“CEPET DEKK”, “BISA BARIS GA SI”, “KALIAN GATAU KAMI SIAPA!!”
Barangkali itulah beberapa kata yang umumnya dikatakan senior pada junior-juniornya di kala ospek. Kebetulan sekali penulis adalah angkatan Covid-19 yang sama sekali tak merasakan bentakan seperti itu, sungguh beruntung angkatan kami.
Pasalnya hal-hal seperti itu sudah tidak layak dilakukan dalam instansi-instansi pendidikan kini. Segala bentuk kekerasan verbal maupun non-verbal tak bisa dijadikan alasan untuk mendisiplinkan mahasiswa baru.
Seringkali kita jumpai kasus-kasus yang demikian akan menciptakan rantai senioritas yang tak kunjung usai. Junior yang kini mendapat ocehan dan bacotan, kelak akan balas dendam pada junior selanjutnya.
Sehingga, memunculkan api senioritas yang tak akan padam. tak hanya di instansi pendidikan sekelas universitas, namun hal ini juga kerap terjadi di instansi berbasis Islam, pondok pesantren tepatnya.
Kasus Gontor: Pendidikan Militer yang Salah Tempat
Saya kaget sekaget-kagetnya mendengar berita ini. Sungguh di luar perkiraan banyak orang. Saya kira kasus senioritas hanya terjadi di pondok-pondok kecil yang terbilang baru seperti pondok yang pernah saya tempati.
Ternyata, hal seperti itu terjadi pula di pondok modern level internasional tersebut. Kasus yang berujung dengan kematian seorang santri itu sungguh mengagetkan banyak orang termasuk saya.
Kasus ini menjadi tak biasa karena sampai menghilangkan nyawa manusia. Bukan hanya itu, kasus ini juga sempat ditutupi pihak pondok pesantren hingga wali santri itu melakukan pengaduan terhadap pengacara kondang Hotman Paris. Tentu kejadian ini menjadi tamparan sekaligus kritik terhadap instansi pendidikan berbasis Islam.
Dulu di kala saya menjadi santri baru di sebuah pondok pesantren, memang saya merasakan betul bagaimana senioritas itu terjadi. Meskipun terkadang kakak kelas saya seakan membungkusnya dengan perintah-perintah yang sopan dan persuasif. Tapi senioritas-tetaplah senioritas, kami tetap harus melakukan apa yang mereka minta.
Padahal kami tetap akan segan dan menghormati para pendahulu pesantren, tapi bukan begitu caranya. Senior bisa saja mengajak junior belajar bersama dan menunjukkan bahwa dirinya memang benar-benar bisa menjadi panutan.
Memang saya akui bahwa kekerasan adalah jalan pintas paling ampuh dalam proses pendisiplinan, namun apakah hal itu cocok diterapkan pada instansi pendidikan?
Saya pikir pendidikan semacam militer itu hanya tepat pada instansi pendidikan sekelas AKMIL dan AKPOL serta beberapa instansi yang memang orientasinya membentuk karakter yang kuat mental dan fisik.
Orang Islam itu Harusnya Egaliter
Sempat beberapa waktu lalu seorang pelawak yang sekaligus menjadi kader Muhammadiyah mengatakan bahwa kultur egaliter ada di Muhammadiyah. Dan inilah kiranya yang menjadi pokok pembahasan kita.
Sebagai pengikut Nabi Muhammad tentunya kita patut meneladani cara beliau dalam berinteraksi sosial. Sepanjang pembacaan saya, Nabi Muhammad tak pernah sekalipun bersikap arogan dan merasa paling berkuasa. Justru kita sering mendengar Nabi duduk-duduk di sekeliling sahabatnya kemudian bercerita dan menyampaikan ilmu.
Bukan itu saja, Nabi juga pernah ikut menggali parit ketika melakukan persiapan perang Khandaq di Madinah. Beberapa contoh di atas menurut saya sudah cukup untuk menggambarkan betapa egaliternya sosok Nabi Muhammad.
Fazlur Rahman dalam bukunya “Tema-tema Pokok Al-Qur’an” juga mengatakan bahwa sejatinya Al-Qur’an turun ke bumi untuk menjadikan manusia itu etis dan egaliter. Rahman juga mengkritik orang-orang yang tak mau bersosial dan merasa derajatnya paling tinggi. Ia mengatakan bahwa konsep takwa tidaklah ada artinya kecuali diikuti dengan kesadaran akan konteks sosial.
Senioritas Harusnya Tidak Ada di Instansi Pendidikan Muhammadiyah
Salah satu sebab terjadinya kasus senioritas adalah sikap merasa paling tinggi dan layak dihormati. Seakan tidak boleh menerima kritik serta merasa paling benar. Tentu sikap ini tidak ada dalam kamus kehidupan Nabi Muhammad SAW. Muhammadiyah bila diartikan sebagai pengikut Nabi Muhammad tentunya akan merepresentasikan kehidupan Nabi yang demikian.
Muhammadiyah sendiri sangat terbuka terhadap berbagai kritik dan masukan. Tidak ada penghormatan yang berlebihan terhadap ustaz atau ayahanda-ayahanda. Sewaktu salah mereka juga akan mendapat kritikan dan masukan.
Penghormatan yang belebihan justru berpotensi besar untuk menjadikan kita orang yang fanatik. Cukuplah kasus pelecehan seksual yang dilakukan Mas Bechi terhadap santriwatinya menjadi contoh betapa berbahayanya sikap terlalu menghormati. Sikap yang egaliter mampu memotong segala bentuk sikap seniortas dan anti kritik.
Penerapan di berbagai instansi Muhammadiyah saya kira sangat penting mengingat fokus kita adalah pendidikan dan pencerdasan masyarakat. Akan menjadi masalah besar bila persyarikatan yang fokus pada pendidikan justru tak memperhatikan pembangunan karakter siswa-siswinya.
Editor: Yahya FR
Tau taik gk, gua bilang taik taik taik, artikel sampah, pengkaderan IMM itu gk ada bedanya sama pengkaderan binatang, makanya gua bilang artikel lu sampah, gua maba di salah satu kampus muhammadiyyah malah dipaksa ikut IMM …