Opini

Membedah Konstruktivisme Mitologis, Menyaring Kebenaran dari Klaim Pengalaman Mistik dalam Islam

4 Mins read

Mistisisme selalu menjadi bagian dari pencarian manusia akan makna terdalam kehidupan. Dalam berbagai tradisi agama, pengalaman mistik dipandang sebagai puncak spiritualitas, momen ketika manusia merasa berhubungan langsung dengan realitas transenden. Namun, filsafat kontemporer mistisisme menantang pandangan bahwa pengalaman ini bersifat universal dan bebas dari pengaruh luar. Richard H. Jones dalam tulisannya On Constructivism in Philosophy of Mysticism, mengajukan gagasan bahwa pengalaman mistik selalu dibentuk oleh bahasa, budaya, dan mitologi dari tradisi yang dianut seorang mistikus. Artinya, tidak ada pengalaman mistik yang sepenuhnya murni, selalu ada bingkai kultural dan naratif yang mewarnainya.

Di sisi lain, banyak Muslim modern menghadapi kebingungan epistemologis tentang bagaimana membedakan pengalaman mistik yang benar-benar bersumber dari realitas transenden dengan interpretasi subjektif yang terwarnai mitologi? Masalah ini penting karena ketidakjelasan ini dapat menimbulkan klaim-klaim pribadi yang berisiko menyesatkan, atau sebaliknya, mengabaikan nilai penting narasi Qur’ani yang membentuk pengalaman spiritual.

Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Knowledge and the Sacred, pengalaman mistik Islam tidak bisa dipisahkan dari wahyu Qur’ani, yang membentuk kerangka makna pengalaman tersebut. Ia menekankan bahwa tanpa bimbingan wahyu, pengalaman mistis rawan jatuh pada subjektivitas. Persoalan konstruktivisme dalam mistisisme Islam bukan sekadar perdebatan akademis, tetapi menyangkut cara Muslim memahami dan memaknai pengalaman spiritual mereka. Dengan membahas konstruktivisme mitologis dari perspektif Islam, kita dapat memahami bagaimana konstruktivisme mitologis dapat membantu muslim memahami pengalaman mistik secara lebih kritis, menghindari jebakan relativisme dan penyalahgunaan, serta menjaga otentisitas spiritualitas Islam.

Konstruktivisme Mitologis dan Risiko Salah Tafsir

Konstruktivisme dalam filsafat mistisisme berpandangan bahwa pengalaman spiritual tidak terjadi dalam ruang kosong, melainkan selalu dikonstruksi oleh kerangka konseptual yang dimiliki seseorang. Bahasa, simbol, dan mitologi berperan penting dalam memberi makna pada pengalaman tersebut.

Baca Juga  Zoroaster: Agama Samawi dan Ahlul Kitab yang Terlupakan

Richard H. Jones menekankan bahwa pengalaman mistik, meskipun sering diklaim universal, tidak bisa dilepaskan dari narasi internal tradisi masing-masing. Seorang Buddha, Kristen, atau Muslim mungkin mengalami fenomena spiritual yang serupa secara fenomenologis, tetapi makna yang mereka berikan akan sangat berbeda sesuai kerangka mitologis mereka.

Menurut Ibn Arabi dalam bukunya Futuhat al-Makkiyah, pengalaman batin dipahami melalui bahasa simbolik yang berasal dari wahyu dan budaya spiritual seorang Muslim. Ia menjelaskan bahwa alam imajinasi (al-khayal) bertindak sebagai jembatan antara realitas transenden dan kesadaran manusia, sehingga pengalaman mistik selalu dibingkai oleh simbol dan mitologi tradisi.

Dalam konteks Islam, mitologi Qur’ani dan hadis membentuk lanskap konseptual seorang Muslim dalam memahami pengalaman mistis. Kisah-kisah para nabi, deskripsi tentang malaikat, Isra’ Mi’raj, atau alam ghaib memberi titik referensi yang kaya untuk memaknai pengalaman spiritual.

Misalnya, seorang Muslim yang merasakan pengalaman kedekatan dengan Tuhan mungkin menggambarkannya sebagai “merasa berada di hadirat Allah” atau “dibukakan hijab hati”, merujuk pada terminologi tasawuf. Demikian pula, pengalaman dzikir atau muraqabah selalu diinterpretasikan dalam bingkai ajaran Qur’an dan sunnah, bukan netral secara budaya.

Tanpa kesadaran ini, Muslim berisiko salah menafsirkan pengalaman mistik mereka. Fenomena ini terlihat pada klaim-klaim spiritual yang bertentangan dengan syariat atau bahkan menghasilkan ajaran baru. Sebaliknya, ada juga kecenderungan untuk menganggap semua pengalaman mistik sama saja di semua agama, yang justru mengabaikan peran wahyu Qur’ani sebagai penuntun utama dalam Islam.

Validasi dalam Islam: Menjaga Otentisitas Spiritual

Islam mengakui adanya realitas transenden yang absolut, disebut al-ghayb, yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh indra manusia tetapi diyakini sebagai kenyataan yang objektif. Namun, cara manusia memahami dan menafsirkan pengalaman terhadap realitas ini tak terlepas dari kerangka budaya dan bahasa.

Baca Juga  QS Al-'Ankabut Ayat 46: Landasan Dialog Lintas Agama

Menurut Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din, pengalaman kasyf atau penyingkapan batin harus diuji kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan sunnah, agar terhindar dari ilusi atau bisikan hawa nafsu. Pengalaman mistik yang bertentangan dengan syariat bukanlah wahyu, melainkan bayangan pikiran yang menyesatkan. Dengan kata lain, Islam tidak menolak adanya konstruksi pemaknaan, tetapi tetap menegaskan bahwa sumber pengalaman spiritual sejati adalah realitas ilahi yang obyektif.

Mitologi Islam sendiri tidak dapat dipandang semata sebagai konstruksi manusia. Narasi Qur’ani tentang nabi, malaikat, dan alam gaib adalah bagian dari wahyu, bukan hasil imajinasi kolektif. Inilah yang membedakan konstruktivisme mitologis dalam Islam dari tradisi lain, bahwa konstruksi dalam Islam bertumpu pada wahyu, sehingga memberikan kerangka pemaknaan yang otoritatif. Pengalaman spiritual Muslim tidak hanya dibentuk oleh budaya, tetapi juga diarahkan oleh panduan wahyu untuk menghindari kesesatan interpretasi.

Pendekatan ini menawarkan keseimbangan. Di satu sisi, ia mengakui bahwa pengalaman spiritual selalu diinterpretasikan melalui lensa tertentu. Di sisi lain, ia mempertahankan keyakinan bahwa lensa tersebut bukan sekadar ciptaan manusia, melainkan warisan dari wahyu ilahi. Dengan perspektif ini, konstruktivisme mitologis dapat dipahami tanpa mereduksi realitas transenden menjadi sekadar konstruksi budaya.

Menuju Kesadaran Epistemologis

Di era modern yang ditandai oleh pluralitas keyakinan dan narasi spiritual, konstruktivisme membantu kita memahami mengapa pengalaman mistik tampak beragam di berbagai tradisi. Tidak ada pengalaman spiritual yang berdiri bebas dari konteks budaya, termasuk dalam Islam. Namun, perspektif Islam memberikan kerangka epistemologis untuk menjaga otentisitas pengalaman spiritual, dengan menegaskan bahwa konstruksi mitologisnya bersumber dari wahyu ilahi, bukan sekadar konsensus budaya.

Menurut Abdul Qadir al-Jilani dalam bukunya Futuh al-Ghaib, cahaya wahyu membentuk kesadaran spiritual yang benar, menuntun manusia melampaui kegelapan interpretasi subjektif. Ia mengingatkan bahwa pengalaman mistik harus selalu dipahami dalam kerangka ajaran wahyu agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan.

Baca Juga  Femisida: Kekerasan Berbasis Gender Bikin Resah Gen Z

Menggabungkan konstruktivisme dengan pandangan Islam membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam yaitu pengalaman mistik merupakan pertemuan antara realitas transenden dengan narasi simbolik yang kita warisi. Narasi Qur’ani membentuk cara umat Muslim memahami dan memaknai kedekatan dengan Tuhan, sekaligus memastikan bahwa pemaknaan ini tidak jatuh ke dalam relativisme. Kesadaran ini penting agar kita mampu membedakan antara pengalaman subjektif yang dikonstruksi dan kebenaran objektif yang menjadi sumbernya.

Konstruktivisme mitologis dapat menjadi jembatan antara pendekatan akademis dan iman. Ia membantu kita tetap rendah hati dalam mengakui keterbatasan perspektif kita, sambil menjaga keyakinan akan realitas ilahi yang menjadi tujuan pengalaman spiritual. Kesadaran ini mendorong sikap rendah hati dan kritis. Pengalaman mistik bisa memperdalam iman, tetapi harus selalu diverifikasi dengan syariat agar tetap berada di jalur kebenaran.

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas Psikologi. Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Malang Raya Komisariat Restorasi Fapsi UMM.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *