Perspektif

Jadi Suporter Timnas Memang Melelahkan, tapi Harus Jaga Akhlak Juga

3 Mins read

Sepak bola Timnas Indonesia akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian mayarakat Asia , bahkan juga dunia. Hal ini terlihat dari peningkatan peringkat Federation Internationale Football Association (FIFA) secara signifikan yakni dari peringkat 142 menjadi peringkat 134 dunia. Meningkatnya kualitas permainan tim nasional Indonesia ditandai juga demham tembusnya Timnas ke babak 16 besar Piala Asia 2023 pertama kalinya dalam sejarah. Lebih lagi timnas berhasil melaju ke babak semifinal Piala AFC U-23. Walaupun harus mengakui keunggulan Timnas Uzbekistan dan berakhir meraih juara 4 di Piala Asia U-23. Ditambah lagi berpeluang untuk melaju ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Hal ini yang kemudian semakin menyedot atensi masyarakat Indonesia. Khususnya para suporter atau Ultras Timnas.

Ini bukan hanya menjadi kebahagiaan dan kebanggaan dari Presiden Indonesia, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), atau pemain tim nasional itu sendiri, melainkan seluruh masyarakat Indonesia telah menanti indahnya ukiran sejarah dan permainan tim nasional Indonesia.

Hasil gemilang timnas tersebut disambut riuh gembira oleh jutaan masyarakat Indonesia. Hal itu dibuktikkan oleh antusias untuk nobar (nonton bareng) Timnas Indonesia bersama pasangan, kerabat, keluarga, dan komunitas-komunitas yang ada di tempatnya masing-masing. Dukungan dan doa dari suporter setia Timnas Indonesia tersebut seakan juga menjadi bukti nyata bahwa nasionalisme bisa tertuang oleh siapa saja dan berbagai cara. Entah itu hasilnya menang, seri, atau kalah sekalipun sudah pasti dapat menghibur dan menjadi kepuasan tersendiri bagi siapapun yang menyaksikannya.

Namun, tetap saja terdapat oknum-oknum yang melegitimasi dirinya sebagai suporter setia Timnas Indonesia, akan tetapi hanya hadir disaat menang dan saat kalah tidak bijak menggunakan analisa dan narasinya di media sosial.

Baca Juga  Piala Dunia U-20, Umat Islam, dan Ramadan

Timnas Indonesia Kerasukan Timnas Belanda

Biasanya kita senang menyaksikan Manchester United, Real Madrid, Barcelona, dan banyak lagi tim lainnya di Eropa.. Tidak hanya menyaksikan sekali atau dua kali, tetapi setiap ada jadwal pertandingan dari tim yang kita idolakan pasti rela untuk begadang meskipun besoknya ada jadwal sekolah, kuliah, maupun kerja. Tapi tetap saja semarak itu berbeda ketika ada Timnas Indonesia bertanding, bagaimanapun permainannya, siapapun pemainnya, selaku tempat kelahiran dan bangsa tercinta kita akan mendukung secara sungguh-sungguh. Saat ini, euforianya berbeda karena permainan kolektif nan aduhai yang ditunjukkan oleh tim Garuda senior dan Garuda muda. Banyak yang bilang Timnas Indonesia sekarang sedang dirasuki oleh Timnas Belanda secara gaya bermain.

Kita harus akui salah satu faktor hal tersebut adalah kebijaksanaan yang diambil oleh Ketum PSSI, Erick Thohir dalam merawat relasi dan mencari bakat-bakat muda keturunan Indonesia yang bermain di kasta-kasta tertinggi Eropa. Mereka adalah keturunan Indonesia-Belanda atau Indonesia-Spanyol. Seperti Elkan Baggott, Jordi Amat, Justin Hubner, Thom Haye, Rafael Struick, Ivar Jenner, dan ragam pemain-pemain abroad keturunan Indonesia yang bermain di Liga Inggris dan Liga Belanda.

Mereka punya keinginan tulus untuk membela tanah kelahiran ayah, ibu, kakek, dan neneknya. Serta lebih lagi berkat komunikasi yang dibangun oleh Ketum PSSI tersebut. Walaupun bukan secara otomatis, tetapi melalui adaptasi singkat yang dilakukan oleh mereka bersama pemain lokal menjadi ramuan ampuh untuk menciptakan permainan menawan di atas lapangan hijau. Tak luput juga bahwa kesuksesan itu karena adanya Shin Tae Yong, pelatih yang ditunjuk oleh PSSI untuk meracik taktik Timnas Indonesia.

Moral Suporter di Media Sosial

Kemenangan Timnas Indonesia tidak luput dari sokongan moral dan emosional dari suporter di berbagai penjuru tanah air. Nyanyian, teriakan, dan doa merupakan dukungan yang tak akan pernah berhenti sampai kapan pun. Dukungan moral juga tidak pernah berhenti didengungkan oleh netizen melalui kanal-kanal medsos. Dengan segala hal yang diupayakan oleh pemain, masih ada kalimat-kalimat tak sedap melalui suporter-suporter tidak bermoral. Ada yang mengatakan, “Sudah ada pemain keturunan, kok belum bisa bawa trofi ya”, “Kalau hanya begitu, pemain lokal 11-12 permainannya dengan pemain keturunan”, “Sudah pakai pemain abroad kok masih kalah dengan tim-tim Asia”. Sangatlah miris melihat cibiran seperti itu di media sosial, artinya masih banyak orang-orang yang tidak bijak dalam memberikan dukungannya.

Baca Juga  Menepis Mitos Kampus Besar

Sasaran cibiran itu tidak hanya ditujukan kepada pelatih, bahkan kepada pemain-pemain lainnya. Padahal pelatih sehebat Joachim Loew saja membutuhkan waktu 10 tahun untuk membawa Timnas Jerman juara Piala Dunia. Perlu persiapan dan proses matang untuk melihat itu semua, dan seharusnya kita mensyukuri progres Timnas Indonesia sudah sejauh ini dengan proses yang ada. Baru-baru ini Marselino Ferdinan selaku pengguna nomor punggung 7 di Timnas Indonesia menjadi bahan hujatan netizen. Hal itu karena penampilannya yang kurang memuaskan saat Timnas Indonesia memperebutkan posisi ketiga di Piala Asia u-23 Qatar.

Marselino dijustifikasi sebagai pemain egois 150.000 komentar mengisi salah satu postingannya di Instagram, ada yang memberi dukungan, tapi mayoritas mengisinya dengan hujatan. Wajar saja mental pemain muda seperti Marselino agak terkesan egois di atas lapangan. Serta tugas utama untuk mengoreksinya ada pada Shin Tae Yong sebagai pelatih, bukannya suporter layar kaca yang tidak tahu situasi di lapangan.

Menang Bangga, Kalah Tetap Bersama

Definisi suporter bermoral adalah selalu mendukung, kala Timnas menang muncul rasa bangga, jika memang kalah tetap bersama mendukungnya. Sekalipun kritik sangat diperlukan, kritiklah menggunakan redaksi yang tepat dan jangan lupa tetap mendukung setelahnya. Karena niscaya mereka sudah memberikan kemampuan terbaiknya, mengorbankan banyak hal. Seperti meninggalkan keluarga mereka, pendidikan, bahkan merelakan anggota tubuh mereka yang sangat beresiko untuk cedera saat pertandingan.

Kedepannya suporter Indonesia harus menggunakan fanatisme sesuai dengan kadarnya, terutama bijak di ruang lingkup media sosial. Sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap dirinya, orang lain, terlebih lagi kepada pola permainan Timnas yang coraknya sudah mulai kelihatan. Dengan suasana media sosial suporter yang bijaksana dan penuh akan dukungan. Maka bukan tidak mungkin seterusnya Timnas Indonesia membuat kita lebih bangga dengan mengukir prestasi dan membawa pulang trofi untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Baca Juga  Kenapa Kedatangan Timnas Israel di Indonesia Perlu Ditolak?

Editor: Assalimi

Ahmad Faroch Alfarizi
2 posts

About author
Mahasiswa/Magister PAI Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds