Di Amerika Serikat dan Inggris, hampir separuh anak dari keluarga berpenghasilan rendah gagal keluar dari kemiskinan saat dewasa. Di Kanada, sepertiganya. Di Indonesia, angka itu melonjak lebih tinggi: menurut Kementerian Sosial tahun 2024, 64,46% anak dari keluarga miskin yang menikah dalam kondisi serba kekurangan akan mengikuti jejak orang tuanya.
Seperti itulah genealogi kemiskinan: tampak sistemik, sering disangkal, tetapi nyatanya terus diwariskan. Ketika seseorang memutuskan menikah dalam kondisi miskin, lalu memiliki anak di tengah kekurangan, kemiskinannya tidak hanya bertahan. Tetapi bisa berubah wujud menjadi derita yang orang lain pun tak tega menyaksikannya—apalagi mencicipinya.
Realitas ekonomi menunjukkan bahwa untuk bisa hidup layak di Indonesia, seseorang perlu paling tidak Rp1,02 juta per bulan. Meski hanya cukup untuk membayar dua kali makan siang buffet di hotel bintang lima Jakarta, angka tersebut adalah standar menurut BPS tahun 2024. Jika seseorang hidup dalam rumah tangga miskin dengan rata-rata 4–5 anggota keluarga, angka itu tak lagi cukup. Garis kemiskinan nasional pada September 2024 sebesar Rp2,8 juta per rumah tangga per bulan. Di DKI Jakarta, untuk hidup setara garis kemiskinan, satu rumah tangga harus memiliki Rp4,2 juta. Benar-benar jangan menikah jika belum bisa menembus angka-angka ini, karena Anda hanya akan membuka krisis berantai.
Yang Terjadi jika Ngotot Menikah
Psikolog Teresa Gil, dalam Women Who Were Sexually Abused as Children: Mothering, Resilience, and Protecting the Next Generation tahun 2018, menunjukkan bagaimana kemiskinan merusak struktur dasar kepercayaan diri seseorang, menjadikan mereka tak punya pilihan, dan menciptakan relasi orang tua–anak yang renggang. Anak-anak dari keluarga miskin juga lebih rentan menjadi korban pengabaian, kekerasan, dan pelecehan—bukan karena orang tuanya jahat, tetapi karena mereka kelelahan, frustrasi, dan bingung dengan kehidupannya sendiri.
Kemiskinan juga melemahkan tubuh. Karr-Morse, Robin dan Meredith S. Wiley dalam Scared Sick: The Role of Childhood Trauma in Adult Disease tahun 2012, menunjukkan bahwa tekanan psikososial akibat hidup dalam kekurangan dapat memicu serangkaian penyakit: depresi, kecemasan, PTSD (gangguan stres pascatrauma), diabetes, gangguan jantung, gangguan pernapasan, dan kanker. Dalam kondisi seperti itu, apa yang bisa diwariskan orang tua miskin kepada anak-anaknya selain luka yang sama?
Bila menikah dan punya anak dalam kondisi miskin, seseorang sedang mengambil risiko untuk menyakiti anak-anak mereka secara tidak langsung. Setiap orang tua ingin memberikan yang terbaik, tetapi keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Dalam kemiskinan, orang tua dipaksa memilih antara dua kutukan: bekerja keras dan meninggalkan anak-anak, atau tinggal di rumah dan membiarkan kebutuhan hidup anak tak terpenuhi. Lebih baik Anda tetap lajang, bekerja keras, keluar dari kemiskinan, baru menikah.
Jika ngebet kawin dalam keadaan miskin, ujung-ujungnya adalah kebingungan, jika bukan penyesalan. Lebih buruknya lagi, ekspresi dari kebingungan ini sering muncul dalam bentuk kemarahan (anger issue). Tak sedikit orang tua miskin yang, menurut Gil tahun 2018, akhirnya menjadi pelaku kekerasan terhadap anak karena merasa tak punya cara lain untuk melampiaskan tekanan hidup yang menghimpit. Kekerasan tersebut kemudian bisa saja dilegitimasi sebagai cara mendidik yang “pas” untuk anak-anak kelas bawah.
Menunda Menikah, Menunda menjadi Miskin?
Menunda menikah dan punya anak sama sekali bukan bentuk egoisme atau kemalasan, melainkan keputusan etis. Menunda pernikahan jika masih miskin adalah keberanian dan keterusterangan: “Aku tidak ingin menjerumuskan pasanganku ke dalam jurang kebinasaan; aku pun tidak ingin anakku mewarisi penderitaan yang kualami.”
Menunda juga bukan berarti menolak cinta atau keluarga. Menunda berarti memberi waktu pada diri sendiri untuk tumbuh, bekerja, belajar, dan menciptakan ruang yang lebih aman dan layak bagi anak yang kelak akan datang.
Menikah dan memiliki anak bukan sekadar soal kesiapan emosional, tetapi soal tanggung jawab struktural, sosial, sekaligus spiritual. Begitu seorang anak lahir, ia akan menghadapi dunia yang asing—dan orang tuanyalah yang pertama bertanggung jawab membekalinya dengan standar-standar yang ada, termasuk standar material. Kemiskinan menunjukkan ketiadaan bekal, jika bukan malah membebani perjalanan hidup seseorang.
Penulis Inggris berdarah Rusia, Eli Khamarov, pernah menulis, “Kemiskinan itu seperti hukuman atas kejahatan yang tidak Anda perbuat.” Untungnya, kita bisa menghentikan siklus ini dengan keputusan bijak: menunda menikah saat miskin. Kita bisa mulai dengan langkah sederhana namun krusial – tunda pernikahan dan punya anak hingga mencapai level sejahtera versi BPS, agar tidak terperangkap dalam lingkaran kemiskinan turun-temurun.
Editor: Assalimi

