Die Religion ist der Seufzer der bedrängten Kreatur, das Gemüth einer herzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustände ist. Sie ist das Opium des Volks. Penggalan kalimat yang Karl Marx tulis dalam A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right ini seringkali disingkat dan dialihbahasakan menjadi agama adalah opium.
Cukup kontroversial memang ungkapan diatas. Namun alangkah baiknya apabila kita merefleksikan kembali ungkapan Karl Marx tersebut. Apakah agama adalah opium? “Iya, agama adalah opium”, ujar Ali Syariati. Namun, agama mana yang Ali Syariati maksud?
Untuk itulah kita perlu menyelami kembali pemaparan Ali Syariati dalam kuliah yang ia sampaikan di Husayniyah Irsyad di Teheran pada lima dekade lalu.
Pada sesi kuliah tersebut, Ali Syariati mengajukan sebuah tesis yang cukup menggemparkan, yakni sepanjang sejarah manusia, agama telah berjuang melawan agama, bukan non agama.
Dalam membangun basis argumentasinya, Ali Syarati mengutip pandangan Alexis Carrel-penulis The Man Unknown-bahwa sesungguhnya sejarah masyarakat terstruktur menurut agama. Titik pusat setiap masyarakat adalah ketuhanan. Maka secara esensial, tidak ada peradaban yang hadir tanpa penjelasan keagamaan.
Manusia, dalam setiap zaman dan tingkat pikiran adalah makhluk beragama. Apa yang kita kenal hari ini sebagai ateisme dan agnotisme adalah konsep baru yang muncul setelah abad pertengahan.
Ali Syariati menarik kesimpulan bahwa sebenarnya agama terbagi menjadi dua macam, yakni agama monoteisme dan agama multiteisme. Kategorisasi ini bermula dari konflik Habil dan Qabil yang berlangsung sepanjang sejarah manusia.
Agama monoteisme adalah representasi pengikut Habil. Sedangkan agama multiteisme adalah representasi pengikut Qabil. Kedua macam agama ini saling berperang satu sama lain. Sebagaimana umat Islam yang pernah memerangi orang kafir.
Orang kafir bukanlah orang yang tidak percaya Tuhan. Mereka adalah orang beragama. Mereka mempercayai Tuhan, hanya saja Tuhan yang mereka percayai berbeda dengan keyakinan umat Islam.
Agama Revolusioner atau Agama Legitimasi?
Ali Syariati meyakini bahwa monoteisme akan melahirkan kesatuan alam dan kesatuan manusia. Tatkala kehidupan dipenuhi ketidakadilan dan ketidak-setaraan, maka agama monoteisme memiliki misi revolusioner guna menghapus keaadan yang sedemikian rupa.
Agama revolusioner mendidik insan yang beriman untuk memiliki kemampuan mengkritik kehidupan dalam seluruh aspek materil, spiritual, dan sosial.
Agama monoteisme memberikan misi dan kewajiban untuk mengubah apa yang tidak dapat diterima menjadi sesuatu yang diakui sebagai kebenaran. Dengan begitu, agama monoteisme pada mulanya merupakan gerakan melawan status quo.
Sebagaimana Nabi Musa AS yang melawan tiga simbol: Qarun sebagai simbol kapitalis, Bal’am sebagai simbol multiteisme, dan Fir’aun sebagai simbol politik otoritarianisme.
Sedangkan agama multiteisme adalah agama legitimasi yang selalu berupaya mempertahankan status quo dengan kepercayaan metafisika. Karena jika menggunakan paksaan fisik, status quo sulit dilestarikan.
Agama multiteisme membuat masyarakat menyerah dan puas bahwa apapun yang terjadi di kehidupan adalah kehendak Tuhan. Atas nama agama, masyarakat dipaksa percaya.
Tinta sejarah mencatat bagaimana Bal’am, Abu Lahab, para pendeta di era Dark Age, hingga para dukun di pedalaman yang berjalan beriringan dengan penguasa.
Bahkan dalam beberapa kasus, agamawan lah yang mengendalikan penguasa. Untuk itu, para agamawan multiteisme perlu memonopoli pengetahuan. Sebab mereka takut kepada masyarakat yang terpelajar. Karena jika pengetahuan maju, agama multiteisme dengan sendirinya akan hancur seiring dengan terbukanya kebodohan dan kebobrokan pada dirinya.
Intelektual itu Bernama Ali Syariati
Rasanya tidak pernah membosankan membaca lembar demi lembar gagasan Ali Syariati. Provokatif dan tajam. Laksana seorang intelektual yang begitu geram dengan kondisi sosial di sekitarnya.
Ia bangkit dan membangun argumentasi. Mencoba menyadarkan masyarakat akan kritisisme dan tanggung jawab yang diemban setiap insan. Hal itulah yang menurutnya tidak ada sejak era Dinasti Umayyah karena diperdaya dogma takdir dan nasib.
Ia begitu rapi dalam mendeskripsikan argumentasinya. Perpaduan antara pendekatan historis, filosofis, sosiologi hingga agama, menjadikan karyanya ini menjadi spektakuler.
Meski begitu, kita musti teliti dan selektif membaca setiap paragraf yang ia tulis. Nuansa aliran Islam yang ia anut masih terasa kental. Sesuatu yang mungkin belum bisa diterima oleh umat muslim kebanyakan, terkhusus umat muslim Indonesia.
Ia berupaya menyadarkan kita sebagai orang yang meyakini agama untuk melawan agama. Yakni agama multiteisme yang melestarikan legitimasi atas status quo. Yang meninabobokkan rakyat ditengah kehampaan pengetahuan. Yang membiarkan penindasan, ketidakadilan dan keserakahan berjalan atas nama agama. Yang menggunakan asma Tuhan demi kepentingan kekuasaan. Ya, agama yang harus kita lawan dan singkirkan adalah agama yang menurut Karl Marx sebagai opium.
Biodata Buku
Judul: Agama Versus “Agama”
Penulis: Ali Syari’ati
Penerjemah: Afif Muhammad dan Abdul Syukur
Penerbit: Pustaka
Tanggal Terbit: Juni 1994
Tempat Terbit: Bandung