Perspektif

Hijrah Ekologi: dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan

4 Mins read

Sudah 34 tahun lamanya sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetepkan perubahan iklim sebagai masalah bersama bagi seluruh umat manusia. Tahun itu adalah 1988, juga sebagai penanda awal kesadaran akan bahayanya perubahan iklim yang terjadi di seluruh belahan dunia.

Pada saat itu, di 1988 itu, World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) membentuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Tujuannya tidak lain adalah untuk memberikan pembelajaran ilmiah tentang perubahan iklim dan bahaya-bahaya yang akan dialami di masa yang akan datang.

Belum separuh abad, sejak kesadaran akan bahaya perubahan iklim yang dikoarkan PBB itu, kita merasakan dampak kenaikan suhu global. Dan kenaikan suhu global itu merupakan malapetaka besar bagi kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Atas perubahan iklim yang mengerikan itu, bahan bakar fosil adalah biang keladinya. Tidak bisa ditutupi, ia berkontribusi besar dalam hal merusak keanekaragaman hayati dan polusi yang terjadi akhir-akhir ini. Dari sekitar 80% energi global dan 60% pembangkit listrik disuplai oleh bahan bakar fosil. Jelas itu menyebabkan, kurang lebih dari 60% emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan perubahan iklim.

Adapun yang dimaksud bahan bakar fosil adalah jenis bahan bakar yang paling banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia modern ini. Laiknya sekeping mata uang, bahan bakar fosil memiliki efek domino, selain memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga akan membunuh masa depan semesta.

Berdasarkan Understanding Global Change, pembakaran bahan bakar fosil menyuplai gas rumah kaca kepada atmosfer dan menetap selama ratusan tahun. Ia berupa karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO2), metana (CH4), karbon monoksida (CO) dan sulfur dioksida (SO2). Dan senyawa tersebut menyekap matahari hingga membuat bumi memanas seperti akhir-akhir ini.

Baca Juga  50 Years After The Moon Landing: How Close Is Space Travel, Really?

Selain panas bumi yang menyengat, polusi udara adalah salah satu dampak pembakaran bahan bakar fosil. Sedangkan polusi udara merupakan salah satu penyabab gangguan kesehatan seperti penyakit pernapasan, iritasi mata, stroke, hingga penyakit jantung.

***

Sampai di sini jelas bahwa salah penyabab kematian di seluruh dunia adalah polusi udara. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Harvard School of Public Health, bahwa dari delapan juta kematian pada 2018 adalah akibat polusi bahan bakar fosil.

Sungguh sangat mengerikan efek samping dari polusi udara. Di sadari atau pun tidak, kita semua abai dengan efek samping tersebut. Bahkan mungkin, bagi sebagian orang, jika dijelaskan akan bahaya polusi udara, jawaban sebagian orang akan sangat mengejutkan. Seperti, “tanpa polusi udara pun, manusia akan tetap mati.”

Seperti juga ketika menjelaskan bahaya mengkonsumsi banyak gula, jawaban yang didapat, “mumpung masih hidup dan bisa merasakan gula, kenapa harus tidak makan gula. Toh mati atau pun tidak, sudah ada yang mengatur, dan semua manusia pasti mati”.

Terlepas dari jawaban aji mumpung di atas, perlu diketahui bahwa efek pembakaran bahan bakar fosil juga mencemari tanah, mencemari air, hingga menyebabkan hujan asam. Lalu bagaimana seharusnya dengan bahan bakar fosil? Adakah solusi untuk mengurangi efek samping yang mengerikan itu?

Pemanfaatan Energi Terbarukan

Dalam upaya menjawab pertanyaan di akhir paragraf di atas, tujuh tahun yang lalu, lahir sebuah kesepakatan—dari kurang lebih 200 negara—bernama Pernjanjian Paris 2015. Sebuah perjanjian bersama dan komitmen bersama untuk mengurangi emisi karbon—atau bisa disebut Komitmen Kontribusi Nasional (NDC).

NDC itu sendiri merupakan target setiap negara untuk mengurangi dampak pembakaran bahan bakar fosil. Dan untuk mencapai beberapa target itu bisa dilakukan beberapa cara seperti mengurangi deforestasi dan transisi energi terbarukan. Setidaknya, upaya-upaya tersebut untuk menyemai masa depan iklim yang lebih ideal. Iklim yang nantinya akan diwariskan kepada anak cucu kita.

Baca Juga  Dosa Kita Pada Palestina

Lalu apa kabar energi terbarukan Indonesia?

Indonesia sebagai negara berkembang, tidak kalah dengan negara-negara lain, juga berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% pada periode pertama program NDC. Angka itu bukanlah angka yang sedikit mengingat Indonesia merupakan negara konsumtif yang membutuhkan lebih banyak bahan bakan fosil.

Namun, bila dapat bekerjasama internasional, mencapai 40% bukanlah suatu yang mustahil bagi Indonesia. Lebih-lebih setelah regulasi berupa Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenanai Perubahan Iklim disahkan.

Maka pemerintah Indonesia untuk mencapai target tersebut, setidaknya membutuhkan langkah-langkah pasti di pelbagai sektor. Sebut saja seperti di bagian sektor kehutanan, energi transportasi, limbah, proses industri, penggunaan produk, dan pertanian. Di sisi lain dukungan dari berbagai lapisan juga berpotensi untuk mencapai upaya-upaya tersebut.

Upaya untuk mencapai tergat tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam artikel “Geliat Pemanfaatan Energi Terbarukan (2022), yang terbit dalam website Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, Indonesia mencanangkan target yang disebut EBT dalam bauran energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

***

Ditambah lagi, Indonesia memiliki semua kebutuhan dalam hal pemanfaatan energi terbarukan seperti energi surya, air, angin, panas bumi dan bionergi atau biomassa. Namun sayang, potensi tersebut seperti pepatah lama, jauh panggang dari api. Artinya, bahan bakar fosil masih menguasai sistem ketenagalistrikan, bahkan naik menjadi 155% pada konsumsi batu bara, sebagai penunjang separuh dari pembangkit listri Indonesia.

Sampai di sini jelas, bahwa pemamnfaatan energi terbarukan di Indonesia seolah isapan jempol belaka. Masih banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapat target yang telah dicanangkan pemerintah Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas.

Baca Juga  Covid-19 dan Kebobrokan Nalar Kita

Namun paling tidak, komitmen pemerintah Indonesia dan upaya-upaya yang telah dilakukan, adalah bukti nyata dari kesadaran nasional bahwa perubahan iklim karena bahan bakar fosil sangatlah mengerikan. Selanjutnya adalah kesadaran individu-individu masyarakat Indonesia, sekurang-kurangnya, mengerti dan memahami akan bahayanya perubahan iklim karena bahan bakar fosil.

Kiranya perlu kampanya secara terus menerus, baik melalui lembaga formal pemerintahan seperti sekolah dari jenjang dasar hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Di sisi lain juga perlu pengenalan secara berkelanjutan di lembaga non-formal seperti swadaya masyarakat akan bahaya bahan bakar fosil dan energi terbarukan sebagai solusinya. Tentu saja tidak ada alasan lain selain, menyelamatkan semesta sama dengan menyelamatkan masa depan anak cucu kita bersama.

*Artikel ini adalah hasil kolaborasi IBTimesID dan GreenFaith Indonesia. GreenFaith adalah organisasi internasional yang melibatkan pemuka agama, aktivis lingkungan dan komunitas masyarakat akar-rumput. GreenFaith saat ini telah tersebar di berbagai negara, baik di benua Amerika, Afrika, Eropa, UK, Asia dan Oseania. Melalui para aktivis dan pegiatnya yang berasal dari beragam latar belakang agama, budaya, etnis dan ideologi, GreenFaith berikhtiar memperjuangkan keadilan iklim dan transisi energi yang berkeadilan.

Editor: Yahya FR

M Muafiqul Khalid
4 posts

About author
Mahasiswa S2 Islamic Studies di Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds