allah SWT.
Membolehkan. Pendapat ini disampaikan oleh Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa, dan Mustafa Ahmad Zarqa. Mereka beralasan bahwa tidak terdapat nash dalam Al-Qur’an yang melarang asuransi. Asuransi tidak merugikan salah satu pihak. Kedua belah pihak telah berjanji dan bertanggungjaab penuh. Asuransi termasuk akad mudharabah. Asuransi mengandung kemaslahatan. Asuransi termasuk syirkah ta’awuniayah (bertujuan untuk saling tolong menolong). Asuransi menjaga manusia dari kecelakaan. Asuransi dianalogikan seperti sistem pensiun.
Dewasa ini, banyaknya asuransi yang tidak jelas ke mana arahnya. Ujung-ujungnya terdapat banyak perdebatan mengenai asuransi seperti halnya asuransi kesehatan. Yang mana, banyak rumah sakit yang tidak menerima asuransi kesehatan seperti BPJS dan asuransi kesehatan lainnya.
Lambatnya penanganan ketika menggunakan asuransi kesehatan, hingga mengakibatkan banyaknya korban akibat ulah sebagian rumah sakit tersebut. Apakah Tindakan pihak asuransi mengenai hal tersebut?
Berdasarkan alasan-alasan di atas, asuransi dianggap membawa manfaat bagi peserta dan perusahaan asuransi secara bersamaan. Tindakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan orang banyak dibenarkan oleh Islam. Sedangkan, asuransi yang tidak menuju ke arah kemaslahatan umum dan kepentingan bersama tidak diperbolehkan.
Apabila diceramati dari kedua pendapat kelompok di atas, terdapat kesamaan dalam hal pemaparan argumentasi. Keduanya menggunakan metode qiyas (analogi) dalam penetapan hukum asuransi.
Alasan Pengharaman Asuransi Kesehatan
Pada kelompok yang mengharamkan asuransi, asuransi di-qiyas-kan dengan praktik riba, permainan judi, jual beli dengan penipuan, mengandung eksploitasi, dan lain lain.
Sehingga, mereka menganggap asuransi sebagai hal yang haram. Sedangkan pada kelompok kedua yang membolehkan asuransi, metode qiyas tampak ketika mereka menganalogikan asuransi sebagai akad mudharabah, syirkah ta’awuniayah, dan sistem pensiun.Sehingga, mereka menganggap bahwa asuransi boleh dilakukan.
Masalah asuransi merupakan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya di dalam nash Al-Qur’an. Dua kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda yaitu “haram dan boleh”.
Pada dasarnya, sepakat menyatakan bahwa riba, maysir, dan bay’ gharar itu adalah sesuatu yang diharamkan karena adanya kezaliman. Unsur perjudian dan penipuan di dalamnya, dan hal inilah yang menyebabkan praktik muamalah itu dilarang, namun kemudian mereka berbeda pendapat dalam menganalogikan kasus tersebut dalam kasus asuransi modern.
Perbedaan pendapat bukan disebabkan pada metode penetapan hukumnya, karena keduanya sama-sama menggunakan metode Qiyas. Akan tetapi perbedaan disebabkan pada materi-materi Qiyas itu sendiri dan cara menganalogikan ‘illat–nya. Di mana, satu pihak memandang adanya kesamaan ‘illat antara kasus yang status hukumnya secara jelas dalam hal ini praktik riba dengan kasus asuransi. Sementara pihak lain memandang sebaliknya, ‘illat pengharaman tidak terdapat pada praktik asuransi dilakukan.
Oleh karenanya, untuk mengetahui ada tidaknya ‘illat dalam praktik asuransi dibutuhkan kolaborasi keahlian antara ahli asuransi dengan ahli hukum Islam untuk menganalisis hal tersebut. Sehingga terdapat kejelasan terkait manajemen asuransi.
Demikian keberadaan asuransi syariah melalui perdebatan yang panjang setiap tahunnya, tak lain dimaksudkan guna memberikan wawasan inovatif guna mencapai kemashlahatan yang membawa kemajuan terhadap peradaban keIslaman di era saat ini.
Editor: Yahya FR