Seorang muslim yang baik tentunya ingin menjadi hamba yang saleh, taat kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam agama. Namun, kenyataannya masih banyak hamba yang tidak saleh, apalagi menjadi muslih (orang yang memperbaiki lingkungan sekitar). Setidaknya ada lima perkara penghalang kesalehan seseorang. Apakah itu?
Lima Perkara Penghalang Kesalehan Hamba
Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, salah seorang sahabat yang dikenal akan keluasan ilmunya dan sering dimintai nasehat, ada lima perkara yang menghalangi seorang hamba untuk menjadi saleh. Dalam kitab Mausu’ah al-‘Aqa`id al-Islamiyyah disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib berkata,
لَوْلَا خَمْسَ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ :اَوَّلُهَا الْقَنَاعَةُ بِاْلجَهْلِ وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا وَالشُّحُّ بِاْلفَضْلِ وَالرِّيَا فِى الْعَمَلِ وَالْاِعْجَابُ بِالرَّأْيِ
“Kalau bukan karena lima perkara, niscaya semua manusia menjadi saleh, yaitu: (1) merasa cukup (senang) dengan kebodohan, (2) tamak dengan (kesenangan) dunia, (3) kikir dengan kelebihan harta, (4) riya dalam beramal, dan (5) bangga akan diri sendiri.”
Merasa Senang dengan Kebodohan
Kebodohan (jahl) merupakan lawan dari kepintaran (‘ilm). Menjadi pintar atau berilmu merupakan perintah agama. Hal ini dapat dilihat dari ayat al-Qur’an pertama yang turun, yaitu perintah membaca (iqra’).
Betapa banyak hadis yang menjelaskan bahwa orang yang pandai (berilmu) jauh lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang bodoh. Orang yang merasa senang atau merasa cukup dengan kebodohan diri bertentangan dengan perintah agama.
Berkaitan dengan ilmu dan kesalehan, Nabi Muhammad saw bersabda,
“Kelebihan (keutamaan) orang yang berilmu dibandingkan ahli ibadah seperti kelebihanku di atas orang yang paling rendah dari kalian…” (HR. al-Tirmidzi).
Hadis di atas menjelaskan bahwa banyak-sedikitnya ganjaran yang didapat dari perbuatan baik, salah satunya, dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya ilmu seseorang. Orang bodoh (tidak berilmu) bukan hanya berpotensi mendapatkan pahala ala kadarnya, tetapi ada kemungkinan amal ibadahnya akan ditolak.
Ibnu Ruslan dalam bab awal Matn al-Zubad-nya menulis,
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لَا تُقْبَلُ
“Dan setiap orang beramal tanpa ilmu maka amalnya tertolak lagi tidak diterima”
Tamak akan Dunia
Tamak, yang berarti ingin mendapatkan banyak materi untuk kepentingan diri sendiri, atau biasa juga disebut serakah, merupakan sifat tercela. Orang yang tamak selalu merasa kurang akan rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya. Sehingga, ia selalu berusaha dengan keras dan giat mendapatkan tambahan rezeki dan cenderung lupa untuk beribadah karena waktunya dihabiskan untuk bekerja.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Dua serigala lapar yang dilepas di sekawanan kambing tidaklah lebih merusak daripada ambisi seorang yang tamak untuk memperoleh harta dan kemuliaan yang merusak agamanya.”
Kikir dengan Kelebihan Harta
Jika menilik redaksi kata yang digunakan Imam Ali bin Abi Thalib untuk menyebut kikir, yaitu al-syuhhu, maka sifat kikir yang dimaksud berkaitan erat dengan sifat tamak. Makna kata tersebut adalah kikir yang disertai dengan ambisi atau ketamakan untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya.
Tak jarang ada orang yang tidak hanya kikir terhadap orang lain, tetapi juga kikir terhadap keluarganya bahkan dirinya sendiri. Padahal, kelebihan harta menjadikan seseorang memiliki beban yang lebih berat di akhirat kelak, karena akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dimilikinya.
Berkaitan dengan kesalehan, Rasulullah saw bersabda,
“Tidak akan berkumpul sifat kikir (al-syuhh) dan keimanan dalam hati seorang hamba.” (HR. al-Nasa’i)
Riya dalam Beramal
Riya, yaitu melakukan amal baik untuk dipuji orang lain, merupakan sifat tercela. Riya merupakan lawan dari ikhlas, yaitu beribadah semata-mata karena Allah. Beribadah karena selain Allah juga bisa disebut sebagai syirik kecil atau syirik yang tersembunyi, sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang artinya,
“Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang lebih samar (tersembunyi) bagiku terhadap kalian daripada (fitnah) al-Masih Dajjal?” Kami berkata, “Kami mau,”Beliau bersabda, “(yaitu) al-syirk al-khafi (syirik tersembunyi), yaitu seseorang shalat lalu menghiasi (memperindah) shalatnya karena ada orang yang memperhatikannya.” (HR. Ibnu Majah).
Banyak ulama yang memperingatkan bahaya dari sifat riya. Salah satu ucapan yang terkenal terkait masalah ini datang dari Fudhail bin ‘Iyadh. Dia berkata,
“Beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkan perbuatan baik karena manusia adalah riya.”
Al-Lajnah al-Da`imah kemudian menerangkan maksud perkataan Fudhail bin ‘Iyadh dengan penjelasan bahwa “meninggalkan amal baik karena manusia adalah riya” tidak berlaku mutlak (pasti dinilai riya). Tetapi tergantung pada niat mengapa dia meninggalkan perbuatan baik tersebut.
Bangga Akan Diri Sendiri
Sifat tercela terakhir yang dapat menghalangi seseorang menjadi saleh adalah bangga akan diri sendiri. Dalam bahasa agama, sifat ini biasa disebut dengan istilah ‘ujub. Ujub adalah merasa diri lebih baik dan lebih hebat dibandingkan orang lain. Sifat ini sering kali membawa seseorang pada sifat sombong, sebuah sifat yang tidak boleh ada dalam diri manusia.
Imam al-Thabarani meriwayatkan sebuah hadis dari sahabat Anas bin Malik bahwa Nabi saw bersabda,
“Tiga perkara yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan rasa ujub seseorang akan dirinya sendiri.”
Imam al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam menyebutkan jawaban Ibnu Mubarak ketika ada yang bertanya kepadanya mengenai ujub. Dia berkata,
“Ujub adalah ketika seseorang melihat (dan merasa bangga) ada kelebihan dirinya yang tidak ada pada orang lain. Aku tidak tahu sesuatu pun yang lebih buruk bagi orang-orang yang shalat selain ujub.”
Demikianlah lima perkara penghalang kesalehan seseorang dalam hidupnya sehari-hari.
Editor: Soleh