Feature

Komitmen NU & Muhammadiyah dalam Melindungi Kelompok Minoritas dan Terpinggirkan

3 Mins read

Bicara mengenai kelompok minoritas dan terpinggirkan di Indonesia, adalah topik yang hari ini belum selesai untuk dituntaskan. Masih banyak PR dan persoalan. Dua golongan tersebut belum sepenuhnya mendapatkan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat kita. Sudah minoritas, lalu terpinggirkan pula. Seperti halnya sudah jatuh tertimpa tangga.

Intimidasi dan penetrasi kepada kaum minoritas adalah buah daripada pola pikiran yang intoleran dan ekstrimis. Anggapan bahwa yang berbeda berhak untuk ditindas dan tidak diberi ruang untuk bergerak dan diberi rasa aman serta nyaman sudah merengkuh nadi-nadi kehidupan kaum intoleran dan ekstrimis.

Kasus intoleran terhadap kaum minoritas yang cukup menyita perhatian publik ialah kasus penutupan patung Bunda Maria di Yogyakarta pada tahun 2023. Kasus itu terjadi di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yacobus, Kulon Progo, DI Yogyakarta.

Kasus itu bermula saat awal bulan puasa tahun 2023, sekelompok warga yang mengatasnamakan umat muslim di desa tersebut merasa keberatan jika terdapat patung Bunda Maria di dekat masjid. Lebih-lebih lokasi adanya patung tersebut berada di jalur menuju ke Masjid Al-Barokah . Tempat warga muslim setempat melaksanakan ibadah. Awalnya patung tersebut diminta dibongkar. Tetapi karena sang pemilik yang berdomisili di Jakarta tidak berkenan jika harus dibongkar, maka demi Kamtibmas, pihak kepolisian Kulon Progo meminta untuk ditutup terpal, sehari sebelum bulan puasa.

Jelas, kejadian tersebut menciderai keberagamaan bangsa kita. Siapapun berhak untuk mengekspresikan keagamaan mereka dengan aman dan nyaman. Terlebih pada momen Ramadan, sepatutnya menjadi momen untuk mengedepankan tasamuh dan tawazun.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ sebagai dua organisasi masyarakat (Ormas) yang memiliki basis masa terbanyak di Indonesia memiliki peran strategis. Apalagi, dua organisasi tersebut dewasa ini gencar mengkampanyekan Moderasi Beragama dan Islam Washatiyyah.

Muhammadiyah sebagai organisasi pengawal moderasi beragama juga gencar mengkampanyekan merawat bingkai keberagamaan di Indonesia. Hal itu terbingkai dalam Tanfidz Muktamar ke 47 di Makassar yang menyebutkan bahwa, “Berpijak pada Sunnah Nabi, Muhamadiyah juga memandang bahwa golongan yang besar atau mayoritas harus selalu melindungi dan menyayangi yang kecil dan minoritas. Demikian pula sebaliknya, kelompok yang kecil atau minoritas harus menghormati yang besar dan mayoritas. Karena itu, Muhammadiyah menganjurkan kepada seluruh institusi yang ada dibawahnya untuk selalu menjadi pelindung terhadap kelompok minoritas yang tertindas.”

Baca Juga  Menjadi Kaya dengan Menulis Buku?

Narasi tersebut, menyebutkan dua kata kunci, pertama bahwa Muhammadiyah senantiasa akan “Melindungi,” dan “Menyayangi,” kaum kecil dan minoritas. Jelas, ini penegasan bahwa kaum minoritas bukan hanya sekadar dilindungi haknya, tetapi juga berhak difasilitas dan didukung haknya secara setara sebagai warga negara.

Bicara perlindungan terhadap kaum minoritas, Muhammadiyah saya kira sudah khatam untuk mempraktekkannya. Dari segi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), baik itu pada bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah tidak pernah pandang bulu menolong golongan apapun.

Sebagai contoh, pernah ketika badai Covid 19 di tahun 2021, tim Muhammadiyah Covid-19 Command Centre (MCCC) di Kudus, Jawa Tengah mempraktekkan kerja-kerja tentang kemanusiaan dan keberagamaan. Tim pemulasaran jenazah MCCC Kudus yang tergabung pada Tim Kamboja membantu pemakaman pada Jenazah umat Kristen hingga tuntas. Tidak pernah terbesit apapun oleh tim sesaat ada panggilan untuk langsung menjemput salah satu jenazah yang meninggal di RS Mardirahayu, salah satu Rumah Sakit Kristen di Kudus.

Pada bidang pendidikan, Muhammadiyah juga gencar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa terhadap seluruh lapisan masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah masyarakat yang beragama non muslim.

Hal itu tercermin dari salah satu Universitas yang dimiliki Muhammadiyah di bumi Cendrawasih, Papua. Tepatnya di Sorong, Papua. Universitas Muhammadiyah (UNIMUDA) Sorong memiliki mahasiswa non muslim yang terdiri dari Kristen Katolik sebanyak 70 persen dari total mahasiswa yang ada di sana.

Mereka mendapatkan fasilitas yang sama dengan mahasiswa yang beragama muslim. Bahkan, mendapatkan fasilitas pengajaran yang sama. Terdapat mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan yang merupakan catur dharma Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah, dimodif sedemikian rupa agar lebih multiperspektif, serta dapat diikuti oleh mahasiswa dan mahasiswi dari agama Kristen Katholik.

Baca Juga  Hadiah UAH Untuk Saya

Begitu pun pula dengan Nahdlatul Ulama’. Organisasi masyarakat dengan jumlah anggota sebanyak 40 juta (versi SMRC tahun 2024) ini, juga tidak kalah heroiknya dalam mengawal keberagaman dan kemanusiaan.

Nahdlatul Ulama’ memiliki tokoh-tokoh yang malang melintang dalam dinamika perlindungan kaum minoritas dan terpinggirkan. Salah satu tokoh NU yang hari ini namanya harum sebagai pejuang kemanusiaan adalah K.H. Abdurrahman Wahid, atau dikenal dengan sapaan Gus Dur.

Presiden ke 4 Republik Indonesia itu juga kerap dipanggil sebagai “Bapak Pluralisme” di Indonesia. Warisannya tentang pluralitas dan kemanusiaan dikenang dan teruskan oleh murid-muridnya. Salah satu warisan pluralitas Gus Dur yang sampai hari ini diwarisi oleh muridnya adalah semangat untuk membela orang-orang Tionghoa.

Semangat membela kaum minoritas (baca: Tionghoa) tersebut bermula saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden. Saat itu Gus Dur membuat keputusan penting dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama dan Adat Istiadat Cina dan menerbitkan Keppres Nomor 19 Tahun 2001 yang salah satu poinnya adalah meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional,

Aksi ‘membongkar’ tembok diskriminasi lainnya mengenai kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan keyakinannya adalah menambah satu agama, yakni Kong Hu Cu. Sebelum Gus Dur menjadi presiden, jumlah agama di Indonesia hanya lima. Sejak beliau menjadi orang nomor satu di Indonesia, sejak itu agama Kong Hu Cu diresmikan sebagai agama yang diakui oleh negara.

Harumnya nama Gus Dur dimata etnis Tionghoa, sampai pada nisan Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur diberikan tiga jenis tulisan: latin, arab, dan mandarin.

Begitu lah tadi kisah-kisah haru biru dari best practice dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ dalam melindungi sekaligus memberdayakan kelompok minoritas terpinggirkan . Tentunya semangat pluralitas dan juga kemanusiaan perlu terus didorong dan dikampanyekan di bilik-bilik komunitas masyarakat.

Baca Juga  Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

Agar peristiwa-peristiwa intoleran dan penindasan terhadap kelompok minoritas terpinggirkan tidak terulang kembali di masyarakat kita. Indonesia ini terlalu mahal jika harus ada peristiwa intoleran yang pasti akan menciderai kebhinnekaan Indonesia. Karena Indonesia merupakan milik semua golongan.

*)Artikel ini merupakan hasil kerjasama dari IBTimes dengan INFID

Faiz Arwi Assalimi
15 posts

About author
Anggota Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fisipol UGM
Articles
Related posts
Feature

Kazan, Jejak Kejayaan Islam Tertua di Rusia

3 Mins read
Organisasi Internasional BRICS baru saja melakukan konferensi tingkat tinggi tahunan ke-16 nya pada bulan Oktober lalu. Pertemuan organisasi Internasional ke-16 tahun ini…
Feature

Terinspirasi Mesir, Kaum Mudo Minangkabau Merombak Cara Keberagamaan Lokal

3 Mins read
Pada pertengahan abad 19 M sampai dengan awal abad 20 M, dunia Islam mulai menunjukkan semangat revitalisasi untuk menjadikan Islam lebih modernis….
Feature

Da'i Agama yang Nir Adab

5 Mins read
Geger ucapan nir adab salah satu penceramah memunculkan pertanyaan mendasar, kok bisa seorang yang dianggap mengerti agama kadang bisa bicara kasar, kotor…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds