Perspektif

Bahasa, Canda, dan Kopi Klotok Bersama Buya Syafii

4 Mins read

Siang itu, saya duduk di sebelah Buya Syafii dalam perjalanan dari Kopi Klotok di Jalan Kaliurang menuju ke Kampus Pascasarjana Universitas Islam Indonesia di Jalan Cik Ditiro Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, kami saling melempar canda. Tiba-tiba Buya Syafii berceloteh atas apa yang terjadi di tempat makan yang cukup rame itu, “Wah, ini banyak sekali perempuan yang minta foto. Kalau saya masih muda susah sekali.”

Saya jawab spontan, “Benar Buya, banyak godaan yang bikin tergelincir.” Saat di Kopi Klotok, memang banyak perempuan berusia muda yang meminta foto bersama Buya. Prinsipnya, Buya tidak mau berfoto jika hanya berdua, Buya dan perempuan. Jadinya, saya dan mas Agus ditarik oleh Buya untuk ikut berfoto setiap ada perempuan yang mengajak foto. Buya tidak ingin membuka ruang sedikit pun bagi fitnah dan penggiringan opini yang bakal menjadi prahara rumah tangga.

Sejurus kemudian, kami justru menggoda mas Agus yang menyetir mobil. Saya bilang ke Buya, “Ini mas Agus mau nikah lagi Buya.” Dan Buya menimpali, “Haa, apa iya, Gus?” Sampai akhirnya kami tertawa ngakak. Mas Agus lantas mengarahkan sasaran selanjutnya ke saya, “Ini Ribas, Buya, satu pun belum dapat, 6 tahun di Jogja belum nemu istri.” Buya Syafii membalas, “Ribas ini jual mahal.” Kami pun kembali hanya tertawa. Namun tak lama, Buya Syafii memberi nasehat, “Anda ini masih muda, segera S3. Tidak lama, empat tahun selesai.”

Ketika suasana mulai serius seperti itu, Buya akan memberi wejangan layaknya kepada anak sendiri. “Anda harus kuasai bahasa asing dan perluas pergaulan. Mumpung masih muda,” tuturnya tanpa menggurui. Saya hanya menjawab iya dan berterima kasih atas nasehat-nasehat seperti ini.

***

Buya bercerita tentang persinggungannya dengan bahasa asing, saat masih di Sekolah Rakyat atau mungkin di Madrasah Tsanawiyah. Di suatu pelajaran dalam kurikulum yang dipelajari, terdapat bacaan Arab-Melayu dengan tulisan gundul. Dalam salah satu bab, terdapat judul “ilmu akal”, tetapi Syafii muda membaca dengan “alim akal”. Kesalahan Buya membaca disambut tawa seluruh kelas. Buya merasa malu dengan kejadian itu. “Dasar anak Calau yang kampungan,” katanya menertawakan diri sendiri.

Baca Juga  Nadiem Makarim, Menteri Milenial Pembongkar Tradisi Pendidikan

“Anda kuasailah Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang bagus. Tapi tidak cukup itu, kuasai juga bahasa lain satu, Bahasa Cina, ke depan arahnya ke situ. Bahasa Arab harus jago, agar pede di depan orang Arab,” katanya. Ketika studi doktoral di Chicago, Buya juga mengambil mata kuliah Bahasa Persia, selain Arab dan Inggris.

Buya pernah bertemu penceramah yang keliru ketika menjabarkan tentang kosa kata Arab. Saat berbeda, Buya merasa bahwa intelektual Indonesia tidak kalah dengan banyak intelektual Timur Tengah. Meskipun punya kualitas, tetapi karena tidak menguasai Bahasa Arab, para pemikir Indonesia hanya dikenal di tanah sendiri. Islam Indonesia pun hanya dikenal sebagai Islam periferal. Gagasan dan coraknya tidak menyebar luas. Sebab itu, Buya merasa kemampuan berbahasa Arab tidak dapat dianggap remeh.

Hal itu dikaitkan dengan kondisi ketika banyak umat Islam di negeri non-Arab, termasuk Indonesia yang mudah tertipu oleh penampilan luar dari seorang penyampai agama. “Hanya karena bisa bahasa Arab, memakai jubah, lantas langsung dikira itu ahli agama.” Padahal, kata Buya, banyak sekali orang Arab yang fasih berbahasa Arab, tetapi tidak paham agama. Bahkan, unta yang tinggal di Arab belum tentu memeluk Islam.

Buya Syafii kemudian menceritakan tentang masa mudanya. Dan sampailah pada bahasan tentang pengalaman awal Buya menjadi guru Bahasa Inggris, setelah Buya kembali dari pengabdian Anak Panah di pelosok Lombok. Saat itu, Buya menjadi guru honorer di sebuah sekolah di Baturetno Wonogiri. Buya mengajar sembari berkuliah di Universitas Tjokroaminoto Surakarta.

***

Suatu ketika di tahun 1960-an itu, Buya yang masih muda baru saja membaca sebuah tulisan Soekarno. Seperti biasa, tulisan Soekarno sering memuat istilah-istilah menggugah yang kadang diciptakan sendiri. Dalam tulisan itu, terdapat kata “saintific consideration.” Kata itu diingat betul oleh Buya Syafii.

Baca Juga  Innalillahi, Kenaikan BPJS Menabrak Putusan MA

Dalam suatu kesempatan, Buya tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Buya menyatakan pujian pada penyampaian kepala sekolah, “Pidato kepala sekolah ini sangat bagus sekali dari sisi saintific consideration.” Ternyata, istilah itu membuat kepala sekolah kagum, manggut-manggut, dan percaya bahwa Buya Syafii sangat piawai berbahasa Inggris. Sontak, Buya Syafii ditawarkan menjadi guru tidak tetap untuk mengajar Bahasa Inggris di sekolah itu.

“Padahal cuma satu kata itu yang saya tahu saat itu, tapi mereka langsung terkesan, hahaha.” Kami kembali tertawa lepas. Benar-benar lucu. Apalagi ketika Buya bicara betapa orang mudah sekali terkesan oleh penampilan. Buya Syafii menyatakan, “Musuh kita adalah kebodohan.”

Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii memberikan nasehat supaya anak-anak ideologisnya menguasai bahasa asing dan memperluas pergaulan. Itu kata kunci yang sering diulang. Memang, kondisi hari ini meniscayakan siapa pun untuk memiliki keterampilan bahasa asing. Manusia hari ini seolah berada dalam suatu dunia yang menyempit dan saling terhubung.

Di jenjang pendidikan awal, penguasaan bahasa asing dan penguasaan logika mestinya ditekankan. Dengan perangkat ini, setiap orang bisa berselancar ke mana saja dan mereguk kedalaman mata air pengetahuan dari berbagai sumber. Bahasa membuka jendela. Logika membuka pintu. Tanpa kemampuan berlogika yang runtut, mustahil memahami sesuatu yang dibaca, dilihat, atau dialami.

Di Madrasah Muallimin, Buya mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Ketika mengajar di Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Buya Syafii pernah memarahi para mahasiswanya yang tidak becus dalam Bahasa Inggris. Salah satu mahasiswa Buya yang kini menjadi jurnalis ternama, Zen RS memberi kesaksian bahwa ia pernah diajar Bahasa Inggris oleh Buya Syafii.

***

Bermula dari sebuah perkuliahan yang membahas tentang gagasan filsuf Italia, Giambatista Vico, yang artikelnya termuat dalam Bahasa Inggris. “Mau jadi sejarawan kok bahasa asingnya kacau. Semester depan saya sendiri yang akan ngajar Bahasa Inggris. Kalian kalau mau ikut silakan masuk,” kata Buya Syafii. Buya memenuhi janjinya dan mengajar Bahasa Inggris di semester depan, bahkan tentang hal yang sangat dasar, tentang to be.

Di lain waktu, ketika Madrasah Muallimin mengadakan program pertukaran pelajar dengan Turki. Oleh guru Muallimin, para pelajar dari Turki itu diajak menemui Buya Syafii di masjid dekat rumah Buya. Seusai salat dan zikir, Buya meraih microphone dan mengabarkan kepada jamaah bahwa mereka sedang kedatangan tamu. Lalu guru pendamping dari Turki diminta menyampaikan sesuatu di atas mimbar. Buya berdiri di sebelahnya menjadi penerjemah bagi para jamaah. Buya mengingat dan mengintepretasikan kalimat demi kalimat.

Baca Juga  Merayakan Hari Perempuan Internasional Bersama Julia Gillard

Bagi Buya, kemampuan berbahasa cukup penting. Bahkan pemikiran yang abstrak juga membutuhkan bahasa. Manusia tidak dapat hidup tanpa bahasa. Dengan penguasaan bahasa, manusia dapat berkomunikasi, mencurahkan isi hati, dan menghindari kesalahpahaman di antara sesamanya.

Saat diundang memberi ceramah di acara pelantikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta pada 9 Januari 2019, Buya mengingatkan, “Saya berharap anak-anak muda IMM ini harus punya intelektual kelas satu. Harus rakus membaca. Pemikir itu jumlahnya tidak besar, tapi perlu. Kuasai bahasa asing: Arab, Inggris, Jepang. Itu bisa. Anda bisa. Saya sudah terlambat. Agus Salim menguasai 9 bahasa. Tan Malaka juga begitu.”

Pada 4 April 2021, Buya mengirim pesan, “Di mana bisa dibeli kamus besar Arab-Indonesia, Arab-Arab. Inggris-Arab dan Arab-Inggris saya sudah punya, kecuali ada yang lebih lengkap. Nuwun. Maarif.” Beberapa hari kemudian saya membelikan kamus Al-Munjid dan Kamus Kontemporer Arab Indonesia karya Attabik Ali dan Zuhdi Mudhlor. Saya antarkan di hari Rabu ketika saya dan Erik Tauvani rutin menemui Buya.

Mengantarkan kamus ini ke Buya tiba-tiba saya merasa malu. Bagaimana tidak, Buya masih sering berlelah-lelah menelusuri akar kata secara runtut ke sumber aslinya, sementara saya, di usia muda, sudah mengambil jalan pintas dengan mengandalkan google translete. Potensi otak digantikan oleh mesin. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Buya tidak pikun meskipun sudah usia 87 tahun.

Editor: Yahya

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, wartawan Suara Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds