Penangkapan dan pemenjaraan Wali Kota Istanbul terpilih, Ekrem Imamoglu pada hari Rabu 19 Maret kemarin, telah mengejutkan rakyat Turki dan internasional. Penahanannya minggu lalu, yang dianggap bermotif politik, memicu protes massal di seluruh negeri. Selama 6 tahun terakhir, Imamoglu telah dilihat oleh banyak orang sebagai ancaman politik terbesar bagi kekuasaan Erdogan di Turki. Selain İmamoglu, sekitar 100 tokoh oposisi lainnya juga ditahan.
Jaksa menuduh İmamoglu berpartisipasi dalam dugaan skema korupsi dan mendukung organisasi teroris. Ia membantah tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai “tuduhan dan fitnah yang tak terbayangkan,” sementara Erdogan pada hari Sabtu mengatakan bahwa Turki adalah negara demokrasi dengan supremasi hukum. Pekan sebelumnya, Universitas Istanbul mencabut gelar İmamoglu, yang merupakan persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Pada hari Minggu (23/03), Kementerian Dalam Negeri Turki mengumumkan bahwa ia diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai wali kota.
Banyak pengamat dan analis politik yang melihat penargetan langsung tokoh oposisi terkemuka tersebut sebagai langkah yang terlalu jauh, bahkan di negara tempat para politisi menghadapi ancaman rutin terhadap kebebasan mereka. Nilai lira Turki terhadap dolar AS (yang sudah 8 tahun terakhir kehilangan nilainya) turun 16,3% dalam 3 hari setelah penangkapan İmamoglu.
Meskipun pemerintah melarang pertemuan umum, ratusan ribu warga telah turun ke jalan, menuntut keadilan dan kebebasan politik yang lebih besar. Demonstrasi tersebut disambut dengan pengerahan polisi dalam jumlah besar, termasuk penggunaan gas air mata dan meriam air. Lebih dari 600 orang ditahan dalam protes oposisi terbesar selama lebih dari satu dekade terakhir. Protes yang kini telah berlangsung selama enam hari itu telah menyebar ke seluruh negara.
Demonstrasi tersebut didukung oleh CHP dan banyak partai politik, organisasi, dan asosiasi lainnya. Ratusan ribu orang berunjuk rasa di hampir semua kota di Turki (terutama di Istanbul, Ankara, dan İzmir), dengan kerumunan terbesar berada di depan kantor pusat Pemerintah Kota Metropolitan Istanbul. Kelompok mahasiswa memainkan peran utama dalam protes ini.
Siapa Imamoglu?
Ekrem Imamoglu lahir di dekat kota Trabzon di pesisir Laut Hitam pada tahun 1971. Ayah Imamoglu adalah pendukung partai sayap kanan, yang sayap mudanya Imamoglu ikuti sebentar, sementara ibunya adalah pendukung CHP. Daerah tempat ia dibesarkan bersifat konservatif, religius, dan mendukung partai-partai sayap kanan, termasuk AKP.
Imamoglu mengikuti kursus Al-Qur’an pada usia empat tahun dan belajar membaca Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Meskipun di kemudian hari ia menganut sekularisme, pendidikan agama dan Imamoglu di depan publik kemudian disebut-sebut sebagai faktor dalam kemenangannya sebagai wali kota Istanbul.
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Trabzon, Ekrem Imamoglu melanjutkan pendidikan teknik sipil di Siprus Utara, kemudian pindah ke Fakultas Administrasi Bisnis Universitas Istanbul dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2008, Imamoglu bergabung dengan CHP. Imamoglu, yang menyatakan dirinya sebagai anggota yang condong ke kiri, terpilih sebagai pimpinan pemuda partai pada tahun 2009, dan dengan cepat naik pangkat.
Karier Politik
Ekrem Imamoglu muncul sebagai kandidat mengejutkan untuk wali kota Istanbul, mengalahkan pesaing terkenal seperti Muharrem Ince. Dalam pemilihan, ia awalnya unggul tipis, tetapi keunggulannya menyusut setelah penghitungan ulang yang didukung pemerintah. Hasil ini dituntut Partai AKP karena alasan “kecurangan”, sehingga dewan pemilihan memerintahkan pemungutan suara ulang. Langkah itu menjadi bumerang bagi AKP.
Pemilih yang sebelumnya tidak memilih Imamoglu justru mendukung dia, karena marah dengan apa yang mereka lihat sebagai campur tangan. Dalam pemilihan ulang, Imamoglu memperoleh dukungan dari para selebritas baik di Turki maupun di luar negeri, karena tagar kampanyenya beredar di media sosial. Hasilnya telak, Imamoglu meningkatkan suara mayoritas dari 16.000 menjadi 800.000. Bahkan distrik-distrik yang dulunya dianggap konservatif dan condong ke AKP di ibu kota termasuk Fatih, Uskudar dan Eyup, berbalik mendukung Imamoglu.
Keberhasilannya dikaitkan dengan beberapa faktor. Dalam penampilan publiknya, Imamoglu memancarkan kepercayaan diri yang tenang dan karismatik. Kontras dengan gaya Erdogan yang marah dan menuduh, yang dianggap sangat mengendalikan rival kandidat AKP. Kedua, manajer kampanye Imamoglu, Ates Ilyas Bassoy, menganjurkan strategi “cinta radikal” yang menekankan persatuan daripada perpecahan, menyatukan orang-orang sekuler, religius, Turki, Alevi, dan Kurdi daripada memicu ketakutan sektarian.
Ketiga, dukungan yang diperoleh Imamoglu dari partai-partai konservatif dan Islamis yang lebih kecil, serta Partai Demokrasi Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi sangat penting. Hal ini menyebabkan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi partai yang sebelumnya dianggap meremehkan kaum konservatif dan menindas hak-hak Kurdi.
Terakhir, kampanye tersebut berlangsung dengan latar belakang krisis ekonomi yang telah berkecamuk sejak 2018, yang menghancurkan standar hidup banyak orang di Turki dan menggerogoti dukungan bagi AKP. Hasilnya adalah kemenangan bagi Imamoglu yang membuat pendukung AKP yang setia memilih wali kota muda tersebut, menjungkirbalikkan asumsi tentang polittik di negara tersebut.
Dukungan yang Tidak Surut
Dalam pemilihan pendahuluan calon presiden CHP di Turki pada hari Minggu (23/03), setidaknya 15 juta orang berpartisipasi dalam rangka menunjukkan dukungan mereka. Imamoglu sebelumnya mengundang anggota non-partai untuk memberikan suara guna “menyatakan perjuangan mereka untuk demokrasi”. Lebih dari 13 juta orang yang bukan anggota partai CHP menyatakan dukungan mereka kepada Imamoglu.
Demonstrasi telah menyebar ke lebih dari 55 dari 81 provinsi di Turki. Aksi ini telah menjadi sarana bagi berbagai keluhan lainnya mengenai meningkatnya otoritarianisme dan krisis ekonomi yang berkepanjangan di negara tersebut. Meski pemerintahan telah mencoba menghentikan demonstrasi, dimana 4 media massa yang meliput demonstrasi dikenakan denda besar, tidak ada tanda-tanda bahwa demonstrasi akan mereda.
Penangkapan Ekrem Imamoglu telah menjadi simbol perjuangan yang lebih luas bagi demokrasi Turki. Selama bertahun-tahun, telah terjadi kekhawatiran yang meningkat tentang erosi lembaga-lembaga demokrasi, kebebasan media, dan independensi peradilan di Turki.
Kasus Imamoglu telah menggalang dukungan dari berbagai segmen masyarakat. Beberapa pihak juga menduga bahwa penangkapan ini adalah bagian dari manuver Presiden Erdogan yang tengah mempersiapkan suksesi kepemimpinannya. Karena batasan masa jabatan, Erdogan tidak dapat mencalonkan diri lagi pada tahun 2028 kecuali ia mengubah konstitusi.
Editor: Soleh