Akhir-akhir ini wacana publik sedang dihebohkan dengan kebijakan memberikan konsesi peluang penambangan bagi ormas keagamaan, termasuk Muhammadiyah. Aturan yang “mendadak” diubah dan memasukkan ormas keagamaan sebagai bagian dari pihak yang bisa mengelola tambang mendapat berbagai kritik dan masukan.
Beberapa kalangan menganggap positif kebijakan pemerintah ini sebagai upaya memberikan peluang yang setara bagi semua anak bangsa untuk mengelola kekayaan negara. Berkaca pada pandangan “post-secular” yang mencoba mengkritik negara yang selama ini abai pada kelompok agama dan masyarakat pinggiran.
Dengan argumen yang sama, sebenarnya kita dapat melihat bahwa aturan konsesi tambang ini hanya akan memperluas rakyat kecil terkucilkan, karena harus terusir dari tanah yang mereka huni demi penambangan. Salah satu kelompok yang banyak terdampak adalah masyarakat adat. Karenanya, konsesi ini hanya akan memuluskan masyarakat adat terkucilkan di negerinya sendiri.
Bagaimana Sikap Muhammadiyah?
Lantas, bagaimana sikap Muhammadiyah? Sampai saat ini memang PP Muhammadiyah belum bersuara. Riak-riak personal dari berbagai tokoh sudah bergema. Ada yang mencoba mendukung dengan landasan kemaslahatan dan urgensi Muhammadiyah “memutihkan” bisnis tambang yang hitam. Namun, tak sedikit pula yang menolak dengan berbagai argumentasi keagamaan dan sains.
Sikap hati-hati dalam mengambil keputusan ini memang khas Muhammadiyah. Alih-alih langsung menerima atau menolak begitu saja, ormas ini terbiasa untuk mengendapkan ide, berdiskusi dan melihat dari berbagai sudut pandang. Jika kita membuka lembaran sejarah, kondisi seperti ini pernah terjadi dengan konteks yang agak berbeda, di masa Orde Baru.
Tekanan Pemerintah “Asas Tunggal Pancasila”
Tahun 1980-an, Presiden Soeharto memberikan instruksi agar seluruh organisasi kemasyarakatan yang berdiri harus menerapkan prinsip Asas Tunggal Pancasila. Tidak ada ideologi dan asas lain yang boleh ditegakkan.
Sontak kebijakan tersebut mengundang kontroversi, tak terkecuali dua ormas besar; NU dan Muhammadiyah. Keduanya sepakat menolak karena itu bertentangan dengan prinsip Islam. Apakah dengan demikian, asas Islam dalam ormas ini tergantikan dengan Pancasila?
Kiai As’ad Syamsul Arifin sampai diundang ke istana, tabayun dengan Presiden Soeharto. Setelah mendengarkan penjelasan presiden, Kiai As’ad dapat memahami bahwa asas tunggal Pancasila tidak menggantikan agama. “Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila,” kata Pak Harto.
Dengan demikian, NU pun menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Ini sebuah langkah besar, karena saat itu NU menjadi ormas pertama yang mengafirmasi pandangan pemerintah. Bukan tanpa hujatan dan celaan, banyak kiai-kiai yang mengkritik ijtihad NU saat itu. Karena konteks ini juga, Gus Ulil dalam salah satu tulisannya mengilustrasikan penolakan banyak pihak terkait konsesi tambang PBNU serupa dengan kondisi di tahun 1980-an itu.
Apa sikap PP Muhammadiyah? Dilema sekaligus menimbang dengan penuh seksama. PP Muhammadiyah saat itu dikomandoi oleh K.H. A.R. Fachruddin. Pak A.R. dikenal sangat dekat dengan istana. Kata Buya Syafi’i, “Pak Harto tidak dapat marah kepada Pak A.R.” Sebab meski dekat, Pak A.R. tidak terikat dengan istana. Ditawari rumah, mobil, dan harta, ditolak mentah-mentah. Karenanya Pak Harto menaruh hormat kepadanya.
Dilema Muhammadiyah: Islam versus Pancasila
Meski demikian, dalam hal “Asas Tunggal Pancasila”, Pak Harto senantiasa mendesak pandangan Muhammadiyah. Karena kebijakan ini juga, Muktamar yang seharusnya diselenggarakan tahun 1982 tertunda hingga 1985. Dilema Pak A.R. setidaknya disebabkan pada dua aspek.
Pertama, Muhammadiyah adalah ormas keagamaan, ia tegak berdasarkan asas syariat Islam. Namun, di sisi lain, Muhammadiyah adalah bagian integral dari bangsa ini. Bahkan para tokoh Muhammadiyah adalah orang yang terlibat dalam perumusan Pancasila, seperti Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimedjo dan Kahar Mudzakkir. Menolak Pancasila adalah tidak mungkin, dan menggantikan agama dengan Pancasila adalah hal yang mustahil pula.
Kedua, Pak A.R. juga menangkap kesan bahwa penerapan asas tunggal Pancasila hanyalah alat pemerintah untuk membatasi ruang gerak ormas-ormas yang ada di Indonesia agar sesuai dengan keinginan penguasa. Kala itu Pak A.R. menyaksikan sendiri, media diatur sangat ketat, harus sesuai dengan selera penguasa, jika tidak, izin dicabut, media ditangkap, ditahan bahkan dibredel. Mereka yang tidak sejalan dengan hasrat penguasa akan dikucilkan atau bahkan dipenjara.
Berkaca pada dua pertimbangan tersebut, cukup lama Muhammadiyah diam. Hingga tahun 1985, kala Muktamar akan berlangsung di Surakarta, Pak A.R. mengundang Pak Harto untuk membuka Muktamar. Namun, Pak Harto memberi syarat, hanya akan membuka perhelatan akbar tersebut jika Muhammadiyah menerima asas tunggal Pancasila.
Ijtihad Politik “Helm” Pak A.R.
Di sinilah kecerdasan Pak A.R. tergambarkan. Beliau tidak langsung menerima atau menolak, tetapi memberikan ilustrasi politik “helm”. Bahwa menerima asas tunggal Pancasila bagi Muhammadiyah itu seperti menggunakan helm.
Bagi pengendara motor yang berjalan di jalurnya, wajib menggunakan helm. Persis seperti itu juga Muhammadiyah memandang Pancasila. Dalam berpolitik, berbangsa dan bernegara, Muhammadiyah tegas berasas Pancasila. Tetapi dalam ber-Muhammadiyah, asasnya adalah ajaran Islam. Sehingga pada Muktamar Muhammadiyah ke-41, Muhammadiyah menyatakan menerima asas tunggal Pancasila.
Pasca keputusan tersebut, terjadi pro-kontra di kalangan warga. Banyak yang menolak dan menganggap bahwa Muhammadiyah telah keluar dari ajaran Islam. Beliau pun memberikan ilustrasi, “Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk melaksanakan salat Jumat. Dalam perjalanan ke masjid, jika menggunakan motor, perlu menggunakan helm. Itu aturan negara. Kalau tidak, melanggar hukum negara. Karena lewat jalur helm, saya menggunakan helm. Helm tersebut tidak mengubah Islam saya. Niat saya salat ikhlas mencari keridhaan Gusti Allah. Tapi helm adalah kewajiban sebagai warga negara yang harus saya taati. Jadi, anggap saja asas tunggal Pancasila itu sebagai helm”, tegas Pak A.R sebagaimana dinarasikan oleh Haidar Musyafa dalam bukunya “Pak A.R. dan Jejak-jejak Bijaknya”.
Kisah tersebut memberikan hikmah kepada kita betapa bijaksananya para pendahulu Muhammadiyah dalam menyikapi konflik kepentingan dengan pemerintah. Dari sudut pandang kebijakan publik, apa pun aturan pemerintah harus dikritisi dan ditimbang sesuai dengan kemaslahatan bersama. Di sinilah fungsi ormas keagamaan, menjadi oase di tengah kegamangan berpolitik.
Prinsip Wasathiyah ala Muhammadiyah
Ijtihad politik “helm” Pak A.R. sama sekali tidak mencederai nilai-nilai Muhammadiyah dan pemerintah pun tetap dapat menerima dengan bijak. Ini adalah sikap wasathiyah, moderasi yang digaungkan oleh Muhammadiyah. Sikap pertengahan bukan berarti abu-abu, tidak berpihak, atau justru sebagai “alat” untuk melanggengkan kekuasaan.
Kita pun patut mengkritisi semangat moderasi ala Pemerintah saat ini, seperti asas tunggal Pancasila kala itu. Jangan sampai ini menjadi alat untuk memukul mereka yang berbeda. Semua yang beragam dipaksa untuk seragam. Moderasi ala Muhammadiyah, sebagaimana dicontohkan Pak A.R. adalah sikap berpihak pada kebenaran pada jalur tengah.
Memang sulit untuk mempertahankan prinsip di tengah budaya permisif pada pragmatisme. Seolah idealisme harus digadaikan dengan dalih “kontekstualisasi” di lapangan. Karenanya spirit wasathiyah dalam menimbang keputusan ini bukan pada sikap abu-abu, tidak menerima atau menolak kebijakan. Tapi wasathiyah adalah sikap hati-hati dan berorientasi pada kebenaran yang hakiki.
Kalau pun menerima, maka argumentasi penerimaan itu harus didasarkan pada kemaslahatan besar yang hendak dicari dengan tidak mengabaikan madharat yang mungkin terjadi. Pun penolakan yang disampaikan, bukan sebatas menolak dengan kebencian tanpa ada substansi. Pokonya asal berbeda dengan pemerintah.
Muhammadiyah sebagai organisasi berkemajuan tentu tidak bersikap pragmatis semacam itu. Semua akan dan terus dipikirkan dengan penuh kematangan. Sikap inilah yang kita nantikan putusannya oleh PP Muhammadiyah.
Menimbang Menambang dengan Politik “Helm”
Melampaui menolak atau menerima, PP Muhammadiyah hari ini dapat belajar dari Pak A.R. Menyampingkan ego kepentingan elektoral maupun finansial, demi kepentingan komunal. Ada banyak hajat manusia yang bergantung pada penambangan. Memang ada yang mengais rezeki dari sana, tapi sangat banyak pula yang hidupnya dirampas hidup merana dari bisnis menggiurkan tersebut.
Berkaca dari pertimbangan Pak A.R., kita perlu mengkritisi kebijakan ini setidaknya dari dua aspek pula. Pertama, kaitannya dengan ajaran Islam. Apakah konsesi tambang ini sejalan dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan yang diiniasi oleh Muhammadiyah? Bagaimana pertimbangan sains dan pengetahuan modern terkait krisis iklim? Apa solusi Islam Berkemajuan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah, apakah dengan menerima pengelolaan tambang?
Kedua, kaitannya dengan conflict of interest. Sebagaimana asas tunggal Pancasila dulu digunakan untuk mengikat ormas, bukankah ada kekhawatiran jika tambang ini juga digunakan untuk meninabobokan gerakan sosial kemasyarakatan.
Di masa lebih awal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibuat oleh pemerintah sebagai sarana aspirasi umat Islam. Tentu semua umat Islam bahagia dengan kebijakan itu. Sayangnya, belakangan, MUI justru menjadi corong “fatwa” agar selaras dengan kehendak penguasa. Buya Hamka, yang juga tokoh Muhammadiyah, sebagai Ketua MUI pertama memilih mundur meninggalkan kekuasaan karena dorongan untuk mengubah fatwa yang bertentangan dengan prinsipnya.
Semangat kritis ini yang harus dijaga oleh ormas keagamaan. Bukan berarti ormas melawan pemerintah, tetapi ormas perlu menjaga jarak dengan kekuasaan. Terlalu dekat, apalagi bermesraan dan bekerja dalam satu lahan yang sama, akan membuat instansi berkemajuan ini sulit untuk selangkah lebih maju.
Teladan Para Pendahulu
Para pendahulu Muhammadiyah telah mencontohkan bahwa kedekatan dengan pemerintah tak boleh menggadaikan marwah Muhammadiyah. Karenanya, Ki Bagus Hadikusuma, melalui tulisan sang anak, Pak Djarnawi Hadikusuma dalam buku “Derita Seorang Pemimpin” menuturkan:
“Sering Ki Bagus mengungkapkan bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi. Artinya mewarisi tugas memimpin umat, amar ma’ruf dan nahi munkar. Meluruskan segala yang miring dan menempatkan kembali semua yang menyeleweng. Ulama tidak boleh hidup menyendiri sesama ulama atau berkumpul hanya dengan santri-santrinya, tetapi harus menjadi orang lapangan di tengah masyarakat. Perhatiannya wajib ditumpahkan ke seluruh aspek kehidupan masyarakat itu, sampai juga kepada bidang politik dan pemerintahan. Bukan untuk berpolitik, tetapi untuk meluruskan mana yang belum lurus atau sudah menyimpang.”
Lagi-lagi, kita belajar prinsip dasar dari tokoh bangsa ini. Jika dikaitkan dengan kondisi terkini, pesan Ki Bagus tersebut bisa disampaikan dengan ungkapan, “ulama perlu ‘melek’ dengan sains, teknologi, termasuk lingkungan dan krisis iklim. Bukan untuk terjun sebagai aktivis yang menyebarkan ideologi tertentu atau sebagai pelaku eksekutor hingga merusak lingkungan, tetapi terjun melihat, memantau dan memberikan masukan terhadap pengelolaan lingkungan yang kini kian jauh dari keseimbangan”.
Ulama harusnya menutup galian lubang tambang dengan keteladanan menjaga lingkungan, bukan justru ikut memperluas dan memperbanyak lubang yang mengancam kehidupan generasi mendatang. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh