Perspektif

Bagaimana Peran Agama dalam Membangun Mental Health Anak Muda?

3 Mins read

Membentuk remaja bermental sehat bukan persoalan sederhana. Kompleksitas input yang menyertai pertumbuhan remaja telah mengubah pola pandangnya terhadap aturan; bukan lagi barrier yang dimaknai konservatif, sehingga mereka berada di kutub berlawanan dengan sistem lingkungannya.

E-MP Robinopsnal Bareskrim Polri 2022 mencatat sebanyak 4,2% pelaku kriminal dari 472 kasus, teridentifikasi pelakunya pelajar dan mahasiswa. Perilaku kejahatan kelompok usia remaja tersebut, didominasi faktor gangguan mental (mental emotional disorder) seperti depresi, ketakutan, kekalutan, agresi berlebihan, dan sejenisnya, yang berdampak pada gangguan pola pikir, kepribadian, suasana hati, hingga perilaku.

Penelitian Indonesia-National Adolescent Mental Survey (I-NAMHS) merilis bahwa remaja yang mengalami gangguan mental mencapai 2.45 juta orang. Ironinya hanya 2.6% saja yang mau berkonsultasi ke layanan konseling untuk mengatasi permasalahannya. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya kesadaran terhadap pentingnya memiliki mental yang sehat.

Variabel transformasi remaja saat ini nampaknya tidak hanya dari visible spaces yaitu rumah dan sekolah, tapi juga invisible space yaitu media sosial online. Hasil penelitian Columbia University Clinic for Anxiety and Related Disorders menemukan signifikansi efek negatif terhadap kesehatan mental remaja yang ditimbulkan media sosial. Arus informasi dari invisible space inilah yang berkontribusi besar terhadap karakter dan mental remaja.

Diperlukan edukasi perilaku remaja secara teologis. Karena, sebagai makhluk homo religius, remaja secara fitrah akan menerima nilai-nilai keilahian sebagai input yang dominan mewarnai pertumbuhannya. Nilai-nilai tersebut dapat mengantarkan remaja memiliki hubungan baik secara vertikal dengan Tuhannya dan secara horizontal dengan sekitarnya. Dari situ sekaligus menjadi katalisator terbentuknya kesehatan mental remaja sehingga terefleksi dalam perilakunya.

Korelasi Agama dan Kesehatan Mental

Islam menegaskan adanya korelasi agama dengan kesehatan mental Al-Qur’an dalam surat Yunus [10]; 62-63: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Mata rantai antara agama dan kesehatan mental melalui kalimat “, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.  Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah memerintahkan untuk menempuh jalan agama sebagai upaya mewujudkan kesehatan mental.

Baca Juga  Covid-19: Ujian Nalar dan Kesadaran

Sebagai anasir inti agama, keimanan berbanding lurus dengan kesehatan mental. Semakin tinggi keimanan maka semakin sehat mentalnya. Sebutan wali Allah dapat dikontemplasikan sebagai mereka yang dekat dengan-Nya. Kedekatan tersebut menguatkan sisi terbesar dari manusia yakni keimanan. Seorang yang beriman meyakini, bahwa ketika melakukan penganiayaan terhadap orang lain itu tidak semata dikarenakan dorongan perbuatan. Namun merupakan representasi luapan mental dalam diri yang mungkin saja disebabkan oleh amarah yang tak terbendung atau dendam, sehingga ada kesenangan ketika melihat orang lain menderita. Prinsip siapa yang menanam, dia yang akan menuai, lenyap dari pemikirannya dikarenakan mentalnya kontradiksi dengan ideologinya. Baginya meluapkan kegelisahan, depresi, stress, ataupun amarah menjadi sebuah kepuasan tanpa memikirkan efek dari perilakunya itu akan merusak mental dirinya.

Intisari dari interaksi iman, mental, dan perilaku bahwa mental yang diaktivasi dengan keimanan akan menghasilkan perilaku yang sarat nilai-nilai keagamaan. Sebagaimana ikhtisar Hasyim Asy’ari dalam bukunya An-Nur Al-Mubin Fi Mahabbati Sayyidi Al-Mursalin diantaranya; nilai kepatuhan, kasih sayang, kesederhanaan, kesabaran, dan pertolongan. Nilai-nilai tersebut yang belum tumbuh dalam diri remaja karena sisi teologi mereka tidak dibangun dengan baik.

***

Pentingnya kesadaran membangun mental sehat dalam frame teologi mengingatkan bahwa menginternalisasikan tidak cukup dengan pemahaman secara kognitif saja, tetapi diperlukan aksi nyata agar nilai-nilai keagamaan dapat merefleksi dalam berperilaku dan menjadi habit dalam bertindak. Untuk itu, diperlukan peran aktif dari tiga pilar pendidikan dalam membangun kesadaran mental sehat tersebut.

Pilar pertama adalah lingkungan keluarga. Orang tua selain menjadi role model, juga terlibat aktif membimbing dan mendidik anak menginternalisasikan nilai-nilai agama sebagai basic membangun interaksi dan komunikasi yang menyertai proses tumbuh kembang anak sejak usia dini. Pilar kedua adalah lingkungan sekolah menjadi media penyampai nilai agama yang efektif membentuk ideologi remaja berlaras dengan tindakan melalui integrasi antara komposisi kurikulum agama yang proporsional, keteladanan guru, serta iklim dan budaya organisasi sebagai langkah intensif untuk optimalnya proses pembentukan mental bersendikan nilai-nilai keagamaan. Pilar ketiga adalah peran masyarakat yang mencakup perangkat regulasi untuk membangun proteksi munculnya kenakalan remaja.

Baca Juga  Talenta Muda dalam Gelombang Politik Kebangsaan

Metode penyampaian nilai teologi dari pilar ketiga ini dapat diimplementasikan melalui strategi social marketing yang tepat untuk memposisikan nilai agama/teologi terakses dan diadaptasi oleh remaja seperti melalui media sosial, atau program langsung. Dampak strategi ini akan mewujudkan kesalehan sosial yang menjadi panduan do’s and don’ts bagi remaja. Dengan demikian integritas religius remaja lahir yang berkonsekuensi pada perilaku mental yang sehat.

Kesalehan Sosial

Tindakan preventif krisis mental remaja melalui pendidikan berbasis teologi sejalan dengan enam karakter Profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri. Refleksi pendidikan remaja berbasis teologi disertai karakter Profil Pelajar Pancasila akan membentuk kesalehan sosial remaja yang berakhlak mulia, cerdas, dan produktif.

Level kesalehan sosial merupakan akumulasi kinerja kolektif seluruh sistem dari setiap pilar pendidikan yakni keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Efek pendidikan tersebut terhadap interaksi visible dan invisible spaces mampu menekan dampak negatif karena remaja mempunyai guidance agama yang diterimanya dari proses pendidikan.

Konsekuensi logis kesalehan sosial remaja memiliki dampak positif secara luas bagi pembangunan nasional terutama program Indonesia Emas 2045. Pada tahun tersebut Indonesia akan memiliki bonus demografi yaitu generasi usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 70% dari total populasi. Jika remaja saat ini tidak memiliki mental sehat, maka diproyeksikan bonus demografi 2045 akan menjadi beban demografi dengan munculnya pengangguran, tingginya kriminalitas, dan kemiskinan.

Editor: Soleh

Noor Azida Batubara
1 posts

About author
Dosen STAI Haji Agus Salim Cikarang (Prodi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan) Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu STAI Haji Agus Salim Cikarang
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

2 Comments

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds