Perspektif

Gus Ulil: Al-Ghazali Tidak Membunuh Filsafat!

6 Mins read

Pertanyaan tentang “apakah benar Al-Ghazali membunuh filsafat” masih belum selesai. Rupa-rupanya, pertanyaan atau pandangan ini sudah populer sejak akhir abad 19. Salah satu orang yang bertanggung jawab mempopulerkannya adalah Joseph Ernest Renan, seorang orientalis dan filsuf Prancis yang memiliki kontribusi besar dalam mengembangkan studi-studi Islam di Barat, terutama di Perancis. Selain terkenal dengan orientalisnya, Ernest Renan juga terkenal akan penguasaannya terhadap khazanah intelektual Islam. Bukunya di bidang falsafah yang terkenal adalah Averroes et I’averroisme (1852).

Dalam buku itu, Ernest Renan mengatakan, bahwa dunia Islam mundur karena meninggalkan Ibnu Rusyd. Kenapa Ibnu Rusyd? Karena ia adalah filosof yang menjaga api filsafat Yunani yang dikembangkan di dunia Arab. Dari dunia Arab kemudian filsafat Yunani berpindah ke Eropa.

Ketika gagasan-gagasan Ibnu Rusyd sampai ke Eropa, maka akhirnya gagasan itu mempengaruhi terbentuknya para sarjana dan intelektual di dunia Kristen saat itu pada abad ke 13, 14, dan 15. Mereka inilah sebetulnya yang menjadi orang bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali tradisi atau warisan filsafat Yunani (mereka berhutang banyak budi kepada Ibnu Rusyd).

Dan secara tidak langsung, Ibnu Rusyd juga yang menularkan filsafat atau ilmu orang-orang Yunani ke Eropa. Jadi, kebangkitan Eropa yang disebut dengan Renaissance atau kebangkitan ilmu-ilmu filsafat, sebetulnya berhutang besar kepada Ibnu Rusyd. Hanya saja, Ibnu Rusyd mati di dunia Islam, tetapi berkembang di dunia latin sebagai Averroisme yang kemudian melahirkan pencerahan di Eropa. Inilah tesis utamanya dari buku Ernest Renan.

Waktu berjalan, akhirnya tesis Ernest Renan diambil oleh para penulis-penulis Arab pada awal abad 20. Salah satunya orang yang menangkap dan mempopulerkan tesis Ernest Renan adalah Muhammad Farid Wajdi (salah satu tokoh yang bersimpati kepada gagasan-gagasannya Muhammad Abduh atau lingkaran Majalah Al-Manar).

Farid Wajdi, selain terkenal banyak menulis, pada tahun 50-an namanya cukup populer di Indonesia. Itu sebabnya, intelektual Masyumi pada tahun 50-an itu banyak sekali mengutip gagasan Farid Wajdi, karena para intelektual Masyumi dan juga Muhammadiyah terkagum-kagum kepada orang-orang seperti Farid Wajdi.

Sisi lainnya, menurut mereka, karena orang seperti Farid Wajdi termasuk orang yang membangkitkan semangat umat Islam untuk membangun kembali peradaban Islam melawan Eropa. Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi tesis Ernest Renan itu muncul.

Tentu saja, kita tidak bisa menyalahkan pandangan-pandangan seperti ini. Kita tahu, Ernest Renan dan para sarjana Eropa yang menstudi Islam pada akhir abad ke-19 awal abad ke-20, motifnya dalam mengkaji Islam adalah hanya untuk mencari kemiripan-kemiripan di dalam dunia Islam dengan perkembangan serupa dalam dunia Kristen.

Baca Juga  Gejala Respiritualisasi di Abad 21: Bukti Manusia Masih Butuh Agama

Oleh karena itu, ketika mereka menstudi sejarah Islam, maka model yang selalu dipakai adalah sejarah Kristen dan sejarah Eropa. Ya tentu saja ini bukan sesuatu yang aneh. Kenapa? Karena orang Indonesia juga ketika menstudi negara lain tentu saja model konseptual yang dipakai adalah model terbiasa yang ada di Indonesia.

Sekali lagi bahwa yang ingin dicari oleh sarjana Eropa adalah kemiripan. Maksud kemiripan adalah mereka ingin melihat sejarah Islam berdasarkan periodisasi sejarah Eropa. Dan  sejarah Eropa kita tahu mengalami goncangan besar pada abad ke-16 dan 17, ketika terjadi reformasi dunia Kristen yang kemudian melahirkan dua kelompok dalam Kristen, yaitu Katolik dan Protestan.

Munculnya gerakan reformasi itu dianggap fase penting, karena reformasi Kristen akhirnya menjadi pembuka lahirnya pencerahan di Eropa pada abad ke-17. Jadi, Age of Enlightenment atau pencerahan di Eropa yang merupakan dasar dari seluruh peradaban modern sekarang, sebetulnya titik mulanya terjadi ketika reformasi Kristen.

Mereka ingin melihat dan membandingkan dunia Islam dengan Kristen, misalnya apakah ada momentum seperti Protestan? Akhirnya, mereka bertemu dengan orang-orang seperti Ibnu Rusyd. Mereka menganggap bahwa Ibnu Rusyd adalah orang yang membawa semangat pencerahan seperti yang ada di Eropa.

Sekali lagi, tujuan sarjana Eropa ingin melihat kemiripan di dalam sejarah Islam yang mirip dengan sejarah Kristen. Mereka ingin melihat apakah dunia Islam bisa maju seperti dunia Kristen? Apakah di dunia Islam ada reformasi? Apakah di dunia Islam ada gagasan-gagasan yang mirip dengan gerakan kaum Protestan di Eropa? Bagi mereka, kemajuan itu diukur antara lain kalau di dalam Islam ada momen-momen historis yang mirip dengan dunia Kristen.

Ternyata, semangat mencari kemiripan ini masih terus berlangsung sampai abad 20. Misalnya ketika rombongan antropolog Amerika pada tahun 50-an mengadakan riset di daerah Jawa Timur Pare Kediri (adalah Clifford Geertz dan temannya ketika datang ke Indonesia).

Clifford Geertz dan kawan-kawan ketika datang ke Indonesia motifnya juga hampir mirip-mirip sama. Jadi kemajuan di sini diukur dengan standar Barat. Mereka ingin melihat apakah ada benih-benih dalam Islam yang bisa menjadi sumber kemajuan seperti di Barat? Apakah ada, misalnya, agama yang mendorong etos kemajuan dalam bidang ekonomi?

Berangkat dari sini, tak heran jika kemudian pertanyaan yang menjadi diskusi besar dikalangan sarjana pada tahun 70-an adalah “apakah di dalam Islam ada etos yang mirip dengan etos calvinisme. Karena calvinisme etosnya dianggap sebagai sumber kemajuan kapitalisme di Barat. Ini sebagaimana seperti ditulis panjang lebar oleh Max Weber “Etika Protestan Dan Semangat Kapitalisme”.

Syahdan, jadi tuduhan kepada Al-Ghazali sebagai pembunuh filsafat sebetulnya motifnya adalah hal ini. Mereka ingin mencari kemiripan dalam dunia Islam dengan dunia Kristen, dan Al-Ghazali dianggap sebagai orang yang anti filsafat (ia dituduh sebagai pembunuh filsafat), karena menulis buku Tahafut Al-Falasifah.

Alih-alih dituduh sebagai pembunuh, justru hal yang demikian itu bukanlah pandangan yang ilmiah dalam pengertian rigid, melainkan satu pandangan yang menggambarkan situasi kebudayaan pada akhir abad ke-19 awal abad ke-20. Mengapa demikian? Karena saat itu dunia Islam merasa inferier berhadapan dengan dunia Barat. Mereka mencari alasan-alasan untuk menjelaskan kemundurannya dalam segala hal. Dan yang menjadi kambing hitam adalah Al-Ghazali.

Baca Juga  Nama-nama Ilmu Metafisika Menurut Ibnu Sina

Setelah Al-Ghazali, Apakah Benar-benar Filsafat Mati?

Bisa dikatakan, mungkin Al-Ghazali adalah satu pemikir Islam dari masa klasik yang paling banyak di riset selain Ibnu Sina. Al-Ghazali adalah over research, segala hal yang dilakukan ada risetnya. Bahkan, kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulumuddin, dalam seluruh babnya ada yang meriset. Mulai dari soal shalat, puasa, zakat dan lainnya. Semuanya ada.

Salah satu artikel penting yang muncul di Barat mengenai Al-Ghazali ditulis pada Tahun 2002 oleh seorang yang mungkin salah satu sarjana penting ahli dalam filsafat Islam, mengajar di Yale University, adalah Dimitri Gutas. Salah satu bukunya yang banyak dibaca luas adalah tentang penerjemahan filsafat Yunani ke Islam pada masa era Abbasiyah.

Suatu waktu, Dimitri Gutas pernah diundang ke suatu konferensi mengenai sejarah filsafat Islam, dan ia memberikan pidato hingga kemudian diterbitkan dalam sebuah jurnal. Dan salah satu tema dalam jurnalnya adalah menjawab pertanyaan apakah betul setelah Al-Ghazali filsafat mati di dunia Islam? Namun ia menjawab, bahwa tuduhan itu tidak benar. Buktinya, bahwa aktivitas filsafat Islam sampai sekarang masih tetap hidup.

Frank Deford, mengatakan bahwa, sebetulnya Al-Ghazali melalui bukunya Tahafut Al-Falasifah itu menandai era atau fase baru di dalam perkembangan filsafat di dunia Islam, yaitu perkembangan naturalisasi filsafat Yunani di dalam dunia Islam. Setelah era Al-Ghazali, filsafat Yunani kemudian masuk ke dunia Islam dan diterima. Ringkasnya, Al-Ghazali memang mengkritik filsafat, tetapi ia juga mengajarkan dan menyebarkan filsafat pada saat yang bersamaan.

Atas dasar itu, sebetulnya, Al-Ghazali lebih tepat disebut sebagai orang yang mengenalkan filsafat Yunani ke kalangan para ulama, bukan membunuh filsafat. Karena mayoritas setelah Al-Ghazali, para ulama banyak yang menerima filsafat. Melalui kitabnya Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali berhasil menyelundupkan filsafat ke hadapan kiai-kiai. Dikatakan berhasil, kata Gus Ulil, Ihya’ meskipun secara cover adalah kitab tasawuf, namun secara isi banyak filsafatnya karena Al-Ghazali juga banyak terpengaruh Ibnu Sina.

Baca Juga  Musibah Covid-19 Merajalela Jangan Bakhil

Itu sebabnya, sekiranya membaca Ihya’, kita akan banyak menemukan ajaran filsafat Ibnu Sina, terutama ketika Al-Ghazali menulis soal jiwa. Dan pembahasan mengenai jiwa sangat penting dalam kitab Ihya’. Dalam jilid ke-3 misalnya, yang dimulai dengan bab kitab al-ajaibi al-qalb (kitab mengenai keajaiban jiwa), pembahasannya banyak dibentuk oleh filsafat Ibnu Sina dalam kitab Asy-Syifa’.

Itu pula sebabnya, jika membaca Asy-Syifa’ pada bagian kitabu al-nafs, kita akan menemukan kemiripan-kemiripan dengan penjelasan al-Ghazali dalam kitab Ihya’, baik dari cara al-Ghazali menjelaskan soal the mechanik of human soul persis sekali. Namun demikian, meskipun ada pengaruh (isi filsafat) Ibnu Sina, rupanya masih banyak kiai-kiai yang tidak merasa ketika membaca kitab Ihya’ ada filsafat Ibnu Sina.

Bagaimana Al-Ghazali Memandang Filsafat?

Istilah filsafat atau alfalsafah pada masa Al-Ghazali tidak bisa kita pahami dengan pengertian sekarang. Sebab, pada masa Al-Ghazali, istilah filsafat adalah satu pengetahuan yang menjadi payung besar (membidangi semua ilmu). Al-Ghazali menyebutkan bahwa ada enam cabang filsafat.

Pertama, cabang ilmu yang disebut dengan ar-riyadiyah (ilmu yang berurusan dengan angka-angka dan ini bersifat rasional murni). Kedua, at-thabi’iyah (ilmu yang berkaitan dengan Fisika atau Sains). Ketiga, al-mantiqiyyah (ilmu logika). Keempat, al-ilahiyah (ilmu ketuhanan atau Metafisika). Kelima, al-ahlaqiyyah (teori moral dan etik). Keenam, al-siyasiyah (ilmu politik). Inilah filsafat di masa Al-Ghazali.

Dari enam cabang filsafat, hanya pada masalah al-ilahiyyah yang menjadi persoalan bagi Al-Ghazali. Kenapa? Kata Al-Ghazali, di dalam al-ilahiyyah ada pendapat para filosof yang harus dikritik. Lebih dari itu, karena dalam soal ilahiyyah pandangan para filosof tidak sekuat pandangan Al-Ghazali. Berbeda dalam soal thabi’iyah, kita mengikutinya karena sudah berdasarkan observasi empirik.

Dalam masalah ilahiyyah, Al-Ghazali tidak mengkritik semuanya, melainkan hanya 20 masalah yang dikritik, itupun 20 masih di bagi dua, yaitu tiga yang sangat berbahaya sekali karena jatuh pada kekafiran, dan selebihnya meskipun salah hanya masuk bid’ah.

Itu sebabnya, kata Gus Ulil, Frank Deford dalam bukunya “Performation of Post Classical Filosofi in Islam”, dia mengatakan bahwa sebenarnya Al-Ghazali tidak anti filsafat. Justru sebaliknya Al-Ghazali malah mengajukan model filsafat-filsafat yang baru. Wallahu a’lam bisshawab.

Editor: Soleh

Salman Akif Faylasuf
58 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds