Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa platform pinjol yang memang bebas dari riba, walaupun tidak bebas dari margin tambahan terhadap pinjaman. Sayangnya, literasi masyarakat Muslim pada umumnya masih cukup rendah terkait teknis dan makna riba. Barangkali—dalam hemat saya—8 dari 10 orang masih mendefinisikan riba sebagai “apa pun tambahan yang merugikan konsumen.”
Definisi ini sangat mereduksi pengertian riba yang sebenarnya. Namun, untuk menjelaskan definisi riba dan cabang-cabangnya secara komprehensif, dibutuhkan esai yang panjang. Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan menyoroti salah satu bentuk riba yang pengharamannya paling keras berdasarkan Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama dari semua mazhab. Menariknya, bentuk riba ini sering kali terjadi, bahkan pada platform kreditor yang sudah berlabel syariah.
Riba Jahiliyah, Praktik Riba yang Kian Marak di Era Modern
Dalam khutbah haji wada’, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
Alā wa-inna ribā al-jāhiliyyati mawḍū‘un, wa-awwalu riban aḍa‘uhu ribā al-‘Abbās ibn ‘Abd al-Muṭṭalib (Ketahuilah bahwa riba di masa jahiliyah telah dihapuskan, dan riba pertama yang kuhapuskan adalah riba dari Al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib) (HR Muslim No. 2068).
Hadis ini menggunakan istilah ribā al-jāhiliyyah, yang menunjukkan bahwa bentuk riba yang dilarang di sini memiliki sifat spesifik. Dalam fiqh, riba memiliki beberapa tipe. Menurut tipologi Ibn Rusyd dalam Bidāyat al-Mujtahid (jilid 3, hlm. 148), riba terjadi dalam dua praktik keuangan: pada jual-beli (ribā bay‘) dan pada hutang-piutang (ribā dayn). Dalam konteks hutang-piutang, terdapat dua jenis utama: ribā al-jāhiliyyah, yang menjadi sorotan tulisan ini, dan ribā ḍa‘ wa ta‘ajjal (mempercepat pembayaran utang dengan dalam bentuk barang bernilai lebih rendah dari nilai utang). Jika ribā ḍa‘ wa ta‘ajjal masih diperdebatkan kebolehannya oleh para fuqaha, ribā al-jāhiliyyah secara mutlak diharamkan oleh semua mazhab.
Ribā al-jāhiliyyah terjadi ketika seseorang yang berutang gagal membayar pada waktu yang ditentukan, lalu kreditor justru menambahkan pokok utangnya yang berimbas pada bunga dan jumlah tertagih yang lebih tinggi. Praktik ini terlihat seperti memberikan bantuan dana tambahan agar debitor dapat memutar kembali uangnya untuk melunasi utang lama dan baru. Namun, bahkan sejak zaman pra-Islam, model riba ini adalah sebuah praktik kezaliman, alih-alih membantu pemulihan ekonomi mikro.
Pada masa itu, banyak orang yang menjadi budak karena gagal membayar utang berkali-kali, sementara pokok utang terus bertambah hingga harta yang mereka miliki tidak lagi cukup untuk melunasinya. Lantaran tidak punya aset apapun untuk membebaskannya dari utang, maka kemerdekaan dialah yang menjadi alat bayar utangnya. Tidak mengherankan jika pengharaman ribā al-jāhiliyyah sangat keras, karena praktik ini jelas mencerminkan penindasan dengan konsekuensi yang sangat tidak manusiawi. Pengharaman ini juga sejalan dengan narasi utama Al-Qur’an untuk menekan perbudakan.
Di era modern, ribā al-jāhiliyyah bukanlah praktik yang sudah lenyap, melainkan justru semakin marak. Ironisnya, sering kali debitorlah yang mendorong dirinya sendiri ke dalam praktik ini, misalnya melalui pola gali lubang, tutup lubang. Dalam beberapa kasus yang saya temukan dari percakapan dengan korban pailit, beberapa di antaranya mengaku telah gagal bayar berkali-kali. Tetapi kreditor justru menawarkan tambahan pinjaman, alih-alih restruktursasi tagihan hutangnya atau penyitaan agunan. Akibatnya, bukan hanya pokok utang yang bertambah, melainkan juga bunga, margin, dan biaya tambahan lainnya.
Apalagi, banyak platform pinjaman online umumnya tidak menggunakan agunan aset sebagai jaminan pelunasan; lantaran kartu identitas sudah cukup menjadi syarat disetujui pinjaman. Yang lebih ironis, salah satu informan mengaku bahwa platform yang digunakannya adalah pembiayaan syariah. Ini menunjukkan bahwa label syariah tidak selalu menjamin praktik yang benar-benar bebas dari ribā al-jāhiliyyah, walaupun sudah bebas dari bentuk riba lainnya.
Proteksi Diri dari Riba Jahiliyah versi Modern
Dalam fiqh, telah disediakan instrumen seperti ḍamān (penjaminan) dan rahn (gadai) untuk mencegah praktik utang-piutang yang berujung pada kebangkrutan (muflis). Selain itu, konsep muflis dan ḥajr (larangan mengelola harta sendiri) seharusnya dapat menjadi alat untuk menguji kelayakan debitor.
Sebagai informasi tambahan, orang yang tergolong muflis adalah mereka yang memiliki utang yang nilainya melebihi aset yang dimiliki secara penuh. Dalam kondisi ini, seorang mahjūr (mereka yang dilarang mengelola harta sendiri, termasuk muflis di dalamnya) perlu mendapatkan persetujuan dari penanggung/manajer yang lebih kompeten sebelum permohonannya disetujui. Bahkan pengelolaan dana utangnya pun berada dalam pantauan penanggung tersebut.
Jika konsep ini diterapkan, maka orang-orang dengan potensi gagal bayar yang tinggi dapat dicegah dari mengambil utang secara serampangan, apalagi sampai terjerumus ke dalam ribā al-jāhiliyyah. Penting untuk diingat bahwa utang yang gagal bayar memengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemberi pinjaman dan regulator juga harus mengevaluasi produk dan praktik pembiayaan mereka agar ribā al-jāhiliyyah benar-benar lenyap, baik di platform pembiayaan syariah maupun konvensional.
Sebagai penutup, penting bagi kita semua untuk memproteksi diri dari praktik ribā al-jāhiliyyah, yang tidak hanya diharamkan secara tegas oleh syariah, tetapi juga membawa bahaya besar bagi kehidupan kita.
Editor: Soleh