Oleh: Sirajuddin Bariqi*
Kita adalah Ikatan Mahasiswa “Muhammadiyah”, oleh sebab itu gatal tangan saya untuk segera merespon tulisan saudara seperjuangan saya di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Muh. Akmal Ahsan. Meski belum terlalu mengenal pribadinya, beberapa kali saya mendengar cerita tentang kiprah intelektualnya. Terutama dengan posisinya sebagai Ketua Bidang RPK PC IMM AR Fakhruddin, Yogyakarta.
Benar saja, goresan penanya mengayun dengan indah. Bahkan boleh jadi terlampau me‘manja’kan pembacanya. Dengan tanpa menafikan esensi, tulisannya bisa dan mudah dibaca oleh setiap elemen masyarakat. Tulisannya ‘membumi’. Khas seorang aktor intelektual.
Tidak Semua IMM Lahir di PTM
Tetapi ada hal yang membuat saya harus tersenyum kecut. Pertama, menurut saya, Immawan Akmal terkesan menggeneralisasi persoalan. Ia memberi dua alasan kenapa IMM ‘layak’ untuk disebut ikatan yang “belum dapat sama sekali disebut sebagai organisasi yang mandiri, berdiri di atas kaki sendiri”.
Alasan pertama karena IMM terbius oleh kebijakan PTM, yang sedikit banyak berimbas pada sikap yang tidak mandiri, miskin inovasi, dan se-abrek turunan persoalan yang timbul karenanya. Alasan kedua karena sokongan dana dari kampus terkesan melenakan.
Immawan Akmal, apakah perlu saya ingatkan bahwa tidak semua IMM lahir dan berkembang di lingkungan PTM? Yang implikasinya adalah tidak semua merasakan fasilitas seperti yang teman-teman Cabang sampeyan rasakan. Bagi saya, tulisan sampeyan itu menyakitkan. Seketika seolah ada hantaman alugora yang tembus ke dada. Tolonglah pahami perasaan kami yang pontang-panting merekrut kader, kluyuran kesana-kemari demi mengumpulkan pundi-pundi uang, dan terutama menghadapi tekanan kiri-kanan dari organisasi sebelah.
Soal dana dan kemandirian, saya kira sampeyan kurang bersyukur. Bahkan boleh jadi, seperti yang sampeyan katakan, “IMM masih terjerembab dalam budaya yang manja”. Tetapi alangkah lebih baiknya kalimat tersebut diperjelas dengan IMM tempat sampeyan berjuang, bukan secara keseluruhan.
Maka bagi saya, itu persoalan yang harus sampeyan dan teman-teman Cabang sampeyan selesaikan. Dana sudah ada, tinggal dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Jadi jelas, ya. Bukan IMM yang manja, tetapi Pimpinan Cabang sampeyan. Sori loh, ya. Saya hanya merespon tulisan sampeyan.
Saya jadi teringat cerita Ibunda Elyda Djazman. Beberapa waktu yang lalu, saya beserta teman-teman PC bersilaturrahmi ke kediaman beliau. Dalam momentum itulah beliau bercerita betapa IMM, meskipun lahir dari rahim Muhammadiyah, tidak serta merta mengandalkan sokongan dana dari Muhammadiyah.
Singkat cerita, beliau bersama pendiri IMM yang lain rela turun ke tengah masyarakat untuk mengajukan proposal demi terselenggaranya Munas (Muktamar) IMM pertama (Solo, 1965), yang menghasilkan Deklarasi Kota Barat. Ada yang menyumbang uang, beras, jajanan, minuman, dan lain-lain.
Cerita tersebut menguatkan saya –khususnya– untuk jangan pernah mengeluh soal pendanaan. Meski tentu saja sebagai organisasi yang berada di bawah payung besar Muhammadiyah kami terus menagih hak.
Apakah Mandiri Harus Selalu Tentang Dana?
Kedua, dengan tulisannya, Immawan Akmal seolah menjustifikasi celotehan kawan HMI-nya. Sebelumnya, saya benar-benar tidak tahu apa saja yang diobrolkan dua calon penerus bangsa ini. Saya hanya berpatokan pada tulisan Immawan Akmal. Jadi, mohon maaf jika saya salah tangkap atau keluar dari konteks pembicaraan.
Jika yang dibicarakan adalah perihal “kualitas kemandirian gerakan”, kenapa hanya menyasar pada kemandirian ekonomi? bagaimana dengan kemandirian sikap? Apakah mandiri harus selalu tentang dana? Bukankah bersikap independen, tidak mudah dientervensi oleh berbagai kepentingan juga bagian dari kemandirian? Sekali lagi mohon maaf jika pertanyaan saya salah konteks.
Tetapi, saya akan lebih setuju jika maksud dari kualitas kemandiriaan gerakan bukan hanya soal dana atau ekonomi, tetapi lebih dari itu adalah perihal kemandirian sikap. Maka jika dalam aspek pendanaan di PC sampeyan sudah tercukupi, tidak ada alasan untuk mengeluh bukan? Lanjutkan saja proses perkaderan. Mendidik kader IMM untuk menjadi pribadi yang berani berdiri dengan kakinya sendiri.
Apakah dengan sokongan dana dari pihak kampus PTM lantas menjadikannya berhak untuk mengintervensi sampeyan dan teman-teman yang lain? Kalau iya, maka ada yang salah dengan PTM yang bersangkutan.
Kita adalah Ikatan Mahasiswa “Muhammadiyah”
Sebagai orang yang berurusan dengan tetek-bengek perkaderan, saya sering iri dengan teman-teman yang lahir dan berjuang di PTM. Bagaimana tidak; dana ada, anggota dan/atau kader ada. Kalau mau menyepelekan, tugas selanjutnya ‘hanya’ melakukan proses perkaderan; Internalisasi Ideologi. Tetapi barangkali memang tidak sesederhana itu. Iklim yang ada barangkali memang me‘manja’kan. Bukan begitu Immawan Akmal?
Yang mengingatkan saya untuk tidak berhenti berjuang dan terus-terusan mengeluh adalah perkataan Buya Syafii Maarif, yang dikutip oleh Muti’ullah. Bahwa “di setiap lini peradaban, minoritas berkualitas yang menentukan”. Bukan lantas menafikan kuantitas, tetapi lebih dari itu, kualitaslah yang utama.
Dalam dokumen Suara Muhammadiyah, Djazman Al-Kindi tercatat pernah menulis, “bahwa untuk pengembangan organisasinya, IMM akan berorientasi pada kualitas anggota daripada sekedar memperbesar jumlahnya”.
Pun demikian, jika merujuk ke definisi kader oleh Djazman, yakni “kelompok manusia yang terbaik karena terdidik atau terlatih,” yang kemudian menjadi “inti atau tulang punggung dari kelompok yang lebih besar,” maka dalam hal ini IMM harusnya bertugas menjadi jangkar ideologi persyarikatan. Sebab, selain sebagai organisasi pergerakan, IMM merupakan organisasi perkaderan.
Identitas IMM sebagai organisasi yang berada di bawah payung besar Muhammadiyah memang seharusnya tidak kemudian menjadikan ikatan ini terlena, manja, dan berpangku tangan. Bahkan jika melihat tugas dan fungsi IMM, maka segala persoalan yang dihadapi Muhammadiyah, terutama mengenai masuknya ideologi lain ke tubuh Muhammadiyah, kader IMM mestinya menjadi pihak terdepan yang menghalau masuknya ideologi tersebut.
Diakui ata tidak, disadari atau tidak, ada persoalan yang lebih besar, baik di tubuh Muhammadiyah maupun IMM. Terutama perihal minimnya pemahaman dan aplikasi ideologi. Tidak heran jika banyak ditemukan ‘gerakan mendua’ dan/atau memisahkan diri dari jamaah.
Maka, dengan tanpa menafikan ragam persoalan yang dihadapi oleh teman-teman seperjuangan di IMM, mari kita tetap jadikan jadikan IMM sebagai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang mampu melahirkan kader persyarikatan, umat, bangsa, dan kemanusiaan, dan bukan menjadi Ikatan Mahasiswa Manja.
Terakhir, saya tidak tahu seberat apa perjuangan teman-teman IMM di PTM. Saya sepakat untuk tidak menjadikan IMM sebagai organisasi yang manja, dalam konteks apapun, tetapi tolong Immawan Akmal, bukan begini caranya!
*) Ketua Bidang Perkaderan PC IMM Kab. Sleman, Yogyakarta