IBTimes.ID – Keadaan lingkungan khususnya iklim global makin buruk. Saat ini, bahkan dunia memasuki fase pendidihan global (global boiling), bukan lagi pemanasan global (global warming). Ungkapan oleh Sekretaris Jenderal PBB ini mempertegas ancaman eksistensial peradaban di Bumi akibat masalah lingkungan dan suhu Bumi yang makin panas.
Masalah lingkungan serta masa depan Bumi dibahas dalam Global Forum for Climate Movement hasil kerja sama Muhammadiyah dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI). Kegiatan ini diselenggarakan pada 17-18 November 2023 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Agenda ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian Milad ke-111 Persyarikatan Muhammadiyah.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyatakan krisis iklim sangatlah berbahaya. Bahkan, dirinya menyebutkan bahwa dampak krisis iklim lebih berbahaya dibandingkan bom nuklir. Hal ini terjadi karena kerusakan yang terjadi sangat multidimensi dan jika terus berlanjut, kerusakan tidak lagi dapat dipulihkan.
Haedar juga menggarisbawahi bahwa kerusakan lingkungan tidak terjadi begitu saja, melainkan dimulai sejak era antroposen. Ini berarti, kerusakan lingkungan berakar pada paradigma antroposentrisme. Paradigma ini memposisikan manusia yang serba dominan, kuat, dan hegemonik terhadap alam. Sehingga, perlu perubahan paradigma dari antroposentrisme menjadi teoantroposentrisme.
“Kita mendeklarasikan sebuah pandangan yang berada dalam perspektif teoantroposentrik. Paradigma ini memposisikan langit dan bumi satu kesatuan. Sehingga manusia sebagai khalifah fil ardh, punya nilai, punya etika, bahwa kehidupan harus kita lindungi dan jaga bersama,” kata Haedar dalam sambutannya pada (17/11/23).
Bagi Haedar, jika kita tidak segera bertindak maka keadaan Bumi sekarang membawa dampak serius dan menjadi pertaruhan masa depan peradaban bagi manusia. “Kondisi kehidupan akan menyerupai kiamat (doomsday), baik secara harfiah, maupun secara metafor membawa dampak kematian dan kiamat ekosistem dan kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya,” tegasnya.
Muhammadiyah memandang dan berkeyakinan dari forum global ini selain inspiratif dan jadi pandangan alternatif, membangun dan menyelamatkan alam dengan paradigma membangun tanpa merusak, menghadirkan sebuah movement yang secara bersama di seluruh dunia dari masyarakat setiap bangsa. Muhammadiyah membangun dan mengembangkan Muhammadiyah Climate Center, yang akan menjadi instrumen untuk gerakan baru menghadapi perubahan iklim untuk penyelamatan dunia.
Upaya Muhammadiyah ini didukung oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Dalam sambutan daring, Retno mengungkapkan kontribusi Indonesia untuk mendukung net zero emission melalui penurunan emisi pada tahun 2030 yang tertuang dalam nationally determined contribution (NDC). Retno menyampaikan bahwa Indonesia meningkatkan climate target dalam bentuk NDC tidak bersyarat dari 29% menjadi 31,89% sementara NDC bersyarat dari 41% menjadi 43,2%.
Retno yang tidak luput mengucapkan selamat milad bagi Muhammadiyah juga menyampaikan tiga poin pentingnya organisasi keagamaan dalam mendukung upaya menyelamatkan Bumi dari krisis iklim. “Pertama, membangun hubungan dengan masyarakat untuk mendiseminasi informasi dan kepedulian tentang iklim. Kedua, kontribusi intelektual terutama untuk generasi muda agar dapat terinformasi, termotivasi, dan berkontribusi. Ketiga, memberikan panduan moral dan etik dengan cara menyebarkan paham dan praktik ramah lingkungan, seperti yang telah dilakukan Muhammadiyah,” ujar Retno.
Sementara itu, seperti disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam sambutan selamat datang, Muhammadiyah meluncurkan Muhammadiyah Climate Center sebagai pusat kebudayaan, inovasi, kerja sama untuk iklim. Forum dan peluncuran ini disaksikan oleh keluarga besar Muhammadiyah se-Indonesia, akademisi, utusan organisasi nasional dan internasional, serta delegasi dari 13 negara sedunia.
Muhammadiyah Climate Center menjadi penegasan dari aktivitas Muhammadiyah di bidang lingkungan sejak 2005 melalui Lembaga Lingkungan Hidup (yang saat ini berubah menjadi Majelis Lingkungan Hidup). Selain itu, sejak pandemi Aisyiyah juga terlibat dalam menghadapi krisis iklim serta membangun resiliensi keluarga dan masyarakat Indonesia. Muhammadiyah juga telah menggerakkan Green Idulfitri dan Green Iduladha, di samping organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang ikut menggerakkan aksi untuk iklim melibatkan 2.000 pelajar dari 80 kabupaten/kota se-Indonesia.
Kegiatan Global Forum for Climate Movement ini juga melibatkan Yayasan Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih (ViriyaENB), Bank Syariah Indonesia, dan Lembaga Amil Zakat, Infaq, Shadaqah Muhammadiyah (LazisMu). Menjadi contoh bahwa upaya-upaya kolaborasi sangat penting untuk gerakan pro iklim, juga perlu didukung pendanaan yang berbasis keagamaan seperti zakat untuk berkontribusi dalam forum yang sangat berguna mendukung gerakan untuk iklim.
Reporter: Nabhan