Dalam ranah kebijakan, kurikulum perlu dirumuskan dengan matang dan hati-hati. Mengacu dalam istilah manajemen kurikulum pendidikan, kurikulum yang baik harus melewati proses perencanaan dengan berbagai tahapan. Mulai dari identifikasi kebutuhan peserta didik, tujuan pendidikan, materi yang relevan, dan lain sebagainya.
Salah satu kurikulum revolusioner yang pernah berlaku di Indonesia adalah Kurikulum Merdeka. Kurikulum besutan menteri Nadiem Makarim ini sendiri resmi berlaku di indonesia pada tahun ajaran 2022/2025. Gebrakan dari Kurikulum Merdeka terbilang sangat berani dan inovatif, sebab ia berfokus kepada peserta didik sebagai pusat pembelajaran.
Proses ideal dari penerapan Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran menjadi lebih relevan dan interaktif melalui kegiatan berbasis proyek. Selain itu, model pembelajaran di atas juga memberikan kesempatan secara luas bagi peserta didik untuk belajar sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya.
Hal yang paling sensasional tentunya ialah Kurikulum Merdeka, mengakibatkan terhapusnya Ujian Nasional. Sehingga penentuan kelulusan siswa lebih fleksibel dan tidak bergantung pada hasil ujian tunggal. Hal ini dipengaruhi oleh pendekatan model pembelajaran yang mengutamakan pembinaan dan pengembangan potensi siswa. Daripada memberikan hukuman seperti tinggal kelas atau bahkan tidak lulus sekolah.
Kurikulum Merdeka Banyak Keluhan
Melihat fakta di atas, fokus dari Kurikulum Merdeka fokus dirasa sudah sangat ideal dan sesuai untuk menyambut generasi indonesia emas. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa masih banyak sekali warga indonesia yang mengeluhkan keberadaan model pembelajaran ini?
Bahkan netizen banyak yang berbondong-bondong mengatakan bahwa penerapan Kurikulum Merdeka mengakibatka pendidikan di indonesia menjadi tidak waras, hancur, pendidikan indonesia menjadikan generasinya c(emas). (dilansir dari komentar netizen di salah satu postingan akun instagram kemdikbud).
Adanya pernyataan tersebut dikuatkan dengan fakta lapangan di salah satu sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka, dimana kondisi siswanya amat memprihatinkan. Minat belajar mereka menurun serta minim motivasi untuk mendapat pencapaian maksimal karena adanya anggapan bahwa nilai tidak lagi memengaruhi kenaikan kelas dan kelulusan.
Konsekuensinya, zona nyaman tersebut membuat mereka terkendala dalam berpikir logis dan memiliki hambatan dalam pemecahan masalah. Selain itu, tidak jarang juga siswa menjadi mudah menyerah jika terkena masalah dan tuntutan pembelajaran.
Kurangnya Pendidikan Karakter
Belum lagi dalam persoalan pendidikan karakter, rasa-rasanya masih jauh api daripada panggang. Sebut saja seperti siswa yang meragukan integritas seorang guru dengan menganggap dirinya paling superior. Bahkan tidak jarang banyak guru yang dipermasalahkan karena dalam mendidik siswa dianggap terlalu berlebihan. Padahal pada dasarnya hal tersebut masih dalam ranah tugas seorang guru yaitu mengajar dan mendidik.
Pertanyaannya ialah bagaimana Kurikulum Merdeka dengan cita-cita besarnya justru memiliki banyak kelemahan?
Jawaban pastinya ialah minimnya kesiapan dalam berbagai aspek untuk penerapan Kurikulum Merdeka tersebut. Hal ini disebabkan belum adanya sinkronisasi antar pemangku kebijakan yaitu pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tentang Kurikulum Merdeka. Selain itu, turbulensi penerapan Kurikulum Merdeka juga dipengaruhi oleh berbagai faktor turunan.
Faktor Kelemahan Kurikulum Merdeka
Faktor pertama ialah kesenjangan kualitas pendidikan antar wilayah. Situasi tersebut berimplikasi pada infrastruktur pendidikan, kesiapan guru dan tenaga pendidik. Sarana prasarana atau fasilitas sekolah yang terbatas menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan model pembelajaran. Sementara itu, masih banyak guru yang memiliki laptop atau gawai yang memadai dan akses internet yang terbatas untuk mengikuti pelatihan.
Kemudian faktor berikutnya ialah sumber daya guru dan tenaga pendidik. Beberapa guru tetap menggunakan metode tradisional yang tidak sesuai dengan prinsip Kurikulum Merdeka. Hal ini disebabkan oleh pelatihan dan pendampingan yang kurang memadai dari pemerintah lantaran tidak adanya panduan praktis yang cukup.
Dalam konteks ini juga, faktor kesiapan peserta didik dalam pemberlakuan model pembelajaran era menteri Nadiem juga disoroti. Salah satu hambatan terbesar implementasi kebijakan pembelajaran pada peserta didik ialah bagaimana cara merubah pola pikir siswa agar keluar dari zona nyaman.
Kemudian ada juga penilaian holistik dengan melakukan penilaian secara mendalam dan personal yang mencakup aspek akademik, karakter, dan keterampilan. Banyak guru merasa kewalahan karena jumlah siswa yang besar membuat penilaian tersebut sulit dilakukan secara mendetail.
Hari ini, pemerintahan baru telah resmi bekerja menjalankan tugasnya. Dengan melihat semua pertimbangan di atas, kiranya dapat menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan dalam penerapan kebijakan pembelajaran di masa mendatang.
Sebab, pendidikan merupakan modal utama untuk menuju bangsa yang besar dan maju. Itulah mengapa dalam Undang-Undang Dasar 1945, penyelenggaraan pendidikan dibebankan kepada negara untuk meningkatkan kualitas hidup dan membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Editor: Assalimi