Perspektif

Kemuliaan Manusia Terletak pada Pengetahuan, Bukan Nasab

2 Mins read

Saat ini sedang ramai pembicaraan mengenai nasab keturunan Nabi Muhammad SAW. Silang pendapat terjadi, ada yang berpandangan nasab keturunan Rasul terputus sementara yang lain bilang tidak terputus. Tulisan singkat ini tidak akan berbicara mengenai terputus atau tidaknya nasab keturunan Rasul. Namun mengenai nilai sebuah nasab pada diri manusia itu sendiri.

Kemuliaan Manusia Terletak pada Nasab?

Marak dibicarakan oleh para penceramah bahwa umat Muslim harus memuliakan keturunan Rasulullah, sedangkan manusia-manusia lain yang tidak memiliki nasab keturunan rasul apakah tidak mesti dimuliakan? Apakah nasab menentukan kemuliaan seseorang?

Al-Qur’an berpesan bahwa yang paling mulia disisi Tuhan ialah orang yang bertakwa (Q.S Al-Hujurat: 13). Sedangkan orang yang bertakwa pasti orang yang berpengetahuan (Q.S Al-Baqarah: 282). Berarti orang yang berpengetahuan mulia disisi Tuhan.

Pengetahuan menjadi modal utama bagi Nabi Adam yang Tuhan berikan untuk memuliakan Adam sekaligus keunggulan diantara ciptaan lainnya. Jadi, mulianya manusia pada pengetahuannya. Namun, berkembang ditengah masyarakat bahwa nasab lah yang menentukan manusia itu mulia. Manusia yang punya ketersambungan nasab kepada nabi, raja, dan lain sebagainya disebut mulia. Sementara manusia lain yang tidak punya nasab mulia cenderung dipandang remeh.

Fazlur Rahman menyebut corak egalitarianisme dan humanitarianisme sangat melekat pada Islam. Islam tidak melihat manusia pada rasnya, kulitnya, bangsanya, nasabnya dan lain sebagainya. Misalnya, orang yang berkulit putih lebih mulia dibanding kulit hitam. Ternyata tidak, Bilal bin Rabah yang kulitnya hitam mulia disisi Allah karena ketakwaannya. Rasulullah pun tidak bersikap membeda-bedakan antara bangsa Arab dengan bangsa ajam. Hal tersebut menguatkan pesan egaliter Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia. Islam tidak melihat kuantitas, tapi melihat kualitas.

Baca Juga  Pembelaan Ibnu Rusyd untuk Filsafat

Bersikap Adil Soal Nasab

Menyoal pembicaraan hangat akhir-akhir ini mengenai mulianya sebuah nasab. Sering dibicarakan oleh para penceramah bahwa umat Muslim harus memuliakan keturunan Nabi Muhammad dan janganlah membencinya, karena ada darah Nabi didalam tubuh keturunannya.

Bukan berarti selain mereka cenderung dipandang rendah, bisa saja mereka yang mempunyai nasab mulia dipandang rendah oleh Tuhan karena nasab tersebut menjadikan dirinya merasa besar dan mulia dibanding yang lain. Jika seperti itu, nasab malah menjadi hijab baginya sehingga tidak dipandang mulia oleh Tuhan.

Namun, tak jarang sikap menutup diri dan rendah hati pada orang-orang yang mempunyai garis nasab pada Rasulullah, dari mulai tidak mau diketahui kalau ia keturunan Rasul. Andaipun diketahui orang lain, ia menyebut dirinya tidak pantas dikatakan keturunan Nabi karena dirinya merasa jauh dari apa yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Tanpa adanya nasab pun, manusia merupakan makhluk mulia. Selain pengetahuan yang diberikan kepada Nabi Adam, didalam dirinya pun terdapat seluruh Asma Tuhan seperti pengasih, penyayang, lembut, adil, dan lain sebagainya. Semua itu untuk mengenal adanya Tuhan dan memahaminya. Sehingga manusia disebut citra Tuhan.

Semestinya paradigma tersebut digunakan dalam memandang manusia sebagai citra Tuhan. Seluruh asma Tuhan sifatnya potensial, jika manusia mampu mengaktualisasikannya secara proporsional maka ia menjadi makhluk sempurna disisi Tuhan. Itu artinya, manusia yang tidak memiliki nasab mulia pun dipandang mulia sehingga tidak pantas sebagai makhluk meremehkan makhluk yang lain hanya karena tidak memiliki nasab mulia.

Berbeda kalau kita memandang manusia dari nasabnya, jika nasabnya ternyata palsu maka orang tersebut tidak lagi memuliakannya dan berpotensi memandang sebelah mata terhadap manusia lain yang tidak bernasab mulia.

Baca Juga  Ekologi Transendent: Eksposisi Islam Berbasis Ekologis

Berapa banyak diluar sana ketika seseorang bernasab mulia datang langsung dijamu dengan megah sedangkan orang lain yang tidak bernasab mulia biasa-biasa saja menyambutnya. Jadi, melihatnya secara parsial.

***

Berdasarkan uraian dari awal menggambarkan bahwa mulianya seseorang bukan pada nasabnya, tapi manusia sendiri sudah makhluk mulia dengan ketakwaannya dan pengetahuannya yang itu semua bagian daripada pengaktualisasian seluruh asma Tuhan dalam dirinya secara proporsional.

Jika para penceramah menjelaskan kemuliaan seseorang pada takwa dan pengetahuannya, maka umat pun akan semakin keras berusaha menjajaki tingkat ketakwaan dan giat menuntut pengetahuan dari mana pun dan akibatnya akan mampu berkontribusi pada kemanusiaan baik dengan perilaku baiknya sebagai buah dari takwa dan menyelesaikan masalah kehidupan baik melalui pencerahan pemahaman maupun penciptaan teknologi sebagai buah dari pengetahuannya. Dan itulah yang dikatakan Rasul bahwa semulia-mulia manusia ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Editor: Soleh

Akhmad Fawzi
11 posts

About author
UIN Jakarta/Fakultas Ushuluddin
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds