Selasa tanggal 12 Maret 2024 kemarin, cuaca Kairo rasanya cukup sejuk. Di siang hari panasnya tidak begitu menyengat dan di malam hari dinginnya pun tidak menusuk. Sore ini, kawan lama menghubungi saya via WhatsApp. Dia mengajak saya untuk melaksanakan buka bersama. Jangan bayangkan buka bersama di sini harus pergi ke warung atau cafe ya, sore itu kami janjian untuk buka bersama di sebuah tempat buka gratis atau dalam istilah orang Mesir “Maidah al-Rahman”.
Kita memilih buka bersama di sekitar masjid Imam Dardir, sebuah kawasan padat penduduk yang banyak sekali orang berlalu-lalang. Kami segera berangkat ke tempat ini, karena waktu maghrib sudah sangat dekat. Dengan sedikit ngos-ngosan kita akhirnya mendapat jatah makan, meskipun di tempat yang mengharuskan untuk berdiri.
Azan Maghrib berkumandang, aku langsung menggigit kurma pemberian orang di jalan sekitar masjid Khadrawi. Kurmanya tidak begitu kering dan tidak benyek sampai lengket ke tangan, kurma yang cukup enak untuk membatalkan puasa hari ini. Selanjutnya kami langsung melahap hidangan buka puasa gratis ini, makanannya terdiri dari Nasi, Ayam Bakar, dan juga kuah berisi sayuran. Buka bersama ini bukan hanya momen saya dan kawan lama saya, namun ini seperti buka bersama dengan masyarakat Mesir, karena memang warga asing dan warga lokal campur baur melaksanakan buka bersama.
Setelah membatalkan puasa, kami menyempatkan diri untuk melakukan ramah tamah di sebuah kafe milik warga Indonesia. Tempat yang strategis serta disediakan tempat untuk melaksanakan salat. Setelah azan Isya berkumandang, kami melanjutkan perjalanan malam ini untuk melaksanakan salat Isya dan tarawih bersama. Tujuan kita malam itu adalah masjid Sayyidina Husein, sebuah masjid terkenal dan banyak dikunjungi oleh warga lokal maupun warga asing.
Tarawih di Masjid Sayyidina Husein
Saat di perjalanan menuju masjid, aku sempat terdiam sejenak melihat menara masjid Sayyidina Husein dari kejauhan. Menara yang menjulang tinggi, sinar lampu putih yang membuatnya megah, dan dikelilingi garis hijau yang makin membuat saya terkagum. Sejenak, pasca melihat pemandangan itu, ingatan saya terbawa pada sosok yang dimakamkan di sekitar masjid itu. Sosok manusia mulia yang memiliki prinsip utuh dalam menyampaikan kebenaran, sosok yang sangat dicintai oleh Rasulullah, sosok yang tak gentar untuk melawan kezaliman.
Saat memasuki kompleks masjid, aku melihat banyak sekali orang yang melaksanakan salat tarawih. Berbeda dari masjid al-Azhar yang sangat penuh, di masjid ini masih banyak sisi masjid yang lengang. Bentuk masjid ini terlihat melebar, bukan memanjang. Dihiasi dengan lentera atau al-misykah yang menggantung di langit-langit masjid, serta karpet masjid yang sangat tebal hingga membuat saya merasa begitu nyaman di ruangan ini.
Tarawih dilaksanakan mulai pukul 19.15 hingga 20.00, waktu yang relatif cepat untuk ukuran masjid yang ada di Mesir. Dan ternyata, jumlah rakaat salat tarawih di sini adalah 11 rakaat dan hanya diimami oleh satu orang saja. Pasca salat tarawih ada kajian multaqa al-fikr al-islamiy atau Pengajian Pemikiran Islam yang diadakan oleh Wizaratul Awqaf ya mungkin sama dengan Kemenag-nya Mesir, meski tidak tepat juga. Banyak orang yang berkumpul ke sekitar tempat pembicara menyampaikan pengajian itu, mereka duduk melingkar dan ada juga yang berdiri sembari mengangkat hp-nya untuk merekam.
Aku tidak mengikuti kegiatan itu, aku hanya melihat sejenak banner dan syaikh yang akan mengisi kajian itu. Ternyata ulama senior di Al-Azhar, yaitu Syaikh Umar Hasyim. Setelah itu, saya bergerak untuk melaksanakan ziarah ke makam Sayyidina Husein.
Ziarah ke Makam Sayyidina Husein
Saat memasuki kompleks makam, aku melihat kecintaan yang luar biasa besar dari warga Mesir pada Ahlul Bait. Itu terlihat dari raut wajah mereka yang berkaca-kaca saat melaksanakan ziarah ke makam Sayyidina Husein. Kecintaan itu sepertinya telah diwariskan oleh sesepuh mereka, karena aku melihat banyak sekali orang tua yang membawa putra-putrinya untuk ikut ziarah ke makam cucu Rasulullah ini. Mungkin dahulu mereka juga mendapatkan contoh yang sama dari orang tuanya. Contoh baik untuk selalu mengingat keluarga nabinya.
Ini bukan pertama kalinya aku datang berziarah ke makam Sayyidina Husein, namun setiap kali saya berziarah ke makam ini ada sebuah ingatan yang selalu hadir dalam pikiran saya. Ingatan tentang sosok Sayyidina Husein, cucu Rasulullah SAW yang syahid dengan mengenaskan di tanah Karbala. Sebuah bencana besar yang terjadi di tubuh internal umat muslim yang masih dirasakan saat ini. Saya merefleksikan diri dan berharap dengan dekatnya ku dengan makam ini, semoga kebaikan dan contoh yang diberikan oleh Sayyidina Husein dapat mengalir dalam kehidupan dan tingkah laku.
Makam ini nampak megah, dan cukup dingin karena dikelilingi dengan marmer di temboknya. Saya sebagai orang Muhammadiyah tentunya tidak terlalu memiliki pengalaman banyak soal ziarah. Namun saya juga bukan orang yang anti banget sama ziarah, karena bagi saya ziarah ini adalah aktivitas yang dapat mengguncang eksistensi. Dengan ziarah saya akan bertanya ulang tentang tujuan hidup, atau menjadi momen komunikasi dengan masa lalu, serta ajang untuk mengingat-ngingat kebaikan dari orang yang mendahului kita.
Kecintaan yang Tulus Orang Mesir kepada Sayyidina Husein
Setelah ziarah sekitar 10 menit, saya menyisiri jalan yang sesak dengan puluhan orang. Saat saya sampai di pintu keluar makam, ada orang Mesir yang berjalan dengan cara mundur perlahan, seolah dia ingin menyampaikan salam perpisahan dengan Sayyidina Husein. Saya kagum dan kaget melihat kejadian itu. Dengan mata berkaca-kaca, ia melambaikan tangan dan menaruh tangannya di dada dan keluar dari makam orang yang ia cinta. Hal itu menjadi bukti bahwa orang mesir memiliki penghormatan yang sangat tinggi pada Ahlul Bait Rasulullah Saw.
Contoh lain adalah dibangunnya masjid-masjid dengan sangat megah jika ada sebuah makam dari keluarga Nabi Muhammad Saw, salah satunya adalah Masjid Sayyidah Fathimah al-Nabawiyyah bin Husein, Masjid Sayyidah Aisyah binti Ja’far al-Shadiq, serta masih banyak masjid lain. Hal tersebut menunjukkan kecintaan yang besar dari orang Mesir pada keluarga Nabi Muhammad Saw.
Setelah berziarah, aku segera mengambil sandal yang terletak di rak, dan pulang dengan perasaan yang cukup lega. Ada perasaan yang cukup dirasakan saja oleh setiap orang yang melawati pengalaman spiritual yang mendalam. Logika tidak bisa menjelaskan ini dengan baik, hanya dengan hati yang bersih dan tulus rasa ini dapat dimengerti.
Aku banyak belajar dari kecintaan warga Mesir pada Ahlu Bait, kecintaan yang tulus, kecintaan yang sungguh dan serius. Hal itu akan selalu aku ingat, bahwa tidak ada orang yang melebihi cintanya orang Mesir pada keluarga Nabi Muhammad Saw!.
Editor: Soleh