-IBTimes.ID- Sekarang ini, banyak sekali bermunculan Dai, Ulama, Ustaz, dan Kiai-Kiai viral, sensasional, dan karismatik di media sosial maupun di sekitar lingkungan kita. Lalu, bolehkah kita mengikuti mererka?
Patuh Kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri
Menurut ajaran Islam bahwa kita wajib taat dan patuh kepada Allah swt dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw.Tunduk dan patuh kepada Allah, tuntunan dan petunjuknya terdapat dalam Alquran.
Sedang tunduk dan patuh kepada Rasulullah berarti kita melaksanakan perkataan, perbuatan, dan taqrir–nya. Yang mana terdapat dalam sunah yang shahih dan maqbul.
Yang dimaksud dengan taqrir Nabi saw ialah perkataan dan perbuatan shahabat yang diketahui oleh Rasulullah. Tetapi Rasulullah tidak memberikan reaksi (tidak membenarkan dan tidak menyalahkan) terhadapnya.
Sebagaimana diketahui, bahwa perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw itu mulai dibukukan pada permulaan abad kedua Hijriyah. Lalu berakhir pada akhir abad ketiga Hijriyah.
Hal ini berarti bahwa selama lebih dari satu abad sunah itu berada dalam hafalan shahabat, kemudian diajarkan dan dihafal oleh tabi’in. Kemudian tabi’it-tabi’in mempelajari dan menghafal setelah menerima dari tabi’in. Hal yang demikian dilakukan pula oleh atba’ut-tabi’it-tabi’in sampai kepada perawi dan perawi membukukannya.
***
Dengan demikian, sunah sampai dibukukan terjadi alih hafal sekurang-kurangnya lima generasi. Yaitu generasi shahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, generasi atba’ut-tabi’it-tabi’in dan generasi perawi. Sebagaimana diketahui, bahwa manusia itu tidak sama kemampuannya dan tidak sama pula nilainya.
Ada yang pintar, ada yang kurang, ada yang banyak ilmunya ada yang kurang, ada yang dapat dipercaya, dan ada pula yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat hafalannya, ada yang kurang kuat dan sebagainya.
Perbedaan tingkatan kemampuan dan nilai para sanad hadis ini menimbulkan perbedaan penilaian terhadap hadis yang sampai kepada kita. Karena itulah sebelum suatu hadis diamalkan perlu diteliti lebih dahulu, apakah hadis itu shahih sanad–nya dan dapat diterima dengan arti tidak berlawanan dengan nash yang lebih kuat daripadanya.
Untuk meneliti sanad dan matan suatu hadis dapat dilakukan kaum muslimin pada masa kini, karena telah tersedia buku-buku yang menerangkan riwayat hidup orang-orang yang menjadi sanad suatu hadis.
Demikian pula tentang matan hadis dapat diuji dengan nash yang lebih kuat daripadanya. Seperti Alquran dan sunah yang telah diakui ke-sahih–an dan ke-maqbul–annya.
Banyak nash yang dapat dijadikan dasar bahwa kita wajib mengikuti Allah dan Rasul-Nya, ialah Allah swt berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ. [آل عمران (3): 31-32]
Artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” [QS. Ali Imran (3) : 31-32]
***
Baca juga al-Qur’an surat an-Nisa’ (4): 59; al-Maidah (5): 92; al-Anfal (8): 20; an-Nuur (24): 54 dan banyak ayat-ayat Alquran yang lain yang senada dengan ayat di atas serta mengancam dengan siksa setiap orang yang tidak mengikuti perintah tersebut. Dan hadis Rasulullah saw:
عَن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إَلاَّ اللهُ وَ أَنَّ محمَّدا رَسُوْل اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ. [متفق عليه]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Bersabda Rasulullah saw: ‘Islam itu ditegakkan (di atas) lima perkara; meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa bulan Ranadhan’.” [Muttafaq alaih]
Meyakini Rasulullah saw sebagai salah satu fundamen Islam, maksudnya mengikuti dan taat melaksanakan yang termaktub pada sunnahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kita hanya wajib taat dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Sedang dalam masalah duniawi kita boleh mengikuti ulil amri (pemerintah) selama pemerintah itu tidak menyimpang dari ajaran dan perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً. [النسآء (4): 59]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” [QS. an-Nisa’ (4): 59]
***
Hal ini juga berarti bahwa kita boleh saja mengikuti siapa saja termasuk kyai kharismatik selama ia berpegang kepada Alquran dan sunah ash-shahihah dan al-maqbulah.
Kyai yang sekuler sebenarnya sama dengan orang yang tidak berilmu lagi sehingga fatwanya tidak layak lagi diikuti, apalagi telah bertentangan atau tidak sesuai lagi dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abu Bakar ra berkata: “Ikutilah aku selama aku mengikuti Allah. Apabila aku durhaka kepada Allah tidak ada lagi kewajibanmu mengikutiku”. Para Imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain, semua berfatwa yang isinya menyatakan bahwa ikutilah pendapat mereka selama pendapat mereka itu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.