Perspektif

Pemilu 2024 dan Kepentingan Rakyat

4 Mins read

Artikel ini ditulis oleh dua orang penulis, yaitu (1) Hasnan Bachtiar, Peneliti di The Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation, Deakin University, Australia dan (2) Ahalla Tsauro, Alumni National University of Singapore

Pada Februari mendatang, Indonesia akan menghelat Pemilu yang ke-10. Namun, di saat hal ini secara ideal diyakini sebagai “pesta demokrasi”, kenyataan yang ada menunjukkan hal yang sebaliknya. Pemilu menjadi pesta yang secara terbatas dirayakan para elit politik, sedangkan rakyat hanyalah penonton.

Tentu terdapat perbedaan yang besar berkaitan dengan makna rakyat dalam kerangka berpikir demokrasi dan politik kekuasaan per se. Menurut sudut pandang demokrasi, rakyat mestinya merupakan pemilik asli kedaulatan negara. Sementara sebaliknya, politik kekuasaan tanpa perspektif demokrasi menjadikan rakyat sekedar pemilik suara namun tanpa kedaulatan. Yang terakhir inilah menjadikan rakyat tidak ikut berpesta.

Logika demokrasi perwakilan, di mana rakyat menitipkan suaranya kepada para wakilnya, akhir-akhir ini tampaknya tidak berlaku secara normal. Para wakil rakyat cenderung mengupayakan keputusan politik, membuat kebijakan dan berperilaku hanya berdasarkan pada kepentingan partai politik. Sementara itu, partai-partai politik sangat bergantung kepada kepentingan para elit partai dan pihak lain, terutama pemilik kapital.

Sistem dalam demokrasi perwakilan ini terkooptasi. Karena itu, berjalannya pemerintahan, tampaknya tidak terkait dengan kepentingan umum rakyat (volonté générale). Menurut perspektif kritis, keterpanggilan politik praktis, terutama bagi para calon pejabat, bergerak menuju pemenuhan kepentingan elit, bukan memperbaiki hajat hidup rakyat.  

Pilihan yang Sulit

Tentu dalam kondisi di mana demokrasi di tanah air tampaknya berjalan tanpa melibatkan demos, akan sulit menentukan pilihan dalam pemilu nanti. Tapi di antara ketiga calon presiden yang ada, misalnya, semuanya menjanjikan akan bekerja demi rakyat. Meskipun hal ini tampak sebagai hal yang bersifat jargonik ketimbang pembangunan demokrasi yang substantif, hal itu patut diapresiasi.

Baca Juga  NU dan Muhammadiyah: Kadang Mesra, Kadang Renggang

Pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar misalnya, berkomitmen untuk memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan akan menjamin kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi. Dengan jargon popular, “Wakanda no more, Indonesia forever”, mereka hendak mengevaluasi perilaku otoritarian dan despotik elit terhadap rakyat yang menyampaikan aspirasi kritisnya. 

Sedangkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, berjanji akan melanjutkan kebijakan pembangunan Presiden Jokowi yang mereka anggap mampu menjaga stabilitas ekonomi dan politik sekaligus. Dengan meningkatkan pembangunan ekonomi makro, mereka berharap akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD mencitrakan diri mereka sebagai teknokrat yang siap dan sigap melayani rakyat. Bahkan, slogan politik mereka merupakan simbolisasi dari perilaku bekerja cepat dan tuntas (sat set tas tes) untuk kepentingan rakyat.

Jelas, ketiganya menjanjikan sesuatu yang menguntungkan bagi rakyat. Rakyat adalah “bahasa bersama” bagi para pemain politik praktis yang diekspresikan melalui narasi dan retorika yang berbeda-beda dalam kampanye mereka. Namun, berdasarkan pengalaman yang ada, realisasi janji politik dan kepentingan rakyat yang sebenarnya, dianggap sebagai soal lain.

Inilah yang membuat pilihan politik rakyat menjadi sangat sulit, meskipun para calon presiden dan wakil presiden memiliki janji-janji politik sangat bagus. 

Kepentingan Rakyat

Sebenarnya yang menjadi kepentingan rakyat, sederhana. Meskipun, untuk mewujudkannya tentu tidaklah mudah. Rakyat mengidamkan kesejahteraan, keadilan dan kemerdekaan.

Untuk hidup sejahtera, rakyat harus terbebas dari kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin menurun dari 26,36 juta jiwa di tahun 2022 menjadi 25,90 juta jiwa di tahun ini. Artinya, terjadi penurunan kemiskinan 0,21% (dari 9,57% per 2022 menjadi 9,36% di 2023).

Tapi yang perlu dicermati, penurunan angka-angka ini tidak signifikan. Para pengangguran dan tuna wisma masih terlalu banyak, terutama di wilayah perkotaan. Mereka yang tidur di gerobak, di jalanan, di kolong jembatan, di bantaran sungai, dan di berbagai tempat yang tidak layak huni juga masih sangat banyak. Hal ini diperparah dengan masalah gizi buruk yang dialami oleh para keluarga miskin (sejak dalam kandungan).

Baca Juga  Dosa Kita Pada Palestina

Selain itu, berkaitan dengan kehidupan ekonomi rakyat sehari-hari, pendapatan ekonomi mereka cenderung stagnan, ketika harga-harga barang konsumsi semakin mahal. Di saat yang sama, lapangan kerja semakin sulit didapatkan. Sedangkan program UMKM pemerintah, tampak bukan seperti program yang mampu mendorong perubahan menuju kepada kehidupan yang lebih baik.

Selain bebas dari kemiskinan, rakyat juga menginginkan jaminan kesehatan. Dalam bidang kesehatan ini, terdapat peningkatan kualitas karena adanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tetapi secara praktis, penggunaan BPJS ini memiliki masalah yang rumit, terutama berkaitan dengan pembiayaan. Hal ini, kemudian berdampak pada pelayanan kesehatan secara konkret di rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.

Pasien yang mampu secara ekonomi, akan membiayai jaminan kesehatan mereka secara mandiri. Namun, bagi yang kurang mampu dan menggunakan BPJS, mereka dianggap berhutang pada negara dan negara berhutang pada rumah sakit. Akibatnya, pelayanan terhadap mereka yang berhutang, bukanlah pelayanan prima yang humanis dan bermartabat. Belum lagi masalah pembayaran BPJS mereka yang menunggak, karena memang masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Sedangkan untuk menikmati keadilan, penegakan hukum harus berjalan dengan baik. Kenyataannya, hukum hanya memihak kalangan elit ekonomi dan politik. Bahkan saat ini, dapat dengan mudah melihat betapa keadilan tidak diapresiasi sebelum viral di media sosial. Penegak hukum terkesan lamban dan tebang pilih isu jika tidak mendapatkan atensi publik. Terlebih, terdapat berbagai skandal penegakan hukum yang terungkap, yang melibatkan para pejabat tinggi negara.

Kasus penting lainnya yang dianggap mempengaruhi kesejahteraan sekaligus rasa keadilan adalah korupsi. Sekali lagi, penjahat-penjahat kelas kakap diduga dilindungi oleh kekuatan politik tertentu. Sementara itu, penentuan para aktor pemberantas korupsi (KPK) sangat ditentukan oleh kepentingan partai-partai politik. Agenda reformasi pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi pemanis belaka dibalik langgengnya praktik korupsi oleh para elit.

Baca Juga  Covid-19 Ladang Beramal

Di tengah sulitnya menggapai kesejahteraan dan keadilan, wajar jika rakyat kecewa. Tidak jarang ekspresi kritis mereka diungkapkan secara instan dan massif di ruang publik, yang difasilitasi melalui akses terhadap teknologi digital. Gerakan akar rumput yang organik tumbuh dengan sendirinya memenuhi lama sosial media melalui tagar khusus yang ditujukan untuk mengecam dan menuntut praktik ketidakadilan dan kecurangan.

Sayangnya, ungkapan hati dan pikiran mereka seringkali tidak dijawab dengan penyelesaian masalah. Lebih banyak, kekuasaan menunjukkan betapa mereka mampu membungkam berbagai suara kritis dengan berbagai cara. Termasuk, menciptakan berbagai regulasi hukum yang mengandung pasal karet yang dengan mudah digunakan untuk merampas kemerdekaan sipil.

Kemerdekaan sipil dalam menyuarakan pendapat menunjukkan bahwa kualitas demokrasi sedang berjalan mundur. Studi dari SETARA Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menunjukkan skor mengenai hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di Indonesia jadi yang terendah di tahun ini. Hal ini dilihat dari maraknya pelaporan kasus pencemaran nama baik oleh individu atau kelompok, khususnya para aktivis, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Inilah berbagai kepentingan rakyat yang selama ini belum terpenuhi. Ketika hal ini dihadapkan dengan janji-janji para elit politik, tentu saja bisa melambungkan harapan rakyat. Namun, di saat yang sama, hal ini sekaligus mengandung resiko kekecewaan yang berlipat-ganda.

Karena itu, berhadapan dengan ketiga calon pemimpin bangsa ini, mari kita tetap berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Mari kita memilih salah satu di antara ketiganya yang memiliki janji-janji politik yang cenderung lebih masuk akal untuk diwujudkan.

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds