Perspektif

Mengapa Gejala Muhammadiyahphobia Itu Muncul?

3 Mins read

Belakang ini ada gejala sosial di tengah masyarakat yang menampakan pandangan dan sikap negatif. Sebut saja sinisme, kerdil, penuh kebencian bahkan ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah. Gejala sosial tersebut saya sebut dengan istilah Muhammadiyahphobia.

Potret Muhammadiyahphobia di Medsos

Amatan penulis gejala Muhammadiyahphobia terpotret beberapa di media sosial.

Pertama, sikap sinis Prof. Thomas Djamaluddin (mantan peneliti LAPAN) terhadap metode Hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal (Idul Fitri) yang dianggap usang. (sumber: https://tdjamaluddin.wordpress.com/ yang terbit pada Mei 2012).

Kedua, penolakan izin penggunaan Lapangan untuk sholat Idul Fitri warga Muhammadiyah oleh Bupati Pekalongan dan Walikota Sukabumi. Padahal Lapangan itu milik masyarakat dan perawatannya hasil pembayaran pajak masyarakat, harusnya semua kelompok masyarakat bisa menggunakan. (Sumber: pikiranrakyat.com/18/4/3023).

Ketiga, ancaman pembunuhan warga Muhammadiyah oleh Andi P. Hasanuddin (ASN BRIN) dikarenakan Muhammadiyah dianggap pembuat onar, pembangkang terhadap Pemerintah karena berbeda penetapan hari raya Idul Fitri. Dan perbedaan itu dianggap Muhammadiyah disusupi oleh ormas HTI yang sudah dilarang di Indonesia. (Sumber: kompas.com/27/4/2023).

Keempat, sikap sinis-sempit Ustadz Hafzan El Hadi yang menyebutkan Muhammadiyah sama dengan sekte Syiah yang sudah di fatwa sesat oleh MUI, hanya karena berbeda penetapan hari raya dengan Pemerintah. (Sumber:TIMESNEWS.co.id/28/4/2023).

Dari fakta-fakta di atas, persoalannya mengapa gejala Muhammadiyahphobia itu muncul dan terlihat masif di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dan klaim sebagai bangsa Pancasilais menjunjung tinggi budaya toleran (saling menghargai perbedaan) dan budaya moderat (sikap sosial beragama tengahan dan penuh kesejukan)?

Faktor Psikologi Pendorong Munculnya Phobia

Menurut Haidar Buldan Tantowi (pakar psikologi internet UGM) mengatakan ujaran kebencian (phobia) terhadap individu atau kelompok dapat didorong oleh berbagai faktor. Di antaranya;

Baca Juga  Penanganan Pandemi Harus Memperhatikan Sistem Basis Data!

Pertama, karena dalam pribadi seseorang ada prasangka negatif kepada kelompok tertentu, misalnya ada penilaian bahwa sebuah kelompok, agama, atau etnis tertentu tidak beradab, pelit, sangat ekslusif dan lain sebagainya. Oleh karena adanya prasangka tersebut, seseorang mendapati perasaan jijik terhadap kelompok lainnya. Kondisi ini senantiasa mendorong mereka melontarkan ujaran kebencian. Analisis ini cocok untuk melihat bagaimana seorang Profesor Thomas dan Bupati-Walikota yang sangat benci Muhammadiyah karena Muhammadiyah dianggap eklusif, tidak patuh dan sebagainya.

Kedua, kebencian bisa jadi terjadi dari perilaku trolling. Kategori trolling ini tidak didorong oleh perasaan benci kepada kelompok tertentu. Melainkan, mereka melontarkan ujaran kebencian malah untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan pribadi.

Mereka melakukan itu karena (hal) itu menyenangkan, itu menghibur bagi mereka. Jadi bukan karena mereka ingin memperoleh status yang lebih tinggi, bukan masalah uang atau bukan masalah apapun, (tapi) niatnya itu murni untuk menghibur diri mereka sendiri.

Dalam keilmuan psikologi, pelaku trolling tersebut diklasifikasikan kepada bentuk kepribadian sadisme, dimana mereka memperoleh kesenangan dari kegiatan membuat orang menderita. Jadi semakin emosi kita, maka itu membuat mereka semakin senang. Analisis ini cocok terhadap apa yang dilakukan oleh Andi P. Hasanuddin yang menampakan ujaran kebencian terhadap Muhammadiyah hanya karena emosi yang tidak terkontrol.

Ketiga, didorong oleh kondisi dalam dunia internet itu sendiri. Dunia internet/maya memungkinkan seorang untuk mendapati anonimitas. Dengan kondisi anonimitas tersebut, seseorang akan menjadi lebih berani dan leluasa melontarkan ujaran kebencian. Oleh karena dapat anonim, maka para netizen lebih berani untuk dan lebih mungkin untuk menyampaikan pandangan dan perasaan mereka. (ugm.ac.id/7/7/2022).

Analisis ini cocok untuk mengamati yang dilakukan oleh Ustadz Husein El Hadi, dengan begitu semangat melontarkan tuduhan kepada Muhammadiyah sama dengan sekte Syi’ah melalui media sosial yang Maya yang anonim, dan jika ketemu langsung belum tentu berani.

Baca Juga  Zaman Baru KOKAM: Laskar Keamanan Lingkungan Hidup

Faktor Muhammadiyahphobia Lainnya

Selain dari perspektif psikologi kebencian (phobia) terhadap Muhammadiyah. Menurut saya, ada faktor lain, yaitu problem cara pandang (filosofis paradigmatik) terhadap konsep perbedaan (pluralisme) dalam masyarakat majemuk secara Suku, Agama, Ras, Golongan (SARA) seperti konteks Indonesia.

Cara pandang mereka menganggap bahwa berbeda adalah negatif, jelek, tidak bermoral sehingga yang berbeda dengannya dianggap musuh yang boleh dibully, didiskriminasi, dicaci-maki, bahkan boleh dibunuh. Cara pandang ini saya sebut cara pandang homogen sebuah cara pandang serba sama, serba tunggal, serba satu dalam melihat persoalan di masyarakat. Mereka sulit menerima yang berbeda dan yang banyak, padahal realitas kita ini sangat plural.

Mereka sering terjebak dalam melihat atau menyikapi orang lain yang berbeda menggunakan ukuran pikiran dan standar kebenaran menurut dirinya. Artinya yang bener, yang baik itu harus sesuai dengan ukuran dirinya kalau orang lain berbeda berarti jelek, boleh dimusuhi.

Seperti yang dilakukan oleh mereka yang sangat phobia terhadap Muhammadiyah, mereka menginginkan warga Muhammadiyah itu harus sama, harus tunggal dan sesuai dengan keinginan dirinya. Karena Muhammadiyah berbeda dengan keinginan dan standar kebenaran maka Muhammadiyah dianggap musuh yang boleh di bully bahkan dihabisi.

Bagaimana Cara Melawannya?

Lawan cara pandang homogen adalah cara pandang heterogen. Sebuah cara pandang yang melihat realitas sosial ini penuh dengan perbedaan. Artinya dalam kehidupan sosial realitasnya hanya ada kita, tidak hanya satu sudut pandang, satu kelompok, satu kebenaran, tetapi banyak orang, banyak pikiran, banyak kelompok. Kemudian mereka ini punya hak yang sama untuk hidup, berekspresi dan berpandangan dalam hal apapun.

Berbeda adalah hal yang lumrah, biasa di masyarakat yang majemuk ini dan sudah menjadi sunnatullah. Sehingga yang terpenting adalah cara penyikapan kita terhadap perbedaan adalah memberi ruang yang sama dengan saling menghargai dan menghormat.

Baca Juga  Kasus Gontor: Seharusnya Tak Akan Terjadi di Instansi Muhammadiyah

Dari analisis di atas, menurut saya, yang sangat cocok dan harus terus dilestarikan dalam kehidupan berbangsa yang plural seperti Indonesia ini adalah mengembangkan paradigma filosofi cara pandang heterogenitas. Sebab kemajemukan Indonesia membutuhkan pandangan dan sikap yang bisa memberikan ruang hak dan kewajiban yang sama bagi semua yang berbeda di tengah masyarakat yang sangat majemuk secara SARA.

Editor: Soleh

Sholikh Al Huda
14 posts

About author
Direktur Institut Studi Islam Indonesia (InSID), Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Jatim, Dosen Pascasarjana UMSurabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds