Ganjar Pranowo belakangan waktu yang lalu diketahui muncul dalam tayangan azan di televisi swasta milik Hary Tanoesoedibjo. Diketahui bahwa Hary Tanoe merupakan Ketua Umum Perindo yang merupakan salah satu partai non parlemen pendukung Ganjar Pranowo.
Tayangan azan berisi sosok capres tersebut menuai pro dan kontra. Ada yang mewajarkan, mencibir, membela, hingga menyayangkan karena merasa itu merupakan bagian dari politik identitas agama. Dalam tayangan tersebut, Ganjar menyambut jemaah yang datang memakai koko putih, sarung batik, peci hitam, serta mengambil wudu dan menjadi makmum di belakang imam salat.
Pro dan kontra terkait tayangan Ganjar Pranowo tersebut membuat penulis tertarik untuk menelusuri konsep berpikir masyarakat kita terkait religiusitas, keberagamaan, atau kesalehan. Apa saja indikator religius yang selama ini dipegang masyarakat kita? Apa atau siapa yang membentuk indikator tersebut? Apa dampaknya terhadap pandangan kita pada perilaku para politisi?
Indikator Religius
Dale Cannon, dalam karyanya Six Ways of Being Religious, menyebutkan bahwa paling tidak, ada enam cara yang biasa digunakan oleh seseorang untuk merasa dirinya religius atau saleh. Pertama, melaksanakan ibadah ritual, seperti salat, misal, dan sebagainya. Kedua, belajar ilmu agama. Ketiga, mendalami mistis atau spiritual, seperti mengikuti tarekat atau sejenisnya. Keempat, bermediasi dengan orang-orang suci, seperti berziarah ke makam nabi atau sebagainya. Kelima, mengabdi, seperti menjadi aktivis organisasi keagamaan atau sejenisnya. Keenam, berakhlak baik dan benar, seperti bersikap jujur, adil, tertib, dan sebagainya.
Perasaan religius dalam diri seseorang tentu tidak diperoleh dengan terbatas pada enam cara di atas saja. Bahkan, jika diperhatikan dengan cermat, di zaman sekarang pun ada yang merasa sudah religius jika memakai “busana keagamaan” seperti gamis, sarung, dan sebagainya.
Perasaan religius adalah sebuah hal yang bersifat subjektif. Setiap orang bisa merasa, menyatakan, dan mengklaim dirinya religius. Pada dasarnya itu wajar-wajar saja. Lebih-lebih di era digital sekarang ini, setiap orang bebas menunjukkan kereligiusannya.
Di story maupun feed Instagram misalnya, sering kali ditemukan orang-orang mengunggah kegiatan keagamaan yang diikutinya lengkap dengan caption ayat-ayat suci atau kutipan tokoh agama tertentu. Hal tersebut cukup untuk membuat seseorang merasa religius, membentuk image religius, dan orang lain pun mengiranya religius.
Saleh Ritual dan Saleh Sosial: Dikotomi yang Tidak Perlu
KH. Ahmad Mustofa Bisri, dalam tulisannya, “Kesalehan Ritual dan Sosial”, menyebutkan bahwa hidup dan kehidupan kita, para hamba Allah yang mukmin, adalah penyembahan dan pengabdian belaka kepada-Nya. Kita menyembah dan mengabdi kepada-Nya dalam sembahyang, puasa, zakat, haji, pergaulan rumah tangga, hingga pergaulan kemasyarakatan kita, dalam segala gerak langkah kita. Kita biasa mengikrarkan, “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin. Salatku, ibadahku, hidup dan matiku, semata-mata adalah bagi Allah Tuhan semesta alam.”
Allah menyediakan sarana khusus dalam menyembah-Nya melalui salat yang dengannya kita menyatakan syukur dan permohonan sebagai hamba, puasa yang dengannya kita menyatakan kefakiran dan kelemahan kepada-Nya, zakat yang dengannya kita membersihkan diri dari keterikatan pada harta, dan haji yang dengannya kita bertamu dan bersimpuh menangis bersama hamba-hamba-Nya yang lain di pelataran-Nya yang suci.
Namun, menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri pula, seringkali kita justru membatasi penyembahan dan pengabdian kepada-Nya dalam ritual-ritual khusus seperti disebutkan sebelumnya. Bahkan tak jarang pula kita mendangkalkannya sebatas pengertian fiqhi lahiriahnya, ucapan dan gerak-laku rutin yang kosong makna. Salat yang seharusnya dapat membentengi dari perilaku keji dan mungkar justru tak tampak pengaruh positifnya dalam kehidupan.
Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, dari sinilah ungkapan dikotomis yang tak perlu muncul, yaitu kesalehan ritual di satu sisi dan kesalehan sosial di pihak lain. Padahal kesalehan itu harus mencakup dua-duanya, ritual dan sosial secara beriringan, sinkron, terintegrasi, tidak menitikberatkan apalagi meninggalkan salah satunya, yang dalam ungkapan KH. Ahmad Mustofa Bisri disebut sebagai kesalehan muttaqi (hamba yang bertakwa).
Politisi yang Cuma Saleh Ritual Tidak Laku di Masyarakat yang Muttaqi
Bagaimana kita memandang religiusitas, keberagamaan, atau kesalehan akan menentukan sikap kita dalam menanggapi politisi yang mencoba menggunakan agama dalam setiap tindakan politisnya. Orang yang menganggap religius hanya sebatas melaksanakan ibadah ritual, tentu akan terkagum-kagum dengan politisi yang salat, berhaji, berpuasa, berziarah, dan sebagainya. Orang yang menganggap religius sebatas belajar ilmu agama, akan terpesona dengan politisi yang sering mendatangi majelis-majelis taklim, kajian, dan sebagainya.
Orang yang menganggap religius harus mengikuti organisasi keagamaan tertentu, akan mengidolakan politisi yang menjadi anggota apalagi petinggi organisasi keagamaan tersebut. Orang yang berprinsip religius harus berakhlak baik dan benar seperti bersikap jujur, adil, tertib, dan sebagainya, tentu akan mementingkan sikap-sikap luhur seorang politisi terlepas apapun identitasnya.
Dalam konteks masyarakat yang muttaqi, yang memegang prinsip bahwa kesalehan ritual dan sosial harus beriringan, sinkron, terintegrasi, tidak menitikberatkan apalagi meninggalkan salah satunya, menurut penulis, akan lebih mudah menanggapi perilaku politisi yang menyangkut keberagamaan seperti Ganjar Pranowo yang muncul dalam tayangan azan di televisi.
Orang yang berprinsip kesalehan harus menyeluruh tidak akan mudah terlena dengan perilaku-perilaku kesalehan ritual semata yang ditunjukkan oleh para politisi. Bagi masyarakat yang muttaqi, satu kebijakan politisi yang adil dan memihak orang-orang yang tertindas lebih berarti daripada seribu rakaat salat politisi yang ditayangkan di televisi.
***
Kehadiran politisi di majelis taklim dan kajian agama tidaklah lebih bermakna dibandingkan satu kebijakannya yang membela orang-orang yang lemah dan terzalimi. Satu kebijakan politisi yang mendukung pelarangan pendirian rumah ibadah masyarakat minoritas, di mata masyarakat yang muttaqi, akan menyia-nyiakan hajinya yang sudah berkali-kali terlaksana.
Alhasil, prinsip masyarakat tentang keberagamaan, religius, atau kesalehan akan menentukan sikap mereka terhadap perilaku keberagamaan para politisi dan bahkan menentukan pilihan mereka terhadap politisi yang layak dipilih.
Masyarakat yang muttaqi akan cenderung memandang perilaku keberagamaan politisi secara menyeluruh, bukan hanya sebatas ritual keagamaan semata. Mereka tidak akan mudah terlena dengan perilaku religius yang diperlihatkan oleh para politisi secara dangkal. Sebab bagi mereka, pengabdian kepada Tuhan berlaku dalam setiap gerak-gerik manusia, di dalam maupun di luar ritual agama. Dalam masyarakat yang muttaqi, agama akan gagal dipolitisasi.
Editor: Soleh