IBTimes.ID, Jakarta – Kurangnya representasi perempuan dalam politik dan parlemen di Indonesia semakin relevan menjelang tahun politik 2024. Hal ini tercermin dari beberapa indikator. Misalnya, wacana bakal calon presiden dan wakil presiden yang didominasi figur laki-laki. Selain itu, jumlah anggota legislatif DPR RI perempuan belum pernah menyentuh kuota 30 persen sesuai target UU No. 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu.
Dalam momentum International Women’s Day (IWD) 2023, INFID menggelar talkshow “International Women’s Day 2023: Menguak Minimnya Capres dan Cawapres Perempuan” sebagai penggerak diskursus publik untuk mendorong perempuan Indonesia dapat berperan lebih signifikan dalam ranah politik (30/3).
Secara nasional, gap representasi perempuan dalam politik dan parlemen masih cukup jauh dari regulasi pemilu. Berdasarkan hasil pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya 20,8 persen, masih jauh dari ketentuan di UU Pemilu No. 7/2017 yang menetapkan angka minimal keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen.
Nurul Amalia Salabi, peneliti dari Perludem, menilai partai politik memegang peranan sentral dalam membuka keran keterwakilan perempuan. Salah satunya adalah praktik pencalonan perempuan hanya untuk mengisi kuota. “Kaderisasi yang tidak berjalan. Dalam UU Pemilu itu ada, tetapi hanya satu, mengatur minimal 30% kepengurusan perempuan. Salah satu kajian menunjukkan bahwa ketika partai politik memasukan 30% kepempinan perempuan dalam DPP itu hanya pada saat menjelang pemilu” ungkap Amalia.
Selain itu, mekanisme ambang batas presiden 20 persen dalam pencalonan presiden RI juga menjadi halangan besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri. “Ada kesalahan besar. Hal ini membuat (parpol) mengerucut pada pasangan-pasangan yang disukai partai”, ujar Muhammad Isnur, Ketua YLBHI.
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU RI berupaya menciptakan regulasi yang dapat mendorong kandidasi perempuan. “Saat ini sedang disusun, bahwa minimal 1 di antara 3 (calon legislatif) harus berjenis kelamin perempuan. Kita merujuk pada peraturan, agar tidak harus menempatkan perempuan di posisi (nomor urut bontot) seperti 3, 6, dan 9”, jelas Betty Epsilon Idroos, anggota KPU RI.
Lebih besar dari aspek regulasi, tantangan dari segi akses dan kultur masih menjadi faktor penghalang representasi perempuan dalam politik. Pembatasan akses tersebut terjadi dengan adanya stereotip gender dan ekspektasi peran terhadap perempuan, di mana pada akhirnya kapasitas perempuan diragukan sebagai figur pemimpin.
“Dari awal, politik didesain untuk dan oleh laki-laki. Ketika perempuan ingin masuk ke ranah politik, ketika baru masuk saja itu sudah memberikan harga yang besar untuk dibayar”, jelas Rizka Antika, Program Officer HAM & Demokrasi INFID. Padahal, lanjut Rizka, “pendekatan kepemimpinan yang lebih feminin ini lebih berhasil ketika berhadapan dengan krisis. Perlu dibuka ruang untuk varian baru dalam tipe karakteristik kepemimpinan, bahwa ciri khas perempuan ini yang menjadi kekuatan perempuan.”
Proses politik yang inklusif perlu terus didorong dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs). Representasi kepemimpinan politik yang inklusif turut memperkaya perspektif pembangunan dan mewakili kepentingan kelompok masyarakat yang beragam, sesuai dengan prinsip no one left behind pada TPB/SDGs.
Sebagai pemilu terbesar sepanjang sejarah Indonesia, pemilu 2024 harus mampu menghasilkan parlemen yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sesuai konstitusi serta kepemimpinan politik yang mendobrak budaya stereotype dan pratriarkis yang seringkali membelenggu partisipasi aktif perempuan.
“Demokrasi itu membutuhkan perempuan. Karena akan membuat situasi yang penuh akan kecermatan, warna dan pemihakan. Lebih dari itu dia membuka jalan untuk masuknya perspektif kelompok rentan” tutup Bivitri Susanti, pakar hukum STH Jentera.
(Soleh)