Kasus kekerasan seksual, bullying, penyakit kulit, hingga kematian di pesantren semakin sering terekspos oleh media online dalam beberapa tahun belakangan ini. Meskipun pesantren tetap menjadi ujung tombak pendidikan Islam di negara ini, para orang tua harus tetap selektif dalam memilih pesantren untuk anak-anak mereka menuntut ilmu agama agar tidak terjebak dalam institusi dengan manajemen yang buruk, yang dapat menyebabkan masalah-masalah yang telah disebutkan.
Memilih pesantren sebagai tempat menuntut ilmu keagamaan Islam mirip dengan memilih pasangan hidup; kesalahan dalam pemilihan dapat membawa konsekuensi yang serius. Jika kita selektif dalam memilih pasangan karena mereka akan menjadi pendamping hidup, maka kita juga harus selektif dalam memilih pesantren, karena nilai-nilai yang diajarkan di dalamnya akan menjadi pegangan kita dalam menjalani hidup. Dengan pengalaman mondok di pesantren selama sembilan tahun, penulis ingin membagikan kiat-kiat memilih pesantren yang layak dijadikan tempat menuntut ilmu agama Islam.
Melarang Membaca Novel, Komik, dan Sejenisnya
Hal pertama yang harus ditelusuri dalam memilih pesantren adalah pandangan pesantren tersebut, terutama guru-gurunya, terhadap ilmu atau bacaan “non-Islam.” Meskipun mengklaim sebagai lembaga keislaman yang berlandaskan semangat membaca (Iqra’), tidak sedikit pesantren yang memberi cap “haram” terhadap komik, novel, dan sejenisnya. Tanpa memperdulikan isi bacaan tersebut, jika bukan Al-Qur’an, kitab kuning, atau buku keislaman lainnya, maka dianggap haram. Bahkan, kadang-kadang, meskipun sama-sama buku keislaman, jika berbeda madzhab atau aliran, tetap dianggap haram. Akibatnya, para santri menjadi bagaikan kura-kura dalam tempurung, dengan wawasan yang sempit.
Jika Anda menemukan pesantren yang demikian, saya sarankan untuk tidak memasukkan anak ke sana. Jika ingin anak memiliki wawasan yang luas, pilihlah pesantren yang memiliki pandangan yang juga luas. Dengan wawasan yang sempit, santri akan mudah reaktif dan intoleran terhadap hal-hal baru yang mereka temui, bahkan bisa terjebak dalam radikalisme.
Meromantisasi Minimnya Fasilitas dan Ketidakbersihan dengan Pahitnya Belajar
“Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan…” dan “Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu walau sesaat, ia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya…” adalah perkataan Imam Syafi’i yang sering dijadikan tameng untuk meromantisasi fasilitas pembelajaran pesantren yang sangat rendah. Saat sekolah-sekolah lain sudah memberikan fasilitas pembelajaran yang baik, pesantren masih mempertahankan “pahitnya belajar” dengan fasilitas yang tidak mengalami peningkatan signifikan tiap tahunnya. Tidak perlu berbicara tentang laboratorium sains atau bahasa; banyak pesantren yang perpustakaannya pun jauh dari kata layak. Bahkan, ada pesantren yang masih belum memiliki perpustakaan. Kalaupun ada, isinya tidak beragam seperti perpustakaan pada umumnya, hanya mencakup buku-buku keislaman tertentu.
Selain fasilitas, “pahitnya belajar” sering digunakan untuk meromantisasi ketidakbersihan lingkungan pesantren. Setiap kali ada santri yang terkena scabies atau penyakit kulit lainnya, seringkali diromantisasi bahwa belum sah menjadi santri jika belum merasakan gatal-gatal. Padahal, jika kita menggunakan ilmu pengetahuan dengan benar, gatal-gatal yang dialami santri umumnya disebabkan oleh gigitan hewan akibat lingkungan yang tidak bersih, bukan karena ujian kesungguhan belajar santri tersebut. Meromantisasi hal ini justru menunjukkan bahwa pesantren, terutama para gurunya, tidak mau mengintrospeksi diri dan menghindar dari tanggung jawab.
Memandang Sebelah Mata Orang Non-Pesantren
Penulis sering mendengar seorang guru di pesantren berkata kepada santrinya, “Kalau kamu berkelakuan buruk begitu, apa bedanya kamu dengan orang yang tidak mondok?” Sepintas kalimat ini terlihat biasa saja. Namun, jika direnungkan lebih jauh, terdapat cacat logika di sini, yaitu anggapan bahwa orang yang tidak mondok identik dengan perilaku buruk. Padahal, kita semua tahu bahwa tidak semua orang yang tidak mondok itu buruk, dan tidak semua orang yang mondok itu baik. Orang yang mondok bukanlah malaikat, dan orang yang tidak mondok bukanlah iblis; mereka sama-sama manusia.
Setiap santri yang berperilaku buruk seringkali disangkutpautkan dengan orang yang tidak mondok. Ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam cara berpikir. Sikap seperti ini bisa membuat santri yang sudah lulus atau bahkan yang baru mondok selama setahun menjadi bersifat eksklusif, suka menyalahkan, atau bahkan bisa saja mengkafirkan orang yang berbeda pandangan.
Kesimpulan
Jika Anda ingin memilih pesantren untuk menuntut ilmu keagamaan Islam, pilihlah pesantren yang tidak membatasi bacaan santrinya, tidak meromantisasi minimnya fasilitas dan ketidakbersihan lingkungan, serta tidak memandang sebelah mata orang non-pesantren. Jika sebaliknya yang terjadi—membatasi bacaan, meromantisasi fasilitas dan kebersihan, serta memandang rendah orang luar—lambat laun akan membuat santri kehilangan daya berpikir kritis.
Santri yang kehilangan daya berpikir kritis cenderung memandang seluruh perkataan dan perilaku para guru serta manajemen pesantren sebagai kebenaran mutlak. Pada akhirnya, hal seperti itu dapat mengakibatkan kasus-kasus kekerasan seksual, bullying, penyakit kulit, atau bahkan kematian. Sama halnya dengan memilih pasangan, memilih pesantren juga tidak boleh sembarangan.