Negeri kita adalah negeri yang selalu bertikai mengenai konsep toleransi, khususnya perdebatan antar kelompok muslim mengenai sejauh mana toleransi itu harus hadir.
Perdebatan ini ibarat sebuah budaya yang dilestarikan, khususnya setiap tanggal 25 Desember, ketika hari Natal, umat Muslim di Indonesia selalu mempertikaikan masalah pengucapan selamat Natal, penggunaan topi Santa Claus sebagai tuntutan kerja dan lain sebagainya.
Saya tidak akan merujuk dengan berbagai dalil ilahiah untuk menjelaskan mengenai konsep toleransi, karena nampaknya itu sudah dilakukan oleh banyak kalangan tokoh agama di negeri ini untuk bertikai. Saya mungkin akan sedikit akademis dengan merujuk pada seorang tokoh sosiologi yang namanya cukup terkenal di kalangan akademisi sosial, bahkan filsafat, ialah Peter Ludwig Berger.
Sekilas tentang Peter Ludwig Berger
Berger menjadi seorang profesor di bidang sosiologi, sekaligus juga teologi di Universitas Boston Amerika Serikat. Penelitian-penelitian dan karya-karyanya kebanyakan menitikberatkan pada kajian sosiologi agama dan sosiologi pengetauan. Beberapa karyanya yang paling terkenal bahkan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia yakni bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, buku ini banyak mengulas mengenai realitas pengetahuan yang hadir di masyarakat melalui proses dialektis.
Sedangkan kajian-kajian sosiologi agama, salah satunya dapat ditemui dalam bukunya yang lagi-lagi juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yakni yang berjudul The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Buku ini banyak membahas mengenai realitas agama di peradaban Barat, mulai dari sekularisasi hingga trend-trend agama di dunia.
Perihal toleransi, Berger menjelaskan dalam salah satu bab di bukunya yang bejudul In Praise of Doubt: How to Have Convictions Without Becoming a Fanatic. Buku ini merupakan sebuah proyek di Institute of Culture, Religion, and World Affairs di Boston University, yang dikerjakannya bersama sahabatnya yang memiliki latarbelakang disiplin ilmu filsafat, yakni Antonius C. Zijderveld.
Bagi Berger & Zijderveld (2010, p. 21), nilai pencerahan dari toleransi dalam konteks agama, tidak diragukan lagi didorong atas dasar rasa jijik, keengganan, memori kelam dalam sejarah mengenai kekejaman perang atas nama agama di negeri-negeri peradaban Eropa, dan yang terpenting tentu saja tidak ada perbedaan teologis yang dapat membenarkan pertumpahan darah dari perang-perang tersebut.
Mereka hendak mengatakan bahwa toleransi merupakan bentuk konsensus masyarakat atas intoleransi yang pernah terjadi dalam peradaban manusia, khususnya intoleransi dalam beragama. Selain itu, jika ada kekerasan yang mengatasnamakan agama, maka seyogyanya tidak ada agama yang melegalisasi kekerasan. Melainkan yang ada hanyalah oknum tertentu yang menggunakan agama demi kepentingan lain seperti kekuasaan, kekayaan dan lain sebagainya.
Konsep Toleransi
Secara konseptual, Berger & Zijderveld (2010, p. 27) membagi konsep toleransi menjadi dua, yakni toleransi positif dan toleransi negatif. Keduanya memang sama-sama toleransi, namun keduanya hadir dalam sebuah sikap dan prilaku yang berbeda dalam sebuah masyarakat yang beragam.
Untuk toleransi positif, mereka mencirikannya sebagai sebuah tindakan atau perilaku rasa hormat dan keterbukaan yang tulus dalam interaksi antar individu maupun kelompok yang memiliki nilai, identitas, agama, ras, suku atau lainnya yang berbeda.
Jadi, dalam toleransi positif tidak hanya membebaskan individu yang “berbeda” untuk melakukan praktik sosialnya, melainkan juga dalam keberagaman ini semua orang saling menghormati, terbuka, gotong royong, kerekatan, kekeluargaan, saling bantu, yang semua itu terikat dalam spektrum ikatan sosial yang kuat.
Namun, berbeda dengan toleransi positif, untuk toleransi negatif lebih pada ekspresi ketidakpedulian, acuh tak acuh atau semacamnya, yang meskipun di sisi lain toleransi negatif juga memberi membebaskan identitas lain untuk melakukan ritual maupun bertindak atau berperilaku.
***
Berger memberikan ungkapan analogi toleransi negatif, “biarkan ‘mereka’ melakukan hal ‘mereka’ sendiri”. Konteks ‘mereka’ di sini yakni mereka yang memiliki kepercayaan atau praktik sosial yang berbeda. Dalam konteks toleransi negatif meskipun membebaskan individu yang “berbeda” untuk melakukan praktik sosial, namun di sini tidak ada ikatan sosial diantara mereka, sehingga tidak ada konsep tentang gotong royong, saling bantu, tolong menolong, berkolektif, dan lain sebagainya. Melainkan toleransi negatif lebih acuh, tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan individu “yang lain”.
Saya kurang begitu tau, apakah Berger ini pernah datang ke Indonesia, namun nampaknya gagasannya ini sangat merepresentasikan perdebatan toleransi kaum muslimin di Indonesia yang tiada henti itu. Di satu sisi, ada kelompok yang beranggapan bahwa toleransi itu hanya sebatas membebaskan umat agama lain beraktivitas maupun beribadah dan kelompok ini enggan mengucapkan selamat natal dan semacamnya karena itu melanggar ketauhidan.
Di sisi lain, terdapat kelompok yang beranggapan bahwa toleransi itu jauh lebih dari itu, yakni dengan mulai mengucapkan selamat Natal hingga menjaga Gereja ketika umat Nasrani beribadah.
Referensi
Berger, P. L., & Zijderveld, A. C. (2010). In Praise of Doubt: How to Have Convictions Without Becoming a Fanatic. HarperCollins.