Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang sempurna, namun juga tak luput dari kesalahan dan dosa. Manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses interaksi dengan orang lain dibutuhkan etika yang baik agar tidak saling menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Islam mengajarkan bahwa sesama Muslim adalah bersaudara. Sebagai sesama Muslim, kita dilarang untuk saling menyakiti dan menghina. Sering kali juga kita merasa bahwa perkataan dan perbuatan yang kita lakukan adalah paling benar tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Apabila umat Muslim memiliki sifat dan sikap tersebut akan menimbulkan permusuhan bahkan perpecahan umat Islam. Oleh karena itu, untuk menghindari hak tersebut, penting untuk melakukan refleksi diri atau introspeksi diri.
Refleksi diri merupakan proses perenungan dan analisis terhadap diri sendiri tentang segala kebiasaan, pikiran, perasaan dan keputusan yang telah kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya refleksi diri ini, kita akan lebih menghargai dan menghormati orang lain dalam segala hal. Setiap orang punya cara masing-masing untuk ber-refleksi diri terhadap dirinya sendiri. Termasuk salah seorang tokoh sufi terkemuka yang punya pandangan refleksi diri dalam bidang tasawuf yang bernama Abu Harits al-Muhasibi.
Abu Harits Al-Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdillah al-Harits bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Harits al-Muhasibi lahir pada tahun 781 M atau 165 H di Basrah. Ayahnya merupakan penganut aliran Mu’tazilah yang gigih mendakwahkan pemikiran rasionalnya. Ketika masih kecil, ayahnya membawanya hijrah ke Baghdad dan di situ al-Muhasibi belajar ilmu fiqih, Hadits, al-Qur’an , kalam dan tasawuf. Beliau mendapat julukan al-Muhasibi karena sering bermuhasabah dan introspeksi. Pemikiran dan ajarannya termasuk dalam sufisme. Tulisan-tulisannya mempengaruhi pemikiran Abu Hamid al-Ghazali. Al-Muhasibi merupakan salah satu tokoh yang pertama kali membahas mengenai masalah moral dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, sabar, ikhlas, tawakkal dan sebagainya. Di Baghdad, al-Muhasibi menjadi salah satu pendiri aliran tasawuf Baghdad bersama dengan Junaid al-Baghdadi, Abu Hamzah al-Baghdadi, Abu Husain al-Nuri dan Sari as-Saqati. Al-Muhasibi meninggal pada tahun 857 M atau 234 H di Baghdad.
Abdul Kadir Riyadi dalam bukunya yang berjudul “Arkeologi Tasawuf” menjelaskan bahwa al-Muhasibi mencoba menawarkan dimensi moral dalam Islam untuk disetarakan sebagai sebuah pengetahuan yang utuh dan sistematis. Beliau berupaya membangun keilmuan baru dalam Islam yang kemudian dikenal dengan tasawuf. Semangat yang dimiliki al-Muhasibi mendorongnya untuk melahirkan banyak gagasan mengenai ilmu tasawuf, seperti tercantum dalam karyanya al-Washaya, al-Ri’ayah li Huquqillah, Mahiyat al-Aql dan Fahm al-Qur’an wa Ma’anihi. Al-Muhasibi berangkat dari ilmu fiqih, kemudian bergerak menuju ke arah filsafat dan menjadikan tasawuf sebagai tujuannya. Tasawuf al-Muhasibi termasuk dalam tasawuf Sunni karena didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.
***
Al-Muhasibi terkenal banyak melakukan muhasabah, refleksi dan introspeksi diri. Setiap pemikiran dan perbuatan yang dilakukannya harus dipertimbangkan secara kritis dan selektif terlebih dahulu. Apakah yang saya pikirkan ini benar? Apakah perbuatan yang saya lakukan sudah ditentukan oleh Allah? Apakah yang terlintas dalam pikiran saya muncul dari dorongan syahwat atau rasio?. Dengan metode reflektifnya, al-Muhasibi menjadi kritis terhadap diri sendiri. Kecenderungan refleksi diri ini tampak ketika al-Muhasibi menjelaskan ajarannya mengenai jiwa. Misalnya, dalam menjelaskan mengenai kesedihan. Al-Muhasibi menggunakan teori metodologi introspeksi (al-Istibthan) atau observasi diri (al-Mulahadzah al-Dzatiyyah), yaitu observasi terhadap diri sendiri, melihat dan menganalisis serta mendeskripsikan sesuatu yang terlintas ketika seseorang dalam kesadaran penuh. Menurutnya, kesedihan terdiri dari beberapa macam: (1) rasa sedih karena hilangnya sesuatu yang sangat disenangi, (2) rasa sedih karena khawatir tentang yang terjadi besok, (3) rasa sedih karena merindukan sesuatu yang diimpikan bisa tercapai, tetapi tidak tercapai dan (4) rasa sedih ketika mengingat bahwa diri kita ini menyimpang dari ajaran Tuhan. Menurutnya, makna sedih tersebut dapat menimbulkan tekanan jiwa, keresahan jiwa, kekecewaan jiwa yang bisa berakibat pada kekotoran jiwa. Akan tetapi, makna sedih tersebut juga bisa melahirkan dorongan jiwa untuk berbuat baik yang berakibat pada kesucian jiwa dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Metode reflektif al-Muhasibi tersebut bisa diterapkan pada semua kalangan. Al-Muhasibi mengajarkan bahwa banyak nilai, perasaan, konsep dan pemikiran yang ada dalam diri sendiri perlu dikritisi dan ditimbang terlebih dahulu. Karena bisa jadi apa yang kita yakini kebenarannya, belum tentu sesuai dengan fakta yang ada atau bisa jadi apa yang muncul dari pikiran kita merupakan dorongan dari syahwat dan ego, bukan muncul dari pertimbangan rasio. Oleh karena itu, dengan menyelami lebih dalam diri sendiri dan menganalisisnya akan membuat seseorang tersebut lebih jernih dalam melihat konsep atau nilai yang ada dalam dirinya.
Editor: Yahya FR