Feature

Buya Hamka dan Polemik dengan Kaum Adat Minangkabau Pertengahan Abad 20

3 Mins read

Adat dalam Minangkabau mengatur semua aspek kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat terikat dan tunduk kepada tatanan adat yang telah disepakati. Bersamaan dengan itu Islam juga membawa tatanan kehidupan manusia dalam berbagai hal, juga menuntut umatnya untuk mentaati dan melaksanakannya.

Agama dan Adat di Ranah Minang

Kedatangan Islam ke Ranah Minang menjadikan dua tatanan kehidupan (adat dan agama) berkombinasi di alam Minangkabau masing-masing menuntut kepatuhan dari umat. Keadaan itulah kelihatan membawa kepada persentuhan saling tarik menarik antara adat dan agama (Bakhtiar, Agus, & Murisal, 2005, p. 21). Kedatangan Islam bisa menyesuaikan hukum alam versi Minangkabau dengna sunnatullah (hukum/ketetapan Allah), dari hal ini terjadinya perpaduan dan sintesis antara adat dan Islam.

Adat Minangkabau pada intinya didasarkan pada akal, budi, yang berada pada ranah filsafat budi. Hal ini bertujuan untuk menata prilaku-sosial maupun individual agar sesuai hukum alam itu. Menurut Salmadanis, dengan masuknya Islam, tinggal memasukkan unsur teologi yang semuanya berpuncak pada ke-esaan dan ke-Maha Kuasa-an Allah (Bakhtiar, Agus, & Murisal, 2005, pp. 21-22).

Hukum timbul karena adanya masyarakat, dan Minangkabau dari luhak sampai ke Rantau adalah masyarakat adat dan masyarakat agama yang bersusila dan berprikemanusiaan, diungkapkan dengan sebuah falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (Yakub, 1995, p. 11).

***

Batasan pengertian hukum di atas adalah Batasan yang dibuat oleh Pemerintah Belanda, kemudian disalin ke dalam Bahasa Indonesia dan telah menjadi Batasan pula dalam hukum perundang-undangan Indonesia. Namun dalam pengertian hukum di Minangkabau Batasan itu telah ada sejak pemerintahan raja-raja di Minangkabau. Hanya sanksi pelanggaran hukumnya yang berbeda dari hukum Belanda (Yakub, 1995, p. 11), sebagaimana bunyi kalimat berikut:

Baca Juga  Kemurahan Hati Buya Hamka terhadap Pramoedya Ananta Toer

Tersebut dalam adat,

Balando babenteng basi

Minangkabau babenteng adat

Artinya sanksi hukum di Minangkabau tidak memasukkan orang ke dalam penjara melainkan dihukum sepanjang adat atau hukum moral:

Kuma basasah

Baabu bajantiak

Barubah basapo

Batuka baangsak

Kumal dicuci

Berabu dijentik

Berubah ditegur

Bertukar dianjak

Artinya adalah siapa saja yang belum menjalankan sanksi itu ia dibuang sepanjang adat, tidak dibawa sehilir semudik, berat tidak sepikul, ringan tidak sejinjing lagi dengan orang banyak, yaitu disingkarkan dari pergaulan, sampai ia membersihkan dari kesalahannya (Yakub, 1995, p. 12).

Kemudian ada falsafah berbunyi “Adat basandi syarak, syarak mangato adat mamakai”, dengan pemaknaan kekokohan tempat berdirinya adat Minangkabau yaitu agama Islam. Apa-apa yang diajarkan dan diperintahkan oleh agama Islam semuanya diadatkan di Minangkabau dengan penuh keyakinan.

Polemik Buya Hamka dan Kaum Adat Minangkabau

Berlanjut pada sebuah polemik pernah terjadi pada abad-abad ke-20, yang mana Buya Hamka pernah menghebohkan orang-orang Adat Minangkabau karena tulisannya yang berbunyi: “Yang tidak lapuk di hujan dan tidak tidak lekang di panas ialah batu. Dan batu itu sekarang sudah berlumut. Maka dia tidak tersimpan dan tetap berharga, baiklah kita masukkan dia ke dalam gedung arca (museum), di sana banyak teman batu itu, dalam berbagai-bagai bentuk” (Yakub, 1995, p. 68).

Itulah sebuah sinisme dari seorang ulama besar yang berpredikat Datuak, Buya dan Dr. yang hampir saja mencelakakan beliau, buku itu keluar pertama kali tahun 1946. Karena Hamka sendiri mengakui. “ninik mamak yang berpaham kolot dengan serta merta menyatakan kemarahannya, malahan ada pula yang bermaksud hendak menculik penulis, karena dipandang meruntuh adat”.

Nurdi Yakub berpendapat apabila sinisme Buya Hamka itu dikiaskan kepada adat yang telah dimuseumkan itu, batu penulis ialah batu mulia benar-benar tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas. Tidak pernah berlumut, makin diasah, makin mengkilap, kilau-kemilau di jari manis, makin dipakai makin cemerlang, bertahan sepanjang zaman.

Baca Juga  Memahami Tasawuf Modern Buya Hamka

Buya Hamka berbalik dari ancang-ancangnya dengan menulis sebagai berikut: “Hamka, bukanlah dia orang luar, tetapi anak Minangkabau sejati, keturunan orang beradat juga dalam suku Tanjung dalam negeri Sungai Batang dan memakai pula Sako/Pusako, Datuk Indomo. Pada mulanya penjelasan beliau tidak begitu saja dapat membela beliau, bahkan orang-orang adat menuduh beliau, “seorang penghulu suku adat telah berkhianat kepada adat lamo-pusako Usang Minangkabau” (Yakub, 1995, p. 68).

***

Kembali Hamka membuat pernyataan dalam sebuah tulisannya: “keelokan adat Minangkabau ialah pada susunan harta pusaka tinggi, seperti di Minangkabau dengan adanya pusaka tinggi itu menjamin hidup anak dan kemenakan. Di antara daerah-daerah yang tidak terlalu parah karena ancaman-ancaman kelaparan di zaman Jepang ialah Minangkabau karena sistem pusaka tingginya” (Yakub, 1995, p. 69).

Dengan demikian, terkait perbenturan tersebut sesuatu yang wajar karena adat diciptakan oleh manusia sebagai proses budaya sedangkan Islam adalah produk Tuhan. Kebenaran manusia bersifat nisbi (terikat waktu, kondisi, dan sosial budaya masyarakat itu berada), sementara yang datang dari Tuhan tidak demikian halnya, kebenarannya bersifat mutlak.

Meskipun demikian, perbenturan antara adat dan agama hanya dalam tataran sosial, sedangkan dalam masalah aqidah tidak ada persoalan karena adat tidak memberikan pengajaran terkait hal tersebut. Sehingga diberikan konklusi bahwa adat dan agama saling memiliki kesinkronisasian dan menjadi penguat suatu adat tertentu, namun pada sisi lain bisa menjadi “boomerang” terhadap eksistensi adat itu sendiri, jikalau tiada implementatif bagi masyarakat tersebut.

Editor: Soleh

Johan Septian Putra
41 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds