Poligami merupakan salah satu persoalan yang cukup pelik sekaligus menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan kembali sampai kapanpun. Pasalnya, praktik poligami marak terjadi di tengah masyarakat dengan dalih agama: bahwa Islam sangat menganjurkan hal ihwal. Tak ayal, jika banyak orang yang menunaikannya. Bahkan, dijadikan sebagai ajang perlombaan.
Salah satu dalil yang acap dijadikan tendensi bagi mereka yang gencar mempraktikkan poligami, adalah Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya, Al-Qur’an Surat An-Nisa’ [4]: 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ ألَّا تُقْسِطُوا فىِ الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُم أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: “Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bisa bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka), maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain) sebanyak: dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Selain itu, mereka juga merujuk atau mengutip pada sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. Seperti diketahui bersama bahwa pasca wafatnya Khadijah binti Khuwailid, nabi menikah dengan banyak perempuan; Saudah binti Zam’ah, A’isyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar ibn al-Khaththab, Zainab binti Khuzaimah, Ramlah bin Abu Sufyan alias Ummu Habibah, Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayah, Zainab binti Jahsy, dan lain sebagainya.
Lantas pertanyaan yang muncul kemudian, benarkah mereka yang mempraktikkan poligami mengikuti ajaran Islam (sunnah Nabi)? Atau, mereka hanya sekadar untuk memuaskan hasrat/berahi seksualitasnya?
Untuk menjawab ini, patut kiranya menilik kembali ihwal pernikahan (poligami) Nabi. Dan, praktik poligami yang dilakukan masyarakat.
Poligami Nabi dan Praktik Poligami di Masyarakat
Jika ditelisik lebih dalam lagi tentang pernikahan Nabi Muhammad, tentu saja, kita akan menemukan hal-hal yang bersifat positif. Bahkan, penghargaan dan pengangkatan terhadap harkat dan martabat perempuan.
Artinya, Nabi menikah bukan sekadar atau semata-mata dorongan hawa nafsu/pemuasan akan hasrat seksualitas belaka. Namun sebaliknya, yakni untuk mengayomi dan melindungi mereka, di saat terjadi krisis keamanan yang mengancam hidup dan nyawa perempuan. Pun juga, perempuan-perempuan yang dinikahi Nabi, kebanyakan adalah para janda tua.
Sebaliknya, praktik poligami yang telah dilakukan oleh kebanyakan-jika tidak mau menyebutkan keseluruhan-yang telah mengakar di tengah masyarakat, adalah sekadar untuk memenuhi hasrat atau berahi seksualitas semata. Sebab, perempuan-perempuan yang dinikahi adalah wanita-wanita muda dengan paras cantik dan bukan para janda tua-sebagaimana Nabi Muhammad.
Sementara itu, mereka juga tidak mampu untuk berbuat adil di dalamnya. Lihatlah misalnya, berapa banyak – jika enggan menyebut semuanya – perempuan-perempuan yang dipoligami mengalami kekerasan dari seorang suami. Juga perlakuan tidak adil yang acap mereka terima, baik dari sisi nafkah batin maupun dahir.
Dari sini, jelaslah bahwa praktik poligami yang marak terjadi di tengah masyarakat lebih condong pada pemuasan atau dorongan hawa nafsu semata; yang kemudian dibungkus dengan dalil agama.
Karena itulah, tidak mengherankan, jika terdapat beberapa ulama kontemporer menolak praktik poligami; yang menurutnya banyak mengandung mafsadat daripada maslahah. Walu begitu, seseorang tetap diperbolehkan berpoligami selama ia mampu memenuhi syarat-syarat yang ada: dalam kondisi darurat dan dijalankan dengan prinsip keadilan.
Ahmad Musthafa al-Maraghi misalnya, menyatakan kebahagiaan keluarga itu bisa tercapai jika di dalam keluarga hanya ada satu istri bagi satu suami (monogami). Itulah puncak kesempurnaan yang perlu diedukasikan ke masyarakat dan yang perlu diterima oleh seluruh manusia.
Namun, karena sejumlah alasan terkait kehidupan suami istri, maka seseorang diperbolehkan untuk keluar dari yang ideal (monogami) tersebut (poligami). Seperti, ketika istri mengalami kemandulan sementara suami berharap akan memiliki anak, dan beberapa alasan lainnya (Al-Maraghi, 1998: 151).
***
Ini berarti, al-Maraghi tetap memandang bahwa pernikahan “monogamilah” sebagai pernikahan ideal yang akan mengantarkan seluruh anggota keluarga kepada kebahagiaan. Sementara pernikahan “poligami” dianggap sebagai kekecualian, karena hanya bisa dilakukan dalam kondisi tertentu dan sangat urgen dalam sebuah pernikahan.
Hal yang sama (dengan al-Maraghi) juga dikemukakan oleh Prof. M. Quraish Shihab, bahwasanya poligami adalah pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Seperti, istri mandul atau terkena penyakit yang memustahilkan seorang istri menjalankan tugas-tugas sebagai istri (bagaimana si suami dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya). Dalam kondisi demikian, maka sang suami ditoleransi untuk berpoligami (Abdul Moqsith Ghazali, 2015: 143).
Lebih jauh lagi, KH. Husein Muhammad, dalam pengantar buku berjudul “Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur’an dan Hadis Nabi” karya Abdul Kodir Faqihuddin berpandangan jika poligami dimaksudkan sebagai wahana untuk menyalurkan hasrat seksual laki-laki yang tidak bisa dicukupi oleh satu istri, maka alasan ini tidak tepat dihubungkan dengan poligami Nabi Muhammad.
Dengan kata lain, ia menampik; poligami Nabi tidak didorong oleh kebutuhan libidonya. Artinya, poligami Nabi bukan didasarkan pada kepentingan biologis (sebagaigama praktik poligami kiwari), melainkan perlindungan terhadap orang-orang yang dilemahkan. Karena itulah, lanjut Kiai Husein, poligami zaman dahulu masih ditoleransi. Namun dalam konteks sekarang, ia tidak mudah memberikan toleransi sedikitpun.
Menarik, salah satu alasan paling kuat penolakan Kiai Husein ihwal poligami pada zaman sekarang, bahwa poligami sesungguhnya merupakan tindakan yang merugikan perempuan.
Poligami membuat penderitaan batin bagi para istri, baik yang menjadi madunya maupun bagi istri pertamanya. Bahkan, poligami juga acap menimbulkan kesulitan lain yang dapat mengantarkan pada kondisi disharmoni dalam keluarga.
Jika ini terjadi, hal tersebut tentu saja, tidak sejalan dengan misi perkawinan yang digariskan Al-Qur’an, yaitu menciptakan kehidupan sakinah, mawaddah dan rahmah. Wallahu A’lam
Referensi
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
Ghazali, Abdul Moqsith, Tafsir Atas Poligami Dalam Al-Qur’an, Karsa, Vol. 23 No. 1, Juni 2015.