Falsafah

Kenapa Manusia Penuh Masalah?

2 Mins read

Melihat lingkungan sekitar membuat saya berfikir bahwa manusia memang tidak bisa lepas dari masalah. Sebuah pertanyaan muncul di benak saya, “Kenapa manusia selalu ditimpa masalah? apakah manusia bisa bebas dari masalah?”

Nalar umum akan menjawab, “Mustahil manusia bisa bebas dari masalah”. Kata “mustahil” memberikan makna seakan-akan memang masalah adalah bagian dari kehidupan manusia dan masalah adalah manusia, manusia adalah masalah.

Abraham Joshua Heschel telah menjelaskan mengenai hal tersebut di beberapa karyanya, yaitu: Between God and Man: An Interpretation of Judaism, Man’s Quest for God: Studies in Prayer and Symbolism dan Who Is Man?

Mengenal Heschel

Abraham Joshua Heschel dilahirkan pada tahun 1907 di Warsawa, Polandia. Dia mempunyai garis keturunan para pemimpin terkemuka Yahudi Hasidik. Pada usia 20 tahun, Heschel menjadi mahasiswa pada Universitas Berlin dan Hoschule fur die Wissenschaft des Judentums.

Ia memperoleh gelar doktor pada 1933, berkat studi disertasinya tentang kesadaran kenabian Ibrani yang berjudul Die Prophetie. Dia mempelajari metode fenomenologi, sebuah metode yang berasal dari Edmund Husserl saat dia belajar di Universitas Berlin tersebut.

Ia sangat aktif menulis sehingga menghasilkan banyak karya berupa buku. Karya-karyanya yang terbit selain yang sudah saya sebutkan di atas di antaranya The Earth is the Lord’s: The Inner World of the Jew in East Europe (1950), The Sabbath: Its Meaning for Modern Man (1951), Man Is Not Alone: A Philosophy of Religion (1951), God in Search of Man: A Philosophy of Judaism (1955), The Prophets (1962), Who Is Man? (1965), dan Israel: An Echo of Eternity (1965).

Manusia Sebagai Masalah

Apa yang dimaksud Heschel mengenai “manusia adalah sebuah masalah?”

Baca Juga  Apa itu Iman?

Heschel menjelaskan bahwa manusia memiliki kesadaran tentang sifat dasar dari eksistensinya di mana hal ini memunculkan derita. Ucapannya yang lain “menjadi manusia adalah menjadi sebuah masalah. Masalah itu mengungkapkan eksistensinya melalui penderitaan. Di dalam penderitaan muncul mental manusia” (Heschel, Between God and Man: An Interpretation of Judaism, 1965: 66).

Pertanyaan yang harus muncul di otak kita adalah mengapa eksistensi manusia menjadi masalah?

Di bukunya yang berjudul “Who Is Man?” (1965: 2) Heschel menjelaskan bahwa, “masalah manusia disebabkan oleh perjumpaannya dengan konflik atau kontradiksi antara eksistensi dan ekspektasi atau antara menjadi manusia sebagaimana adanya dan menjadi manusia sebagaimana seharusnya”.

Adanya konflik atau kontradiksi demikian karena manusia bukan sepenuhnya menjadi bagian dari lingkungannya. Tidak seperti hewan di mana mereka hidup dalam keserasian dengan lingkungan alam sekitar. Singkatnya bahwa, manusia adalah suatu pengada unik yang terus menerus melampaui situasi yang dihadapinya dalam ruang dan waktu.

Menurut Heschel bahwa pijakan yang tepat bagi analisis filosofis tentang manusia adalah terletak dalam upaya menjelaskan manusia sebagaimana seharusnya (esensi), bukan sebagaimana adanya (eksistensi).

Tidak ada eksistensi manusia tanpa esensi manusia: tidak ada konsep tentang apa itu manusia tanpa visi tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia sebab manusia memiliki nilai intrinsik. Nilai intrinsik tersebut adalah martabat (dignity).

Dignity di sini berasal dari Bahasa latin dingus yang berarti bernilai, layak atau pantas. Ini terkait dengan kualitas atau keadaaan yang bernilai (nilai intrinsik).

Term nilai intrinsik ini tidak hanya mengacu pada nilai yang dicapai, melainkan nilai yang ada dari sananya. Nilai ini memang telah melekat pada manusia sejak mereka ada, singkatnya bisa disebut nilai dasar.

Baca Juga  Apakah Nalar Kritik Versi Arkoun Bisa Diterapkan di Indonesia?
***

Begitu juga dalam filsafat Heschel bahwa martabat (dignity) tidak hanya dibuat oleh prestasi, kebajikan atau bakat khusus. Martabat manusia itu bersifat inheren dalam diri manusia.

Pandangan Heschel ini merupakan kritik atas pemikiran yang sudah lazim di masyarakat modern yang menghargai martabat manusia hanya dari apa yang telah mereka miliki atau yang telah mereka capai. Pandangan Heschel ini juga digunakan olehnya untuk memenuhi hak-hak manusia serta memperjuangkannya dalam kehidupan sosial (William Kaufman, Contemporary Jewish Philosophies, with ne Preface by Jacob Neusner, 1985: 166).

Dalam pandangan “Manusia bernilai pada dirinya” Heschel ini berdasar sebagaimana dinyatakan dalam al-kitab bahwa tidak ada satu pun di dunia ataupun di surga yang bisa menjadi simbol Tuhan selain manusia “…bukanlah sebuah kuil, bukan pula pohon, patung atau binatang. Simbol Tuhan adalah manusia setiap manusia”.

Pemahaman tersebut juga masih didasarkan pada keyakinannya bahwa manusia telah diciiptakan di dalam citra Tuhan manusia dipandang memiliki moral, spiritual dan intelektual. (Heschel, Man’s Quest for God: Studies in Prayer and Symbolism, 1954: 124).

Editor: Yahya FR

Avatar
3 posts

About author
Petani dan Mahasiswa S1 UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Nama-nama Ilmu Metafisika Menurut Ibnu Sina

3 Mins read
Dalam kitab Ilahiyat Assyifa, Ibnu Sina menyebut berbagai nama untuk metafisika. Lazimnya nama-nama itu bersifat sinonim atau mengambil satu aspek yang paling…
Falsafah

Ketika Ibnu Sina Bicara Metafisika

3 Mins read
Sejatinya, filsafat pertama atau metafisika sudah dipelajari banyak tokoh jauh sebelum Ibnu Sina. Meski demikian, ternyata Subject Matter (SM) dari ilmu tersebut…
Falsafah

Bagaimana Filsafat Islam Berbicara tentang Kebahagiaan yang Hakiki?

4 Mins read
Tidak sulit untuk kita menjumpai budaya ‘apa’ di media sosial. Teliti saja bahwa influencer-influencer pencipta konten bekerja dari segala ‘apa’. Semua yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *