Opini

Jargon Nun Wal Qalami dan Pena yang Mengubah Takdir Pelajar

4 Mins read

18 Juli merupakan waktu yang bersejarah dalam perjalanan organisasi besar di tingkat pelajar berlambang pena, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Organisasi otonom Muhammadiyah ini telah menjadi ruang pertumbuhan bagi pelajar Muslim yang tidak hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual, tetapi juga spiritualitas dan keterampilan hidup.

Sesuai dengan tujuannya, “Membentuk pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil, dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam, serta mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,” IPM di usianya ke-64 tahun berhasil membuktikan perannya sebagai pilar utama pengkaderan pelajar. Banyak tokoh bangsa yang hari ini menempati posisi strategis di bidang pendidikan, politik, sosial, dan keagamaan lahir dari rahim IPM. Mereka bukan hanya alumni, tapi buah nyata dari proses panjang kaderisasi.

Semboyan yang Menghidupkan

Masih berbicara soal kebermanfaatan. Saya berasal dari bagian timur Indonesia, tepatnya di Kota Mamuju. Terlahir dari keluarga sederhana, ada keraguan besar dalam benak saya saat hendak lulus Sekolah Dasar—apakah saya bisa melanjutkan sekolah?

Jarak rumah ke sekolah sangat jauh, dan saat itu organisasi Muhammadiyah belum begitu dikenal. Sebagian masyarakat masih memandang Muhammadiyah sebagai ajaran yang asing, bahkan dicurigai menyimpang dari tradisi spiritual yang selama ini mereka anut. Namun di pusat kota telah berdiri masjid sederhana yang menjadi pusat dakwah Muhammadiyah.

Di sanalah saya menemukan cahaya pertama. Seorang kakak yang telah lebih dahulu menjadi marbot masjid Muhammadiyah mengajak saya tinggal di masjid dan melanjutkan sekolah di dekatnya. Kesempatan itu saya ambil tanpa ragu, karena inilah satu-satunya jalan.

Kajian-kajian rutin di masjid mulai memperkenalkan saya pada gerakan Muhammadiyah. Perlahan saya masuk ke IPM. Dari Taruna Melati 1 dan 2, hingga jenjang perkaderan lainnya, saya ikuti semua. Tahun 2014 menjadi momen penting ketika saya diamanahi menjadi Ketua Umum IPM Mamuju, hingga kemudian mendapat kepercayaan sebagai pimpinan wilayah IPM.

Baca Juga  Daeng Munawar Khalil di Mata Para Sahabatnya

Sejak saat itu, batik kuning dan jas IPM menjadi identitas saya. Dan semboyan “Nuun Wal Qolami Wamaa Yasturuun” bukan sekadar penghias kata penutup pidato. Kalimat ini menjadi nyawa bagi perjuangan saya. Ayat ini bukan slogan kosong; ia adalah janji Tuhan tentang kekuatan pena dan tulisan. Ia menjadi sumber keyakinan bahwa dengan pena dan ilmu, masa depan bisa diubah.

Mewujudkan Harapan dalam Kegelapan

Hingga masa akhir sekolah di Madrasah Aliyah pun saya kembali diselimuti kekhawatiran: apakah bisa lanjut ke perguruan tinggi? Di tengah keterbatasan ekonomi, harapan terasa semakin tipis. Impian untuk kuliah seolah pupus, seragam abu-abu terasa menjadi batas akhir perjalanan pendidikan saya.

Namun Tuhan bekerja melalui tangan-tangan kader. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah saat itu hadir membawa angin perubahan. Atas dasar pengabdian dan kontribusi dalam menghidupkan IPM di daerah, saya ditawari program beasiswa kader di berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah.

Itulah titik baliknya. Saat semua jalan tampak buntu, IPM membuka jalan terang. Saya mendapat kesempatan kuliah—kesempatan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. IPM tidak hanya memberi ruang untuk tumbuh, tapi juga jembatan untuk masa depan yang lebih baik. IPM bukan sekadar organisasi, ia adalah tempat menemukan kembali harapan.

“Nuun Wal Qolam”: Pena yang Mencerdaskan

Semboyan “Nuun Wal Qolam Wamaa Yasturuun” (QS. Al-Qalam: 1) tidak muncul begitu saja. Ia dipilih sebagai semangat gerakan karena maknanya yang dalam: bahwa pena dan tulisan adalah fondasi ilmu, dan ilmu adalah cahaya peradaban. Dalam konteks IPM, semboyan ini menjadi pengingat bahwa pelajar bukan hanya agen perubahan, tetapi juga pewaris tradisi intelektual Islam yang luhur.

Baca Juga  IBTimes.ID Dukung IPM untuk Giatkan Olahraga di Kalangan Pelajar

Pena menjadi alat perjuangan—baik melalui tulisan, diskusi, maupun narasi-narasi perubahan sosial. Lewat pena, pelajar IPM menulis sejarahnya sendiri. Melalui pena, pelajar IPM menyampaikan suara keadilan, kebenaran, dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Di era digital seperti hari ini, semboyan ini semakin relevan. Media sosial, blog, bahkan ruang diskusi publik menjadi ladang baru bagi kader IPM untuk menebar nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Literasi menjadi kekuatan utama, dan semboyan “Nuun Wal Qolam” menjelma menjadi pedoman dakwah berbasis pengetahuan dan teknologi.

IPM dan Tantangan Zaman

Tantangan yang dihadapi pelajar saat ini jauh lebih kompleks dibanding masa-masa sebelumnya. Arus informasi yang deras, tantangan degradasi moral, budaya instan, serta krisis iklim dan kemanusiaan membutuhkan respons cerdas dari pelajar Islam. Di sinilah IPM memainkan peran penting sebagai benteng moral dan intelektual.

IPM tidak boleh berhenti hanya sebagai pelengkap kegiatan sekolah atau organisasi pelajar biasa. Ia harus menjadi ruang dialektika—tempat lahirnya ide-ide segar, kritik sosial, dan solusi peradaban. Maka, kaderisasi harus terus diperkuat. Program-program literasi, advokasi pelajar, penguatan akidah dan akhlak, serta gerakan sosial berbasis komunitas harus terus dijalankan.

Pena Penyongsong Generasi Emas

Dalam usia ke-64 ini, IPM dihadapkan pada satu tugas penting: menyiapkan generasi emas Indonesia 2045. IPM harus hadir di tengah geliat bonus demografi, memberikan jawaban atas persoalan pendidikan, lingkungan, radikalisme, serta kesenjangan sosial.

IPM masa kini dan masa depan adalah IPM yang progresif dan responsif. IPM yang tidak hanya bangga dengan sejarahnya, tetapi juga siap menulis sejarah baru. IPM yang tidak hanya mewarisi semboyan “Nuun Wal Qolam,” tetapi menjadikannya sebagai kompas gerakan dan perubahan.

Baca Juga  Indonesia Berkemakmuran, Kemakmuran untuk Semua

Refleksi Pribadi dan Ajakan

Sebagai seseorang yang tumbuh dan dibesarkan oleh IPM, saya adalah saksi bahwa organisasi ini tidak hanya mendidik, tapi menyelamatkan. Menyelamatkan dari keterputusan akses pendidikan, menyelamatkan dari kehilangan arah, dan menyelamatkan dari kegelapan masa depan.

Saya mengajak kepada seluruh kader IPM di mana pun berada, jangan ragu untuk terus berkarya. Jangan malu mengenakan batik kuning dan jas IPM di ruang publik. Jangan gentar berbicara di forum-forum akademik, sosial, dan dakwah. Jadikan pena sebagai senjata, ilmu sebagai tameng, dan akhlak sebagai identitas.

IPM dan Pena Pemberi Jalan Terang

IPM telah menjadi bukti bahwa sebuah gerakan pelajar bisa memiliki dampak luar biasa, bahkan mampu mengubah hidup seseorang secara total. IPM adalah tempat di mana banyak anak-anak desa menemukan harapan. IPM adalah tempat di mana keberanian ditempa, dan idealisme dirawat.

Di hari Milad ke-64 ini, mari kita jaga semangat “Nuun Wal Qolam” tetap menyala. Jadikan IPM sebagai laboratorium peradaban—tempat lahirnya pelajar-pelajar berkarakter, berilmu, dan siap menjadi pemimpin masa depan.

Selamat Milad IPM ke-64. Teruslah menyinari Indonesia dengan cahaya ilmu dan akhlak! IPM Jaya!

Editor: Assalimi

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *