Oleh : Ferdiansah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah Jawa Timur (10/11) membuat gaduh publik terkait dengan larangan mereka dalam pengucapan salam terhadap penganut agama lain di ruang publik. Hal ini menuai pro-kontra di masyarakat, alih-alih berupaya mendamaikan dan menguatkan harmoni di masyarakat, MUI justru mengkonstruksi sekat-sekat baru di masyarakat yang sudah lama tertanam, meminjam bahasa Mohammad Abed Al-Jabiri, MUI telah mengkonstruksi nalar yang semu.
Sebagaimana dilansir oleh detik.com(11/11), MUI Jatim mengeluarkan maklumat terlampir nomor 110/MUI/JTM/2019 tentang tidak perlunya bagi umat Islam terutama pejabat publik menggunakan salam lintas agama. Bagi MUI pengucapan salam lintas agama bukan sekadar basa-basi, melainkan itu adalah doa. Maka dari itu, harus ada pemisahan dalam pengucapan salam (tidak boleh mengucapkan salam kepada agama lain), karena doa bagi mereka adalah ruang privat bukan ruang publik.
KH. Abdusshomad Buchori, selaku ketua MUI Jatim menyatakan, “Umat Islam cukup mengucapkan Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengucapan salam pembukaan dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan syubhat, yang tidak pernah ada di masa lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari (Ahmad Kamil: 2019). Hal ini berangkat dari hasil Rakernas MUI di NTB beberapa waktu yang lalu. Fatwa ini kemudian diafirmasi oleh MUI pusat untuk segera dijadikan landasan fiqhiyah bagi masyarakat.
Melihat kondisi ini, MUI secara tidak langsung menolak kemapanan yang sudah terbangun lama. MUI seakan-akan membangun konflik baru, padahal salam umat muslim adalah salam persaudaraan bagi umat yang lain. Secara historis, fatwa yang dimunculkan MUI seringkali kontroversial dan penuh tanda tanya, nalar MUI bagi saya mengandung paradigma klasik. Fatwa MUI tidak banyak melakukan rekonstruksi keilmuan terhadap kaidah-kaidah klasik yang menjadi pegangan umat islam.
MUI dan Fatwa-fatwanya
MUI merupakan lembaga penghasil fatwa yang seringkali menelurkan fatwa kontroversial, misalnya persoalan makanan, fashion bahkan hampir seluruh realitas manusia Indonesia ada dalam kerangka fatwa MUI. Idealnya kita sebagai masyarakat juga memiliki kesempatan dalam berijtihad, bukan hanya ulama MUI. Kita jangan segan-segan untuk mengkritisi dan memberikan narasi tandingan terhadap narasi MUI.
Dalam narasi MUI, terdapat Qoul Qodim dan Qoul Jadid pada setiap perjuampaan fatwa kontroversialnya. Misalnya ketika itu, terdapat penolakan terhadap layanan BPJS ketika KH. Ma’ruf Amin menjadi Ketua MUI yang menyatakan bahwa BPJS tidak memiliki landasan nilai-nilai syariah. Tetapi kemudian ketika menjadi Wakil Presiden, ia menghimbau untuk mengampanyekan BPJS dan menggunakannya sebagai jasa layanan kesehatan sosial Negara. Yang baginya mengandung unsur positif dalam membantu meringankan beban masyarakat.
Hal ini merupakan dua konteks kepentingan yang berbeda. Kemudian pertanyaannya, yang manakah yang akan kita gunakan? pernyataan yang pertama?, atau yang sesudahnya?.
Kasus tersebut menunjukkan bahwa MUI inkonsisten terhadap segala fatwanya. Dan hal ini seringkali membingungkan masyarakat. Sampai kemudian Gus Mustofa Bisri mempertanyakan, MUI itu makhluk apa? Karena berbagai faktor kontroversial yang melekat kepadanya. MUI secara eksplisit seakan-akan memiliki otoritas dan kuasa untuk bersikap dalam setiap persoalan umat Indonesia. Padahal jika ini terlalu dibuka lebar, maka MUI akan bersikap otoritatif yang mana efeknya kemudian banyak merugikan masyarakat muslim secara umum di Indonesia.
Kondisi ini akan lebih parah jika dibiarkan tanpa ada benteng dan upaya mengkritisi, maka akan terjadi praktik otoritarianisme di kalangan MUI yang kemudian berdampak langsung kepada masyarakat. Menyebabkan konflik sosial dan konflik lain yang tak berkesudahan.
Sudah saatnya MUI mawas diri, terkait dengan apa yang dilakukakannya. Jangan sampai karena alasan yang berdimensi teologis kemudian mengorbankan segala hal untuk memuluskan kepentingannya. Karena hal ini juga berdampak kepada kegaduhan publik. Meskipun MUI memiliki kekuasaan dan diberikan beberapa otoritas oleh Negara. Jangan sampai menyebabkan MUI salah kaprah dan terlalu melampaui yang bukan kewenangannya. Sudah saatnya MUI belajar menelaah dan membedakan, antara ruang publik dan ruang privat.
Relasi kuasa kepentingan dalam fatwa MUI juga menjadi hal yang harus direduksi. Meskipun kalau boleh jujur tidak ada satupun instansi atau lembaga di Indonesia yang bebas dari kepentingan. Semuanya memiliki kepentingannya masing-masing. Sehingga kita sebagai masyarakat sipil, harus berupaya mereduksi kepentingan fatwa-fatwa yang merugikan masyarakat.
*Peneliti Muda Institute of Southeast Asian Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta