Perspektif

Kalender Islam Global dan Ushul Fikih

3 Mins read

Ushul Fikih atau biasa disebut “Philosophy of Islamic Law” merupakan hal penting dalam kajian hukum Islam. Berbagai penelitian hukum normatif menjadikannya sebagai salah satu model pendekatan. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Ahmad Zahro dalam disertasinya yang berjudul “Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama, 1926-1999 (Telaah Kritis terhadap Keputusan Hukum Fiqh)”. Menurutnya, selama 73 tahun telah diselenggarakan Bahtsul Masa’il tingkat nasional sebanyak 39 kali. 

Selanjutnya diinformasikan pula berdasarkan penelusuran ada 6 muktamar dokumennya tidak dapat diakses sehingga yang dikaji sebanyak 33 kali dan ditemukan sebanyak 505 keputusan (428 persoalan fikih dan 77 persoalan non fikih). Salah satu persoalan fikih yang dikaji adalah penentuan awal bulan kamariah. Dalam Muktamar NU XX (Surabaya, 8-13 September 1954), Munas Alim Ulama NU (Situbondo, 18-21 Desember 1983, Munas Alim Ulama NU (Cilacap, 15-17 November 1987), dan Muktamar NU XXX (Kediri, 21-27 November 1999) dinyatakan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah melalui rukyat atau istikmal dengan menggunakan matlak wilayatul hukmi. 

Sementara itu artikel pertama yang mendiskusikan persoalan kalender Islam dan usul fikih adalah tulisan Ibnor Azli Hj Ibrahim dan Mohd Saiful Anwar Mohd Nawawi yang berjudul “Peranan Ilmu Usul Fiqh dalam Menyelesaikan Isu-Isu Falak Syarie”. Artikel ini dimuat dalam ” Koleksi Kertas Kerja Seminar Persatuan Falak Syar’i Malaysia (1406 H/1986 M-1425 H/2004 M)”. Menurutnya, sudah saatnya para ahli mempertimbangkan usul fikih untuk menyelesaikan perbedaan memulai dan mengakhiri Ramadan. 

Menurutnya lagi, salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah mempertimbangkan maslahah mursalah dan sadz al-dzari’ah. Untuk itu tidak boleh “tergesa-gesa” mengadopsi imkanur rukyat sebelum adanya kesamaan pemahaman tentang konsep visibilitas hilal. Dengan pemahaman yang komprehensif antara aspek agama dan sains diharapkan titik temu dapat segera diwujudkan dan perbedaan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dapat diakhiri. 

Baca Juga  Virus Komunis: Kita Harus Menjadi Jabariyah atau Qodariyah?

Ushul Fikih sebagai proses metodologis dalam menemukan hukum memiliki peran penting dalam menghadirkan kalender Islam global. Kajian kalender Islam global tidak bisa hanya memperhatikan aspek fikih dan sains semata, tetapi juga perlu mendialogkan aspek usul fikihnya sehingga jalan menuju penyatuan terbuka lebar. Kecenderungan kajian selama ini lebih kuat aspek fikih dibandingkan aspek ushul fikih. Hal ini sebagaimana dirasakan Taufik dalam artikelnya yang berjudul “Problematika Penyatuan Takwim Islam Internasional”.

Dalam mengkaji kalender Islam setidak-tidaknya ada enam hal yang perlu memperoleh perhatian bersama yaitu, pertama satu tahun berjumlah 12 bulan, kedua konsep hilal, ketiga konsep konjungsi (ijtimak), keempat persoalan hisab-rukyat, kelima umur bulan 29 hari atau 30 hari, dan keenam wilayah geografis.

Keenam unsur ini bersifat kumulatif, sehingga diperlukan kajian yang komprehensif. Di Indonesia, hampir setengah abad diskusi lebih terfokus pada unsur keempat dan keenam. Akibatnya, hingga kini belum ditemukan konsep dan definisi kalender Islam yang komprehensif dan dijadikan rujukan bersama. Berbagai definisi yang berkembang lebih mengarah pada pengertian kalender urfi. 

Sementara itu, Mohammad Ilyas mendefinisikan kalender Islam atau kalender hijriah adalah kalender yang  berdasar atas perhitungan kemungkinan hilal atau bulan sabit terlihat pertama kali dari sebuah tempat pada suatu negara. Sedangkan Basit Wahid, yang menaruh perhatian terhadap Kalender Hijriah menyatakan bahwa Kalender Hijriah adalah kalender yang didasarkan pada sistem kamariah semata. Satu tahun ditetapkan berjumlah 12 bulan, sedang perhitungan bulan dilakukan berdasarkan fase-fase bulan atau manazilnya. 

Dua definisi di atas menggambarkan cara pandang yang berbeda. Mohammad Ilyas lebih menekankan pada aspek visibilitas hilal tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lainnya. Disisi lain, Basit Wahid selain memperhatikan visibilitas hilal juga memasukkan unsur pertama bahwa setahun terdapat 12 bulan. Ini menunjukkan bahwa semua bulan sejak Muharram hingga Zulhijah diperlakukan dengan metode dan kriteria yang sama. Dengan demikian, umur bulan tidak melebihi 30 hari dan tidak kurang 29 hari. 

Baca Juga  Saya dan Nahdlatul Ulama

Lalu bagaimana peran ushul fikih dalam merumuskan kalender Islam global? Dalam ushul fikih dijumpai istilah maslahah mursalah dan maqasid asy-Syari’ah. Maslahah Mursalah merupakan nilai kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nas, sedangkan Maqasid asy-Syari’ah upaya memahami tujuan yang terdapat dalam nas. Dengan kata lain, maslahah mursalah tidak merujuk nas. Sementara itu, maqasid asy-Syari’ah bersumber pada nas. Kedua-duanya bisa dirujuk untuk mewujudkan kebersamaan dalam bingkai kalender Islam global. 

Berbagai ayat al-Qur’an menegaskan pentingnya persatuan dan ukhuwah Islamiyah. Oleh karena itu, perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah tidak hanya didekati pada aspek fikih semata. Apalagi perbedaan yang terjadi di luar bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah sebagaimana terjadi pada awal bulan Jumadil Akhir 1445. Secara teoritis awal bulan Jumadil Akhir 1445 sudah memenuhi kriteria Neo Visibilitas Hilal MABIMS (3,6.4). Namun dalam praktiknya sebanyak 27 lokasi pengamatan (33 Tim BMKG) di Indonesia dilaporkan tidak ada satupun yang berhasil melihat hilal. 

Hal serupa juga terjadi di Malaysia dan Brunei Darussalam tidak ada yang berhasil melihat hilal. Kondisi ini akan terus berulang jika konsep kalender Islam tidak diimplementasikan secara menyeluruh. Jika hal ini terus berlangsung, maka diskusi kalender Islam global dan ushul fikih perlu dilakukan secara berkesinambungan terutama keterpaduan enam unsur dalam sebuah sistem kalender Islam. Perubahan pola pikir dalam ormas tentu tidak semudah membalikkan tangan. Setiap ormas memiliki aturan main yang perlu dihormati. Setiap perubahan harus melalui mekanisme yang ditentukan. Misalnya, jika keputusan dihasilkan melalui Muktamar/Munas maka perubahan harus melalui Muktamar/Munas. 

Dalam konteks mewujudkan kalender Islam global, seyogyanya setiap ormas Islam dan anggota MABIMS merumuskan definisi kalender Islam. Langkah awal mengkaji ulang berbagai argumentasi dengan menggunakan pisau analisis ushul fikih, terutama pembacaan ulang konsep wilayatul hukmi yang diperluas (dari nasional-regional menuju global) dan penggunaan hisab imkanur rukyat dalam konstruksi kalender Islam global. Kehadiran kalender Islam global sebagai jalan tengah untuk menghadirkan kalender Islam yang mapan. Sekaligus upaya mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam peribadatan dan interaksi sosial.

Baca Juga  “Quo Vadis Ulil?” (4): Kritik Terhadap "Iqtishadiyah"-nya Ulil

Editor: Soleh

Avatar
47 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds