Agama selalu berusaha meyakinkan bahwa ada satu wujud tak terindera yang siap siaga mengawasi laku-tutur kita dan kelak akan memintai kita pertanggungjawaban atasnya. Sebagian besar manusia mempercayai wujud tersebut yang kemudian secara umum orang menyebut dengan teis, sedangkan yang lain yang memutuskan tak percaya disebut ateis.
Dalam perjalanannya, para teis memiliki persepsi masing-masing tentang Tuhan, dan tokoh-tokohnya melahirkan agama-agama. Ketika sang pembawa agama meninggal, pengikutnya memiliki tipologi pemikiran atas agama dan menghasilkan sekte/mazhab dan sejenisnya.
Selanjutnya, orang-orang belakangan terkadang tidak bisa lagi membedakan apakah dia sedang memeluk sekte atau agama; kadang juga mereka mengaku beragama tapi tanpa pengetahuan memadai tentang Tuhan yang diimaninya itu.
Di sisi lain, ada orang yang secara formal beragama tetapi cuma setengah percaya atau tidak percaya sama sekali tentang eksistensi Tuhan. Akan tetapi, meski ragu-ragu alias mengalami keguncangan iman, ada orang yang masih tetap sembahyang sebagaimana mestinya dan ke mana-mana mengenakan pakaian standar agamanya.
Keraguan atas Dogma
Ada sejumlah alasan yang membuat orang kesulitan untuk mempercayai dogma, misalnya:
1) Selama ini dia didoktrin bahwa ajaran agamanya adalah murni dibawa oleh Sang Nabi. Setelah banyak baca, ternyata ajaran, termasuk cerita-cerita sakral di dalamnya, tak lebih dari duplikasi atau modifikasi dari agama serumpun atau masyarakat kuno sebelumnya.
2) Apa yang disebut sebagai ajaran agama rupanya tak lebih dari sekadar ekspresi budaya patriarki dengan pelbagai modus (mulai dari politik, ekonomi hingga motif seksual).
3) Selama ini, ia menjalani doktrin agama dengan rigid, sampai menyebabkan gangguan mood.
4) Alasan yang tak kalah penting adalah penjelasan yang minim tentang Tuhan yang diimani itu.
***
Mencermati situasi ini, sepertinya kita perlu membaca tesis Guru Besar Oxford, seorang ateis, Richard Dawkins (2006) yang membuat tujuh tingkat kepercayaan seseorang terhadap Tuhan:
1. Sangat teis, yaitu 100% yakin dengan adanya Tuhan, sebagaimana ucapan Jung, “I do not believe, I know.”
2. Teis secara de facto. Sangat mengimani Tuhan tetapi disertai keraguan atau kurang dari 100%. “Saya sangat percaya kepada Tuhan, tetapi saya tidak tahu pastinya Dia seperti apa.”
3. Cenderung teis. Tingkat kepercayaan lebih dari 50%. “Saya sangat tak yakin, tetapi saya cenderung percaya bahwa Dia ada.”
4. Setengah-setengah atau imparsial. “Ada atau tidak, dua-duanya mungkin.”
5. Cenderung ateis. Kurang dari 50%. “Saya tak tahu Tuhan ada atau tidak, tapi saya cenderung skeptis.”
6. Ateis secara de facto. Sangat rendah tetapi tak sampai 0%. “Tuhan sangat tidak mungkin ada, dan saya menganggap dia tak ada.”
7. Sangat ateis. “Saya tahu Tuhan tidak ada, sebagaimana Jung yang tahu Dia ada.”
Sampai Mana Level Keimanan Kita?
Kita, yang percaya, perlu mengecek ada di nomor berapa. Akan tetapi, yang jelas, keraguan tidak membuat seseorang batal beriman. Ada di posisi keraguan, tapi memutuskan percaya, justru menegaskan bahwa dia beriman.
Jika tahu bahwa 1+1=2, seseorang tak disebut sedang beriman kepada aritmatika. Pengetahuan dengan kepastian seperti ini disebut sains. Jadi, beriman memang tidak mesti harus sangat teis, alias beriman 100%. Lagipula, kalau sudah tahu, kepercayaan tak lagi penting, kerena pertanyaan bisa dilanjutkan menjadi lebih detil, tak semata apakah pecaya atau tidak.
Faktanya, saya banyak menemui seseorang yang mengaku bahwa dia 100% percaya kepada Tuhan, tapi setelah saya tanya tentang eksistensi-Nya, dia kemudian bilang, “Waduh! Udah, ah, bingung.”
Pernyataan sebelumnya ternyata berangkat dari ketidaktahuan terhadap apa yang sedang diimani. Jadi, dia hanya sedang beriman atas apa yang dia tidak ketahui, bukan kepada Tuhan sebagaimana yang dia klaim.
Saya yakin sebagian kita ada di posisi ini, karena selama ini kita beragama tidak berangkat dari penjelasan memadai tentang eksistensi Tuhan, tetapi dari ajaran-ajaran sektarian dengan kode “Semakin tak banyak tanya, tambah kuat keimanan; kami dengar dan patuh!”
Kubangan Dogma
Sebagian orang memang nyaman ditenggelamkan dalam kubangan dogma yang berwujud rentetan kata-kata dari orang-orang terdahulu yang sudah meninggalkan nisan. Orang ini biasanya beriman dengan modal ngotot, seperti perjuangan orang hendak tenggelam karena buta cara berenang. Ketika dia yakin bahwa ngotot adalah satu-satunya cara untuk selamat, orang yang tahu teknik berenang melihatnya dengan kasihan.
Sementara itu, sebagian yang lain memberontak dengan pertanyaan. Karena beragama tidak dialektis, tanyaan-tanyaan ini biasanya dipendam dan kapan-kapan siap meledak ketika ada pemicu. Pemantik yang unggul adalah keculasan yang dilakukan tokoh agama atau ada perubahan drastis dalam alur hidupnya.
Pertanyaan serius yang tak terjawab dapat menyebabkan seseorang goyah atau bahkan hilang keyakinan terhadap Tuhan dan agama sekaligus. Sebagian mungkin masih percaya kepada eksistensi Tuhan tetapi skeptis terhadap agama. Sementara itu, mereka yang malas bertanya dan memilih percaya begitu saja biasanya menjadi penganut agama yang fanatik dan menyebalkan.
Beriman dalam level apa pun adalah hak pribadi. Akan menjadi masalah ketika ada yang memaksakan atau menghakimi keimanan seseorang. Yakin, ragu, atau bahkan mengatakan selamat tinggal keimanan adalah perkara keputusan. Keputusan untuk percaya atau tidak harus kita hargai. Memang ada paradoks dalam kebebasan beragama: jika ingin kebebasan beragama saya dijamin, saya harus bisa menjamin kebebasan orang lain.
Editor: Yahya FR