Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read

“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)

Buku kumpulan cerpen (kumcer) dari Kuntowijoyo dengan judul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga berhasil menarik perhatian pembaca pada setiap zamannya. Kumcer keluaran penerbit Mata Angin ini memiliki 15 cerita pendek dan pada setiap cerita memiliki nilai moral yang dapat diambil. Para pembaca tidak perlu membaca cerpen sesuai urutan, membaca ceritanya dapat dilakukan dengan melompat-lompat pada sub judulnya.

Gambaran Kehidupan Menurut Buku Kuntowijoyo

Pada cerpen dengan judul yang sama dengan bukunya Dilarang Mencintai Bunga-Bunga memberikan gambaran mengenai dinamika kehidupan sosial. Mulai dari kehidupan masyarakat dengan kesibukan kesehariannya, hubungan keluarga, maupun hubungan sosial kita dengan tetangga. Kuntowijoyo menyajikan bagaimana kesan dikotomi cerpen nya sangat kuat diantaranya ialah pandangan hitam-putih, baik-buruk, anak kecil-orang tua, maskulin-feminin, kerja-asketis. 

Cerpen Kuntowijoyo yang terasa dengan dikotomi dua hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya berbicara mengenai hitam dan putih saja, masih ada abu-abu yang terselip diantara keduanya. Jadi, para pembaca ini adalah Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo.

Ikhtisar

Mengisahkan perjalanan hidup keluarga yang baru pindah dari desa ke kota. Harapan dari sang Ayah ketika pindah ke kota adalah agar anaknya mengenal hidup yang luas dan tidak terkurung dalam lingkungan dusun yang sempit. Ayah merupakan pekerja keras karena menurutnya malas adalah musuh terbesar laki-laki. Dari kesibukan tersebut Ayah menjadi orang yang tidak mengenal tetangganya sendiri.

Dekat rumah keluarga tersebut ada rumah besar akan tetapi penghuninya menutup diri. Rumah yang besar itu dihuni oleh Kakek yang hidup sendiri. Penasaran dengan rumah tersebut, akhirnya si anak mengintip rumah tersebut dengan naik ke pagar tembok melalui pohon kates. Anak tersebut menjadi kaget karena di dalam rumah tersebut banyak bunga.

Baca Juga  Islam Berkemajuan: Islamnya Masyarakat Global, Bukan Lokal

Sampai suatu waktu dimana Anak bertemu dengan Kakek begitu saja. Pada pertemuan pertama, Kakek memberinya bunga yang diselipkan ke tangannya. Akhirnya Anak ini menyukai bunga sejak saat pertemuan dengan Kakek. Akan tetapi Ayahnya memarahinya dan menghancurkan bunga tersebut.

Sejak saat itu, anak sering berkunjung ke rumah kakek dan pulang dengan membawa bunga. Bunga-bunga itu ia simpan di kamarnya. Hal ini membuat Ayahnya marah. Ia dan ayahnya akhirnya memiliki hubungan yang buruk. Anak lebih suka dan nyaman pergi ke rumah Kakek atau hanya duduk di kamarnya dan memandangi bunga-bunga. Hal ini membuat ayahnya marah, dan menyuruh anaknya untuk bekerja di bengkel pekarangan rumah. 

Problem Maskulinitas

Penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan alur cerita yang terkandung dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga ini. Bayangkan jika anda menjadi orang tua, kemudian anda memiliki anak laki-laki. Anak laki-laki anda memilih untuk bermain dengan bunga-bunga daripada bermain sepak bola ataupun layang-layang, bagaimana respon anda?

Konsep dan stereotip dari masyarakat yang mengakar dari dulu menganggap bahwa laki-laki harus kuat, tidak boleh lemah, cengeng. Laki-laki harus bekerja keras, tangan harus kotor tidak boleh bersih. Begitulah kira-kira dilema yang terkandung dalam cerpen tersebut. Tokoh Anak laki-laki tersebut lebih nyaman bermain dengan bunga-bunga. Jika kita menjadi anak kecil tersebut apa yang akan kita ambil dalam putusan tersebut.

“Bertanyalah tentang lokomotif. Jangan tentang kakek-kakek sebelah rumah” (hal 157)

“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyng. Kalau perempuan, bolehlah. Tetapi, engkau laki-laki” (hal 160)

“… laki-laki mesti diluar kamar!” (hal 166)

“Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, Buyung. Ayo, timba air banyak-banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja. Tahu!” (hal 175)

Baca Juga  Pemikiran Budi Hardiman: Aku Nge-Klik maka Aku Ada!

Penggalan dialog dari Ayah Dalam buku Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Kuntowijoyo, merupakan penjelasan bagaimana sisi maskulinitas yang ada pada dirinya sangat dominan. Karakter Ayah dengan sisi maskulinitas yang dominan membuatnya tampak seperti orang yang keras, pemarah, tempramen. Maskulinitas pada diri Ayah membuat jarak yang tegas antara dirinya dengan si Anak.

Menurut hemat penulis, perlu adanya keseimbangan antara karakter feminim dan maskulin. Mendefinisikan kembali perbedaannya sehingga tidak dipandang sebagai penghalang bagi keduanya merupakan langkah pertama dalam menyeimbangkan karakter feminin dan maskulin, antara laki-laki dan perempuan. Jika tidak dilakukan, maka hal ini dapat menjadi penghalang bagi kedua belah pihak untuk berpartisipasi mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Makna Hidup

“Jangan sedih cucu. Hidup adalah permainan layang-layang. Setiap orang suka pada layang-layang. Setiap orang suka hidup. Tidak seorang pun lebih suka mati. Layang-layang bisa putus. Engkau bisa sedih. Engkau bisa sengsara. Tetapi, engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi, engkau akan terus mengharap hidup. Katakanlah, hidup itu permainan. Tersenyumlah, Cucu.” (hal 169)

Hidup yang penuh misteri ini setiap orang berhak mencari makna hidupnya sendiri. Apakah makan hidup? Apakah di sisi lainnya adalah kebahagiaan? Dan apakah kebahagian itu? Pertanyaan-pertanyaan dalam hidup ini sering kita tanyakan dalam diri sendiri. Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga ini memberikan gambaran bahwa makna hidup orang berbeda.

Makna hidup dalam buku cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo juga dapat dilihat dari dialog Ayah ataupun Kakek. Saat Ayah yang sibuk dengan pekerjaanya, mengatakan bahwa laki-laki tidak boleh malas.

“Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakan besi perlu didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti, mesti, Buyung. Lihat tanganmu!” (hal 180)

Baca Juga  Vedi R. Hadiz: Muhammadiyah Embrio Civil Society di Indonesia

Berbeda dengan Kakek yang lebih mengutamakan nilai-nilai asketis dalam pandangan hidupnya. Kakek dengan kesehariannya merawat dan mencintai bunga-bunga memberikan kesan yang sangat berbeda dengan Ayah.

“Katakanlah, Cucu. Apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa?” (hal 168)

“… Katakanlah, tak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin, Cucu.” (hal 169)

“Kalau jiwamu tenang, perbuatanmu sopan. Kalau jiwamu gelisah, perbuatanmu kasar.” (hal 174)

Perbedaan Arti Hidup di Buku Kuntowijoyo

Perbedaan pandangan mengenai arti hidup antara Ayah dan Kakek mengingatkan penulis tentang kisah Alexander bertemu dengan Gymnosophist (Filsuf Telanjang). Pada intinya terjadi dialog yang menarik dari kedua tokoh tersebut.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Alexander

“Mengalami ketiadaan” jawab filsuf tersebut “Lalu apa yang kamu lakukan?”

“Menaklukan dunia” jawab Alexander

Akhirnya keduanya menertawakan jawaban yang mereka peroleh. Menurut filsuf telanjang yang dilakukan Alexander tidak ada artinya. Sedangkan menurut Alexander apa yang dilakukan filsuf telanjang merupakan hal bodoh.

Setiap orang memiliki pandangan hidupnya masing-masing. Apa yang ada dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga merupakan gambaran kecil dari setiap insan yang telah memiliki makna hidup. Lalu bagaimana dengan si anak?

Dalam buku Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Kuntowijoyo menyampaikan bahwa anak juga memiliki makna hidupnya sendiri, biarkan dia tumbuh dan memilih apa yang telah dipilihnya. Satu hal yang pasti ialah anak mesti berbakti kepada orang tua, anak juga memiliki kewajiban kepada orang tua. Seorang anak memiliki tanggung jawab, tidak hanya ketika ia masih muda, tetapi bahkan setelah orang tuanya meninggal dunia. Salah satu kewajiban tersebut adalah mendoakan mereka. 

Judul : Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Mata Angin
Tebal : 397 Halaman
Terbit : 2020
ISBN : 978-979-9471-26-0

Editor: Assalimi

Related posts
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds