Kita memang tidak mungkin mengekalkan pendapat bahwa salafisme sepenuhnya fundamentalis (bahkan konservatif). Demikian juga bahwa Muhammadiyah pasti puritan-modernis dan Nahdlatul ‘Ulama (NU) selalu tradisionalis. Identitas masing-masing gerakan keagamaan tersebut bersifat sangat cair. Saling meminjam satu sama lain dan terkadang merupakan elaborasi dari pelbagai irisan khas identitas-identitas yang ada.
Jika menyebut Muhammadiyah, misalnya, organisasi puritan yang secara ketat hanya merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama dalam ber-ijtihad. bagaimana dengan Muhammadiyah-NU (disingkat MU-NU)? Bagaimana dengan Muhammadiyah-Marhaen? Bagaimana dengan banyak sekali varian Muhammadiyah lainnya? Demikian pula hal ini berlaku pada gerakan salafi dan NU.
Lalu bagaimana menjelaskan Salafi-Nahdliyin, irisan NU dan konservatisme?
Salafi Nahdliyin
Ada tulisan yang menarik sekali, buah karya Ahmad Najib Burhani yang bertajuk “Lesson from Madura: NU, Conservatism and the 2019 Presidential Election” diterbitkan ISEAS pada 10 September 2019. Argumentasi yang diajukannya menegaskan bahwa identitas keagamaan NU tidaklah tunggal. Ketidaktunggalan tersebut terutama oleh karena adanya faksi konservatif di dalam NU sendiri. Di luar pembahasan dalam karya tersebut, faksi ini yang dapat disebut sebagai Salafi Nahdliyin.
Menurut Najib, ada beberapa faktor yang mengkondisikan konservatisme di dalam NU. Pertama, kharisma Habib Rizieq dan gelombang populisme Islam di Indonesia. Kedua, faktor tradisi Arabisme Yamani yang masih dilestarikan dengan baik. Ketiga, faktor Madura, dalam pengertian, konservatisme NU dalam menghadapi isu sektarianisme dan formalisasi syariah.
Pertama, kharisma Habib Rizieq bisa menjelaskan beberapa hal yang spesifik dan saling terkait. Habib Rizieq “dianggap” berdarah biru, karena memiliki sanad leluhur yang bersambung sampai ke Nabi Muhammad Saw. Di lingkungan NU, terdapat komunitas pecinta habaib dengan massa yang sangat besar, yang menganggap sakral siapa saja sosok yang menjadi keturunan Nabi tersebut. Jadi, posisi Habib Rizieq sangatlah penting bagi mereka di lingkungan Nahdliyin.
Di samping itu, Habib Rizieq adalah pemimpin Front Pembela Islam (FPI). Ormas keagamaan yang konservatif dan seringkali menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksinya. Habib Rizieq sendiri adalah seorang tokoh konservatisme Islam. Di lingkungan NU, lahirlah kelompok yang serupa dengan nama Laskar Pembela Islam (LPI) alias FPI versi NU.
Peran FPI bukan sekedar memicu lahirnya LPI, tetapi juga antara NU dan FPI memiliki hubungan khusus dalam pelbagai kegiatan keagamaan. NU-FPI berkolaborasi pada Tabligh Akbar di Pamekasan pada 2 November 2018 dan Haul Akbar Masyayikh dan Habaib se-Madura di Sampang pada 26 Februari 2019.
Habib Rizieq adalah salah seorang tokoh kunci di tengah-tengah momen Aksi Bela Islam (411 dan 212) yang disertai dengan demonstrasi jutaan massa (populisme Islam). Aksi itu sendiri merupakan aksi protes terhadap dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang berbarengan dengan konteks pemilihan gubernur DKI Jakarta. Bahkan Habib Rizieq dianggap sebagai “Imam Besar” umat Islam Indonesia.
Tradisi Arabisme Yamani dan Faktor Madura
Kedua, faktor tradisi Arabisme Yamani (imitating Arab tradition, bukan misguided Arabism). Sebagai habib, tentu Habib Rizieq memiliki kharisma yang kuat di tengah-tengah komunitas pecinta habaib. Bahkan secara umum bagi sebagian warga Nahdliyin, pesonanya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini tentu dapat dipahami, oleh karena sebagian warga NU masih menganggap sakral tradisi kearaban yang lekat kaitannya pada para kyai besar. Seperti misalnya, pesona kearaban KH Kholil Bangkalan (1820-1923).
KH Kholil adalah seorang tokoh agama di Madura, salah seorang guru dari KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah). Beliau diyakini berdarah biru, karena masih anak keturunan dari keluarga Basyaiban yang berasal dari Hadramaut (Yaman), yang memiliki silsilah bersambung hingga ke Nabi Muhammad. Tradisi kearaban melekat erat kepadanya, sebagaimana tradisi kearaban yang dimiliki Habib Rizieq.
Karena itu, ketika KH Said Aqil Siradj menyeru bahwa surban dan jubah bukanlah hal yang penting untuk menunjukkan ketakwaan seseorang, hal ini bagi para pendukung Habib Rizieq dianggap menyalahi tradisi yang dianggap sakral. Terutama oleh karena KH Kholil juga menggunakan surban dan jubah.
Ketiga, faktor Madura. Sudah sejak lama corak keberagamaan di pulau garam ini, didominasi oleh Islam tradisionalis (NU). Akan tetapi, meskipun secara umum NU dikenal memiliki karakter yang inklusif dan pluralis, kenyataannya, di Madura, karakter yang dimiliki berbeda. Tampaknya, di sana agak lebih konservatif terutama dalam mempertimbangkan kasus sektarianisme Islam dan formalisasi syariah.
Dalam kasus konflik Sunni-Syiah di Sampang, para tokoh NU Madura bersikukuh untuk memarginalisasi komunitas Syiah (melalui fatwa MUI Madura). Toleransi yang sebenarnya sering dipromosikan NU, tidak berlaku dalam konteks berhadapan dengan komunitas keagamaan lainnya yang dianggap menyimpang (Syiah). Konservatisme juga tercermin dari adanya formalisasi hukum keagaman melalui Perda Syariah. Misalnya, adanya Perda Syariah di Bangkalan.
Persentuhan dan Percampuran Antar-identitas
Ketiga faktor ini, saling terkait satu sama lain. Ketika, trend populisme Islam mengemuka, massa NU yang tergabung dalam NU Garis Lurus (NUGL) mengabaikan instruksi PBNU yang melarang jama’ah Nahdliyin turut serta dalam demonstrasi massal.
Pesona Habib Rizieq, sebagai imam besar lebih bersinar dalam konteks itu. Di samping itu, para kiai lokal juga terpanggil untuk mengerahkan massa dalam Aksi Bela Islam. Tanpa harus memiliki keterkaitan secara langsung dengan Habib Rizieq (sebagai ikon populisme Islam).
Koneksi kultural Islam-Arab dan aspirasi untuk menerapkan hukum syariat, semakin mendapatkan tempatnya dalam momen aksi massa yang luar biasa tersebut. Ada pula harapan formalisasi syariah di level yang lebih tinggi (negara).
Karena itu, para tokoh Aksi Bela Islam yang tergabung dalam perkumpulan Ijtima’ Ulama, ingin mengusulkan adanya Indonesia Bersyariah. Meskipun gagasan ini masih tidak jelas, tetapi aspirasi untuk Islamisasi Indonesia secara formalistik, terungkapkan di hadapan publik.
Demikianlah, sebenarnya melalui tulisan ini, saya ingin mengajukan argumentasi bahwa kategorisasi tertentu untuk menentukan identitas masing-masing gerakan Islam, terutama salafisme, tidaklah bersifat ketat. Persentuhan dan dengan demikian, percampuran, antar-identitas senantiasa terjadi.
Varian-varian di dalam NU menunjukkan bukan sekedar adanya komunitas penyokong pluralisme keagamaan, namun juga konservatisme. Atau, NU bukan sekedar tradisionalis, namun juga Islamis.