Menjamurnya berbagai situs dan media keislaman di dunia digital setidaknya menunjukkan bahwa kajian keislaman sekarang menunjukkan eksistensinya di dunia maya. Berbagai media keislaman itu pun lahir di berbagai platform mulai Facebook, Twitter, Youtube, Instagram hingga Tiktok.
Masing-masing media keislaman itu berusaha menunjukkan identitas keislamannya. Baik yang berusaha menunjukkan media yang bercorak tasawuf, filsafat, tafsir, hingga fikih, sehingga melahirkan berbagai corak media yang beragam di dunia maya. Setiap media pun juga hadir di berbagai platform guna meraih “jamaah online”-nya, sesuai dengan orientasi masing-masing media tersebut.
Tentu saja, target utama mereka adalah para milenial yang sudah melek internet di samping target orang yang sudah tua. Mereka melihat peluang bahwa para milenial saat ini membutuhkan kajian keislaman ringan, cepat, dan mudah dinikmati ketika mereka belajar di sekolah, kampus, ataupun saat pulang kerja ketika menikmati kemacetan di kendaran umum.
Di satu sisi, para milenial tersebut ada yang menelan mentah-mentah setiap konten yang tersaji dari masing-masing platform dan ada juga yang kritis terhadap sajian konten tersebut. Bagi mereka yang menelan mentah-mentah, konten dari media tersebut merupakan solusi serta jawaban yang mereka butuhkan saat ini. Sedangkan yang mengkritisinya, bisa jadi berasal dari informasi yang sama, tapi dipahami/ditafsirkan secara berbeda sehingga memunculkan kritik.
Tafsir Rasional
Para milenial saat ini, terutama generasi Z, sudah selektif ketika menerima sesuatu yang ia dapatkan dari internet. Mereka biasanya menelaah dan mengkomparasikan dengan apa yang ia dapatkan sebelumnya. Sehingga, ia tidak menelan mentah-mentah apa yang ia dapatkan dari internet. Di samping itu, kebutuhan konten dakwah internet juga tidak bisa lagi hanya bersifat yang bersifat doktriner tanpa disertai konteks atau penafsiran dari apa yang disampaikan tersebut.
Maka, dibutuhkan tafsir-tafsir yang bersifat rasional sehingga ajaran atau konten yang disampaikan, tidak hanya masuk ke hati, tapi juga masuk kepada pemikiran mereka. Sehingga, para milenial bisa merenungkan dan berfikir tentang apa yang ia baca atau yang baru saja dapatkan.
Misalnya, ketika menyampaikan gambaran tentang mengapa babi diharamkan dalam Islam. Hal ini tidak cukup hanya dengan memaparkan dalil dari Al-Qur’an dan hadis, tetapi juga menyertakan bukti-bukti medis dan penelitian terhadap bahaya mengkonsumsi daging babi tersebut. Itu semua merupakan upaya dalam menyuguhkan tafsir terhadap Islam yang rasional dan komprehensif.
Menyuguhkan Agama yang Ramah
Salah satu problem yang ada sekarang adalah menampilkan penafsiran agama yang memiliki wajah offensive. Banyak ditemukan contoh-contoh konten yang mencoba untuk menggambarkan Islam yang keras dan anti-toleransi. Hal ini semakin memperburuk citra Islam.
Maka banyak contoh, misalnya dari para kaum sufi atau mufasir esoteris yang mencoba untuk meng–counter penafsiran-penafsiran tersebut. Misalnya, mereka yang berusaha untuk menafsirkan jihad yang tak hanya dimaknai sebagai “peperangan”.
Bagi mereka, yaitu para kaum sufi yang berusaha menunjukkan Islam yang bercorak ramah dan cinta, jihad diartikan sebagai bersungguh-sungguh dalam hal beribadah, dalam bekerja, dan belajar. Sehingga, tafsir-tafsir yang bercorak demikian berusaha merubah pandangan dasar milenial terhadap kata jihad, yang sering disalah pahami.
Masalah Belajar Agama Lewat Youtube
Salah satu platform yang digandrungi oleh kaum milenial adalah konten-konten yang bentuknya berupa video, baik yang full atau potongan-potongan dari video panjang yang tersebar di berbagai platform, khususnya Instagram atau Tiktok. Lalu hal, ini memunculkan pertanyaan, bisakah kita belajar atau ngaji lewat Youtube?
Derasnya pengajian yang menjadikan Youtube sebagai platformnya, sudah jamak diketahui bersama. Banyak kiai, ulama, dan para ustaz sekarang menyiarkan secara langsung kegiatan ngaji mereka lewat Youtube atau live Facebook sehingga bisa menjangkau kalangan luas yang terpisahkan oleh jarak dan ruang, dan kajiannya pun bisa dinikmati oleh khalayak ramai.
Kiat Belajar Agama Lewat Medsos
Setidaknya ada beberapa cara ketika kita mau belajar agama lewat platform-platform tersebut.
Pertama, pastikan kiai atau ustaz tersebut merupakan ahli dan spesialis dari apa yang ia sampaikan. Misalnya, ketika kita ingin mengaji tentang fikih, pastikan kiai atau ustaz tersebut merupakan ahli dalam hal fikih, tidak mungkin ketika kita mau mengaji fikih tapi orang tersebut ahli dalam Bahasa Arab.
Kedua, mempunyai kitab yang disampaikan pada acara ngaji tersebut. Perlunya mempunyai kitab atau buku yang sama dengan apa yang disampaikan oleh ustaz tersebut akan memudahkan kita memahaminya. Dengan memiliki kitab tersebut juga menunjukkan kesungguhan kita dalam mengaji suatu ilmu dalam agama.
Setidaknya dengan dua acara di atas, kita akan mendapatkan ilmu agama yang komprehensif lewat dunia maya. Di samping itu, kita juga bisa memfilter dan terbuka jika memunculkan berbagai penafsiran tentang suatu hal dalam ilmu keagamaan.
Rasional, ramah, & ilmiah adalah salah satu dari sekian banyak model tafsir keagamaan yang dibutuhkan oleh para milenial saat ini. Maka, tugas para penyedia konten media adalah memenuhi kebutuhan para milenial untuk mendapat sajian dari konten berkualitas dan bermutu.
Editor: Yahya F