Transformasi konsep-konsep kesalehan dalam Islam yang diterjemahkan dalam gerakan sosial dan filantropi yang saat ini berkembang tentu memiliki makna tersirat yang kuat. Sebagai sebuah konsep, tentu filantropi bukanlah sesuatu hal yang baru. Namun dialektika antara konsep Islam dengan persoalan sosial ekonomi dan politik yang berkembang dewasa ini menyajikan kepada kita semua satu fenomena yang barangkali tidak terbayangkan sebelumnya. Gerakan filantropi pada dasarnya adalah bagian dari masyarakat sipil, kerap berbasis komunitas kecil, dan dikelola oleh kelompok dengan identitas tertentu. Inisiatif dan falsafah yang dikembangkan dari sebuah gerakan filantopi adalah kemandirian (self-relience), memperkuat persaudaraan, dan kemitraan yang berbasis kerelawanan dan kerelaan untuk mendorong kemaslahatan dan kesejahteraan. Aktivisme filantropi yang menjadi bagian dari gerakan sosial di berbagai komunitas Muslim, tentu tidak bisa dilepaskan genealoginya dari model respons masyarakat Muslim terhadap globalisasi, kapitalisme, geo-politik internasional, dan masalah-masalah domestik dari sebuah negara. Seiring itu pula, filantropi Islam tidak hanya menjadi fenomena domestik, melainkan menjadi sebuah fenomena global dan menjadi bagian apa yang disebut Jonathan Benthall dengan “International Aid System” (Benthall 2007). Kini banyak pula keterlibatan negara dalam bukan hanya memberikan regulasi tetapi juga ikut mengelola dan memanfaatkan dana-dana filantropi.
Gerakan filantropi Islam dewasa ini banyak beririsan dengan masalah-masalah pembangunan yang mencakup berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan ekonomi dan isu-isu kesejahteraan yang sebetulnya merupakan bagian atau domain dari sebuah negara. Namun demikian, tidak semua negara mampu memenuhi kewajiban kepada warganya. Negara yang memiliki fungsi untuk membuat regulasi dan kebijakan guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atau meningkatkan kualitas hidup warga negara, kerap tidak bisa memenuhi kewajibannya karena berbagai keterbatasan. Di tingkat domestik, masih banyak kelompok miskin yang belum masuk dalam skema kesejahteraan negara, seperti layanan pendidikan yang baik, layanan kesehatan yang standar, konsumsi gizi yang memadai, dan pendapatan ekonomi yang masih sangat terbatas atau malah terjadi kesenjangan.
Dalam konteks sosial politik yang lebih luas, termasuk dalam merespons berbagai konflik di dunia internasional, banyak juga persoalan-persoalan ketidakadilan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim di Timur Tengah yang kerap menjadi korban dari ‘proxy-wars’ negara ‘Adi Daya’ yang setidaknya telah menggugah dimensi etik kelompok Islam untuk membangun solidaritas sosial mereka. Oleh karena itu, tidak heran, bila kemudian banyak studi-studi yang dihasilkan dalam 10 tahun terakhir yang melihat filantropi Islam sebagai satu bentuk resistensi, perlawanan politik dan bahkan ‘terorisme’ (Benthall 2003; Flanigan 2006; Burr & Collins 2006; Kroessin 2007). Dalam konteks ini pula, gerakan filantropi Islam kerap dipandang sebagai ‘kawan’ ataupun ‘lawan’ oleh berbagai pihak.
Bagian Pertama: https://ibtimes.id/etika-islam-dan-semangat-filantropisme-1-pendahuluan/
Bagian Kedua: https://ibtimes.id/etika-islam-dan-semangat-filantropisme-2-etika-islam-dimensi-ekonomi-dan-semangat-filantropisme/
Editor: Soleh

