Perspektif

Psikologi Pesantren: Menyoal Kepatuhan Santri pada Kiyai

4 Mins read

Belakangan ini institusi pendidikan pesantren menjadi bahan perbincangan yang cukup hangat. Apalagi ketika ia dihubungkan dengan kasus-kasus pelecehan seksual yang korbannya tidak lain adalah santriwati berusia di bawah umur.

Masyarakat tentu tertegun dengan fenomena ini. Pesantren yang selama ini didaku sebagai lembaga sakral tempat pendidikan moral-spiritual dan keagamaan ternyata tidak luput menjadi tempat kejadian perkara kejahatan.

Tentu tidak semua pesantren seperti itu. Justru, mayoritas pesantren istikamah dalam perkataan dan tindakan. Bahwa zina adalah perbuatan terlarang, dan penambahan unsur pemaksaan menjadikan pelecehan seksual sebagai bentuk dosa yang sangat besar.

Apalagi bila kejahatan itu dilakukan pada anak-anak yang lemah dan di bawah pengasuhannya. Maka, sejatinya kasus-kasus yang muncul belakangan hanya anomali, bukan sebuah kondisi umum di pesantren.

Meski demikian, hal itu tidak menghentikan beberapa orang untuk merendahkan pesantren. Menurut mereka terdapat suatu instrumen budaya dan psikologis dalam pesantren yang memungkinkan terjadi penyalahgunaan oleh oknum-oknum yang berniat jahat. Aktivasi instrumen ini pada babak berikutnya akan menyebabkan pesantren terjatuh dalam radikalisme. Apakah benar demikian?

Bentrokan Santri-Polisi

Sebagaimana kasus terakhir yang ramai di Jombang, kita dapat mengamati bagaimana santri-santri begitu loyal terhadap pesantren dan sang kiyai. Bentrokan tidak dapat dihindari ketika santri-santri teguh dalam usaha ‘menjaga keselamatan dan wibawa’ kiyai serta keturunannya. Puluhan santri akhirnya mengalami penangkapan dikarenakan tindakan menghalangi proses hukum.

Paling tidak apa yang dilakukan para santri itu dapat kita pahami dari narasi yang muncul secara bersamaan. Bahwa berita yang berkembang mengenai tindakan pemerkosaan dan usaha penangkapan adalah kesalahan besar yang timbul karena hasutan-hasutan pihak luar. Hal itu kemudian dibarengi dengan narasi kriminalisasi kyai. Wajar bila kemudian santri merasa perlu turun membela tokoh panutan yang selama ini mereka kagumi.

Baca Juga  Analisis Gaduh Kamus Sejarah Indonesia

Sampai saat ini pun banyak santrinya yang menilai bahwa penangkapan itu salah. Kabarnya mereka bersama pihak keluarga atau pimpinan pesantren berencana untuk mengerahkan massa ketika sidang digelar. Ini bukan isapan jempol belaka.

Sebelumnya, massa santri telah melakukan demonstrasi di kantor aparat untuk memberi tekanan sosial. Mengingat pengalaman sebelumnya itu, tidak mustahil bagi mereka untuk kembali melakukan hal yang sama.

Kepatuhan Santri pada Kiyai Pesantren

Pihak luar dengan segera menyimpulkan bahwa apa yang terjadi merupakan suatu bentuk fanatisme. Suatu kecintaan buta yang menumpulkan logika. Lantas semua pesantren dituduh membina fanatisme dengan jalan perhormatan dan penerimaan total kepada kiyai.

Apa yang terjadi di Jombang, menurut mereka, adalah bukti sahih yang menunjukkan betapa fanatisme itu nyata dan mengandung bahaya laten bagi penegakan hukum di Indonesia.

Sejatinya bukan fanatisme, namun fenomena di atas menunjukkan apa yang disebut sebagai kepatuhan. Kepatuhan itu bermakna penerimaan terhadap ketentuan yang ditetapkan dari sosok atau figur otoritatif. Kepatuhan ini bisa bersifat total tanpa ada filter dalam kesadaran seseorang, hingga kepatuhan yang sifatnya kritis.

Fanatisme tidak lain adalah kepatuhan total yang kemudian menjadi bahaya dan perlu diantisipasi. Sebabnya, fanatisme akan menjadikan mustahil bagi seseorang menolak sekalipun apa yang diperintahkan salah. Berbeda dengan kepatuhan kritis yang menerima ketentuan selama ia memiliki bobot kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan.

Berikutnya, perlu dipahami bahwa dalam konteks pesantren, kepatuhan pada kiyai adalah prasyarat penting untuk belajar dan meneguk kedalaman ilmu kiyai. Melalui kepatuhan dan penghormatan pada kiyai, apa yang diajarkannya akan jauh lebih tertanam kuat dalam sanubari.

Tentu akan berbeda jika santri belajar tanpa perasaan apresiatif pada gurunya, sang kiyai. Maka, yang akan terjadi adalah minimnya penyerapan ilmu. Dalam psikologi seseorang pembelajar, atensi dan proses mental berikutnya akan jauh lebih kompleks dan intensif ketika siswa memiliki relasi dan afeksi yang dalam kepada gurunya.

Baca Juga  Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Masa Depan

Figur Kiyai itu Teruji

Namun memang benar pula bahwa kepatuhan ini dapat menjadi sebuah pisau bermata dua. Bukan karena kepatuhan itu sendiri merupakan hal yang salah. Namun bahwa kepatuhan itu akan sangat bergantung pada objek patuhnya, sang guru atau kiyai. Ketika figur yang dipatuhi menyalahgunakan otoritasnya, maka tidak jarang yang timbul justru adalah eksploitasi.

Tapi dalam banyak penyalahgunaan itu minim akan dilakukan oleh kiyai. Kiyai yang autentik telah teruji kepantasan dan kedalaman keilmuan sekaligus keunggulan kepribadian. Menjadi kiyai bukan suatu hal yang dapat dilakukan hanya dengan melamar dan punya koneksi orang dalam. Menjadi kiyai adalah proses penempaan panjang dari saat menjadi santri, ustaz, dan yang paling penting teruji oleh waktu.

Pun kiyai biasanya juga lahir dari lingkungan keluarga atau kerabat pimpinan pesantren. Mereka telah mendapatkan pengasuhan dan pengarahan menuju pada waktu di masa depan di mana mereka akan menjadi kiyai.

Tidak jarang pula seseorang gagal menjadi kiyai bila kemudian dipandang tidak mumpuni secara intelektual dan moral. Kalaupun dipaksakan, jangan salahkan bila masyarakat kemudian turun kepercayaan dan keseganan kepada pesantren.

Fanatisme milik Pesantren?

Tidak seperti yang dipahami, pesantren bukan sekedar sebuah lembaga doktrinasi yang hanya melakukan transfer ilmu dan doktrinasi ideologi. Sebenarnya malah pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam bentuk klasik.

Untuk memahami hal ini, perlu kiranya diketahui sistem pendidikan yang umum ada di pesantren yang sebenarnya.

Pada tahun-tahun awal di pesantren, seorang santri belajar ilmu-ilmu kunci untuk memahami agama. Ilmu-ilmu kebahasaan dan kitab-kitab fikih menjadi beberapa yang pertama diajarkan sebagai pondasi.

Setelah beberapa tahun, santri akan berproses pada kelas yang diskursif. Kelas ini yang disebut sebagai kelas musyawarah. Santri akan diberi kasus fikih tertentu dan mereka dibebaskan berargumen dengan dasar-dasar ilmu yang sebelumnya mereka telah dapatkan.

Baca Juga  Apakah Gerakan Pembebasan UKT Utopis? Sebuah Tanggapan

Dalam kelas musyarawah itu, santri berlatih berdialektika. Mereka belajar untuk berpikir secara mandiri. Namun, pikiran itu tentu bukan sekedar pikiran bebas yang tanpa dasar.

Mereka harus memiliki justifikasi baik dalil-dalil, pendapat ulama, atau argumentasi rasional yang dapat mendukung pendapat mereka. Nah, dari sini dapat kita lihat bahwa santri, pada taraf puncaknya, diajarkan untuk kritis.

Mereka yang mengatakan bahwa pesantren antri kepada nalar bisa jadi adalah yang tidak pernah mondok atau mondoknya hanya sebentar.

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijabarkan, harapannya dapat dipahami bahwa pesantren tidak serta-merta merupakan lembaga yang mengajarkan fanatisme. Apa yang terjadi belakangan hanya outliers, yang bukan jadi karakteristik umum pesantren.

Kenyataannya, bila ditilik dari sistem pendidikannya, pesantren adalah lembaga yang mengajarkan daya kritis kepada santri-santrinya.

Meski demikian, pesantren juga harus berbenah. Dikarenakan konservasi kepada nilai dan ilmu-ilmu klasik, seringkali hal-hal baru yang penting dan relevan dalam konteks hari ini terabaikan oleh pesantren.

Hal itu misalnya adalah kesadaran mengenai bahaya dan bentuk-bentuk pelecehan seksual dan kerentanan perempuan serta anak-anak. Barangkali literasi perlu diberikan untuk menyasar apa-apa yang dirasa masih minim di atas.

Ke depan, semoga kasus-kasus yang sama tidak lagi berulang. Kita tentu mengharapkan pesantren dapat terus melaksanakan tugasnya, melahirkan individu muslim berakhlak mulia, berwawasan luas. Sembari terus bekerja menunaikan tugasnya itu, pesantren harus selalu ingat, bahwa masyarakat tidak akan segan memberi kritik dan koreksi bila pesantren keluar dari relnya.

Editor: Yahya FR

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds