Perspektif

Kisah Kedekatan Jong Islamieten Bond dan Ahmad Soerkati

4 Mins read

Berdirinya sebuah organisasi kepemudaan di masa Hindia-Belanda memiliki tujuan yang sangat penting, salah satunya ialah sebagai proses diplomasi meraih kemerdekaan.

Berdirinya Jong Java

Di paruh awal abad ke-20, Hindia sudah diwarnai beragam organisasi perjuangan nasional, salah satunya ialah organisasi kepemudaan dengan beragam latar belakang tujuan dan maksudnya. Namun, yang pasti organisasi ini tidak lain berangkat dari poros keterpelajaran, kemahasiswaan dan kepemudaan.

Maka, dengan hadirnya organisasi-organisasi kepemudaan tersebut, setidaknya mempermudah mengafirmasi tujuan gagasan dan suara dalam membangun persatuan dan kebangsaan.

Kemunculan reaksi semangat pejuang muda, bertolak dari rasa kecewa dari keberadaan kaum muda yang semakin hari diabaikan di dalam Budi Utomo. Artinya, para pemuda tidak merasa puas dengan keberadaan Budi Utomo yang cenderung menjadi perkumpulan kaum tua. Sehingga para pemuda semakin sadar bahwa mereka harus memiliki perkumpulan sendiri demi masa depan mereka.

Berangkat dari masalah tersebut, Satiman, Kadarman, dan Sunadi pada tanggal 7 Maret 1915 membentuk wadah bagi kaum muda pribumi yaitu Tri Koro Dharmo yang nantinya berubah nama menjadi Jong Java.

Munculnya Gagasan Jong Islamieten Bond

Hal yang menarik, di seperempat paruh awal abad 20 M, belum ada organisasi pemuda yang memiliki asas keagamaan. Maka, dalam kongres yang ke 7, Raden Syamsurijal (Ketua Jong Java) mengusulkan adanya pelajaran agama Islam di dalam Jong Java. Namun, usulan tersebut tidak direspon, karena Jong Java merupakan perkumpulan kaum muda bukan berlatar belakang agama. Bahkan terdapat tuduhan bahwa Sarekat Islam sedang menyusup ke dalam tubuh Jong Java untuk memberikan label baru dalam bentuk agama bagi Jong Java.

Memang kedekatan Raden Syam terhadap tokoh-tokoh besar Islam tidak bisa dipungkiri, misalnya Agus Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, A.M. Setiadji (Sarekat Islam), dan KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Baca Juga  Hilman Latief: Rakernas Harus Membuat Lazismu Lebih Ramping

Selain itu, gagasan tentang Islam masuk di tubuh Jong Java telah ia diskusikan dengan kaum muda lain yang juga mendukung akan hal itu, bahkan mereka siap merealisasikan gagasan Syam tersebut, tokoh muda tersebut Mohammad Roem, Muhammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, dan Jusuf Wibisono.

Namun, ada hal menariknya bahwa tanpa Raden Syamsurijal mengungkapkan gagasannya di Kongres Jong Java ke 7 tahun 1924, maka tidak akan terbentuk yang namanya Jong Islamieten Bond. Asumsinya, Raden Syam sebenarnya hendak mengislamkan Jong Java.

Gagasan tersebut bertolak dari keringnya nuansa agama di dalam kancah gerakan nasionalis-kebangsaan. Maka, dari persoalan tersebut, Raden Syam dan bertepatan dengan kongres tersebut menyampaikan apa maksud yang diinginkan untuk Jong Java kedepan.

Berdirinya Jong Islamieten Bond

Akan tetapi, setelah diadakannya pemungutan suara sebanyak dua kali, hasilnya seimbang. Raden Syam, sebagai ketua sidang, berhak menentukan usulan diterima atau ditolaknya sebuah keputusan-keputusan. Maka, secara demokratis, ia mengambil sikap bahwa Islam tidak dijadikan asas baru bagi Jong Java, sebab ia khawatir akan menimbulkan perpecahan di dalam Jong Java.

Dengan rasa yang tidak puas akan keputusan tersebut, maka ia memutuskan untuk keluar dari Jong Java dan akan merealisasikan gagasannya bersama para pendukung-pendukungnya.

Pasalnya, usulan terkait asas Islam sebagai persatuan pemuda sudah diterima oleh sebagian kalangan yang mendukung, seperti Raden Kasman Singodimedjo, Supinah, Moeso AlMachfoed, dan Soehodo (sekpri Paku Alam VIII).

Mereka berpendapat bahwa agama Islam yang akan mempersatukan para pemuda. Karena selama ini dalam pergaulan antar suku/etnik begitu sangat kaku bak laksana minyak dengan air.

Maka, dari keputusan tersebut, Raden Syam dan para pendukung muda dan tua, menyepakati untuk mendirikan perhimpunan muda Islam di Hindia tersebut.

Rapat-rapat pendahuluan dilaksanakan di sebuah sekolah Muhammadiyah di Kauman. Pada rapat tersebut menyepakati nama organisasinya adalah Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam) pada 1 Januari 1925.

Baca Juga  Muhammadiyah itu Ber-Ittiba', Bukan Ber-Taqlid!

Walaupun secara de facto JIB berdiri di Yogyakarta pada 31 Desember 1924, akan tetapi secara de jure JIB berdiri di Jakarta pada 1 Januari 1925 dan diresmikan pada 1 Maret 1925. H.O.S. Tjokroaminoto ikut menghadiri pendirian JIB di Yogyakarta yang berlangsung dalam sebuah ruangan dengan diterangi cahaya lampu teplok. Pendirian Jong Islamieten Bond ini sekaligus mendapat restu dari Haji Agus Salim, dan KH. Ahmad Dahlan.

Kedekatan Ahmad Soerkati dan Ahmad Dahlan

Selain tokoh-tokoh Islam yang disebut di atas, tokoh Islam lain yang tidak kalah penting peranannya bagi berdirinya JIB, ia adalah Ahmad Soerkati (yang nantinya mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah).

Ulama kelahiran Dongula, Sudan itu merupakan sahabat dekat dari KH. Ahmad Dahlan. Mereka sering kali tukar pikiran terkait keintelektualan keislaman. Perkenalan kedua tokoh tersebut ialah bermula dalam sebuah perjalanan dengan naik kereta api menuju Surabaya, Ahmad Soerkati berkenalan dengan Ahmad Dahlan.

Perkenalan yang tidak disengaja itu terjadi begitu saja. Ahmad Dahlan saat itu sedang asyik membaca al-Manâr. Ahmad Surkati mengenal dan menjalin hubungan dengan Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah.

Dengan memiliki kesamaan pemikiran Islam reformis, dan pengaruhnya terhadap pembacaan al-Manar, keduanya bertekad untuk bersama-sama mengembangkan pemikiran Abduh di Indonesia.

Tekad tersebut dibuktikan dengan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta, dan Ahmad Soerkati mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jakarta (Batavia) 6 September 1914. 

Kedekatan Ahmad Soerkati dan Aktivis JIB

Sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Agus Salim dan Kasman Singodimedjo juga kerap kali berdialog dengan Ahmad Soerkati mengenai berbagai masalah.

Syaikh Soerkati juga menjadi guru spiritual Jong Islamieten Bond, di mana kala itu para aktivisnya seperti Muhammad Natsir, Mohammad Roem, dan pelajar lainnya yang belajar kepada beliau.

Baca Juga  Manusia Digital (1): Benarkah Semakin Individualistik?

Ahmad Soerkati yang begitu sangat benci penjajah. Ia merasa sedih dan kecewa umat Islam Indonesia diperbudak oleh kolonial.

Soerkati berupaya mengubah kondisi tersebut dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat Islam akan bahayanya penjajahan. Sikap anti penjajahan diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia.

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda membedakan manusia berdasarkan ras dan golongan. Maka, sikap mandiri dan anti penjajahan telah ditanamkan kepada murid-muridnya di Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Menurut Ahmad Soerkati, mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa rendah. Ditegaskan, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas merdeka. Kolonial bukan saja menjajah fisik, akan tetapi juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia.

Soerkati tidak hanya memperhatikan pendidikan bagi murid-muridnya. Melalui perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Soerkati memberikan kesempatan kepada pemuda-pemuda pergerakan nasional untuk menggunakan fasilitas pendidikannya. Mereka secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di gedung Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Soerkati seringkali mengisi ceramah-ceramah yang diselenggarakan Jong Islamieten Bond. Atas permintaan Tjokrohadikoesoemo, Bestuur Jong Islamieten Bond Afdeling Batavia, pada bulan November 1929, Al-Irsyad Al-Islamiyyah menunjuk Ali Harharah guna memberikan studi tentang agama Islam dan bahasa Arab bagi anggota Jong Islamieten Bond pada setiap Ahad.

Referensi

Siswanto Masruri, Jong Islamieten Bond dan Cendekiawan Muslim di Indonesia, (Artikel, UNISIA, 9.XI.III.1991).

Munandar Raharjo, Dyah Kumalasari, “Perkembangan Organisasi Tri Koro Dharmo Pada Masa Pergerakan Nasional Tahun 1915-1918”, (Risalah: Vol. 1, No. 2, 2016).

Momon Abdul Rahman, dkk, Jong Islamieten Bond: Pergerakan Pemuda Islam 1925-1942, (Jakarta: Museum Sumpah Pemuda, 2006).

Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999).

Editor: Soleh

Ahmad Zainuri
24 posts

About author
Ahmad Zainuri, lahir di Jember, 19 Desember 1997. Suka nulis, sejak SMA dan hingga kuliah. Hobi, sepak bola, menulis, makan. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds